Flag Counter

Rabu, 03 April 2013

Sistem Hukum Gereja



1. SISTEM HUKUM GEREJA
I. HAL-HAL UMUM
Berikut adalah beberapa ketentuan umum dari hukum Gereja katolik, yang kiranya pantas diketahui oleh semua umat beriman.
 A. Kedudukan Orang Beriman (kanon 96-112)
1. Seseorang mulai menjadi warga Gereja segera setelah ia dibaptis. Sejak itu ia mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam Gereja, sesuai dengan kedudukannya.
2. Seorang warga Gereja yang dewasa memperoleh domisili dengan bertempat tinggal di wilayah suatu paroki, dengan maksud untuk tinggal secara tetap di sana, atau sudah berada di sana selama genap lima tahun. Seorang warga Gereja yang dewasa memperoleh kuasi-domisili dengan bertempat tinggal di wilayah suatu paroki dengan maksud untuk tinggal di sana sekurang-kurangnya selama tiga bulan, atau ternyata sudah berada di sana selama tiga bulan.
3. Berdasarkan domisili maupun kuasi-domisili-nya, setiap warga Gereja berada di bawah kepemimpinan pastor-paroki maupun Ordinaris (misalnya : Uskup) setempat.
B. Kewajiban dan Hak Orang Beriman (kanon 204-231)
1. Kaum beriman terikat kewajiban untuk selalu memelihara persekutuan dengan Gereja dan menjalankan kewajiban-kewajiban mereka dengan teliti.
2. Semua orang beriman harus mengerahkan tenaganya untuk menjalani hidup yang kudus dan memajukan Gereja.
3. Semua orang beriman mempunyai kewajiban dan hak mengusahakan agar warta ilahi keselamatan semakin menjangkau semua orang.
4. Adalah hak kaum beriman untuk menerima dari para gembala bantuan yang berasal dari harta rohani Gereja, terutama dari sabda Allah dan sakramen-sakramen.
 5. Kaum beriman terikat kewajiban untuk membantu memenuhi kebutuhan Gereja, agar tersedia bagi Gereja hal-hal yang perlu untuk ibadat ilahi, karya kerasulan dan amal kasih serta pemenuhan kebutuhan hidup yang wajar bagi para pelayan Gereja.
II. SAKRAMEN BAPTIS
Berikut adalah beberapa ketentuan hukum Gereja katolik tentang sakramen baptis, terutama yang pantas diketahui oleh umat beriman pada umumnya.
A. Penerimaan Sakramen Baptis (kanon 849-860)
1. Sakramen baptis hanya dapat diterimakan secara sah dengan pembasuhan air sungguh, disertai rumus kata-kata yang diwajibkan oleh Gereja.
2. Sakramen baptis hendaknya diterimakan menurut tata-perayaan dalam buku-buku liturgi yang disetujui, kecuali dalam keadaan darurat, di mana harus ditepati hanya hal-hal yang dituntut untuk sahnya sakramen.
3. Penerimaan sakramen baptis haruslah disiapkan dengan semestinya. Karena itu, orang dewasa yang bermaksud menerima sakramen baptis hendaknya diterima dalam katekumenat dan sejauh mungkin dibimbing lewat pelbagai tahap, menurut tata-perayaan inisiasi yang telah disesuaikan oleh Konferensi Para Uskup. Orang tua dari kanak-kanak yang akan dibaptis, demikian pula mereka yang akan menerima tugas sebagai wali-baptis, hendaknya diberitahu dengan baik tentang makna sakramen ini dan tentang kewajiban-kewajiban yang melekat padanya.
4. Air yang harus digunakan dalam menerimakan sakramen baptis, di luar keadaan terpaksa, haruslah air yang sudah diberkati menurut ketentuan-ketentuan buku liturgi.
5. Meskipun sakramen baptis dapat diterimakan pada hari apa pun, namun dianjurkan agar pada umumnya diterimakan pada hari Minggu, atau, jika dapat, pada malam Paskah.
6. Di luar keadaan darurat, tempat yang biasa untuk baptis adalah gereja atau ruang doa. Pada umumnya orang dewasa hendaknya dibaptis di gereja parokinya sendiri, sedangkan kanak-kanak di gereja paroki orang-tuanya, kecuali bila alasan wajar menganjurkan lain.
7. Jika calon baptis, karena jarak jauh atau keadaan lain, tidak dapat datang atau dibawa tanpa kesulitan besar ke gereja paroki, pembaptisan dapat dan harus dilaksanakan di gereja atau ruang doa lain yang lebih dekat, atau di tempat lain, yang layak.
8. Di luar keadaan darurat, atau karena ada alasan yang berat, sakramen baptis jangan diterimakan di rumah pribadi.
9. Di luar keadaan darurat, atau karena ada alasan yang berat, sakramen baptis juga jangan diterimakan di rumah sakit.
B. Pelayan Sakramen Baptis (kanon 861-863)
1. Pelayan biasa dari sakramen baptis adalah Uskup, imam, dan diakon. Bilamana pelayan biasa itu tidak ada atau terhalang, sakramen baptis dapat dilaksanakan oleh katekis atau orang lain yang oleh Ordinaris wilayah ditugaskan untuk itu, bahkan dalam keadaan darurat oleh siapapun yang mempunyai maksud yang semestinya. Maka, para gembala jiwa-jiwa, terutama pastor paroki, diharap memperhatikan agar umat beriman diberitahu tentang cara membaptis secara benar.
2. Di luar keadaan darurat, tak seorangpun boleh melayani sakramen baptis di wilayah lain tanpa izin yang semestinya.

C. Penerima Sakramen Baptis (kanon 864-871)
1. Yang dapat dibaptis hanyalah seseorang yang belum pernah dibaptis dan tidak terkena halangan untuk dibaptis. 2. Seorang dewasa hanya dapat dibaptis bila ia telah menyatakan keinginannya untuk menerima baptis, mendapat pengajaran yang cukup mengenai kebenaran-kebenaran iman dan kewajiban-kewajiban kristiani, dan telah teruji dalam hidup kristiani melalui katekumenat. Sementara itu, orang dewasa yang berada dalam bahaya maut dapat dibaptis jika ia memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kebenaran-kebenaran iman yang pokok, dan dengan salah satu cara pernah menyatakan kesediaannya untuk dibaptis serta berjanji bahwa ia akan mematuhi perintah-perintah Gereja.
3. Orang dewasa yang dibaptis, jika tak ada alasan berat yang merintanginya, hendaknya segera setelah dibaptis mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi, juga dengan menerima komuni.
4. Para orang tua wajib mengusahakan agar anak mereka dibaptis dalam minggu-minggu pertama setelah kelahirannya. Maka, segera sesudah kelahiran anaknya, orang tua hendaknya menghadap pastor paroki untuk memintakan sakramen baptis bagi anak mereka. Bila bayi itu berada dalam bahaya maut, hendaknya ia dibaptis tanpa menunda-nunda.
5. Agar seorang bayi boleh dibaptis, haruslah orang tuanya, sekurang-kurangnya satu dari mereka, atau seseorang yang secara sah menggantikan orang tuanya, menyetujui pembaptisan itu. Selain itu, haruslah ada harapan bahwa anak itu akan dididik dalam agama katolik. Bila harapan itu tidak ada, penerimaan sakramen baptis hendaknya ditunda menurut ketentuan hukum setempat.
6. Jika diragukan apakah seseorang telah dibaptis, atau apakah baptisnya telah diberikan secara sah, dan setelah penyelidikan serius keraguan itu masih tetap ada, maka kepadanya boleh diterimakan sakramen baptis bersyarat.


D. Wali Baptis (kanon 872-874)
1. Saat dibaptis, penerima baptis sedapat mungkin hendaknya didampingi seorang wali-baptis, yang kemudian berkewajiban mendampinginya menjadi dewasa dalam iman kristiani.
2. Sebagai wali-baptis hendaknya dipilih seorang pria, atau seorang wanita, atau seorang pria dan seorang wanita.
3. Agar seseorang dapat mengemban tugas sebagai wali-baptis, haruslah ia ditunjuk oleh penerima baptis sendiri, atau oleh orang tuanya, atau orang yang mewakili orangtuanya, sudah berumur genap enambelas tahun, telah menerima sakramen penguatan dan komuni pertama, lagipula hidup sesuai dengan iman katolik, dan ia bukanlah ayah atau ibu dari penerima baptis itu sendiri.

E. Pembuktian dan Pencatatan Baptis (kanon 875-878)
1. Untuk membuktikan bahwa seseorang telah pernah menerima sakramen baptis, cukuplah pernyataan dari seorang saksi yang dapat dipercaya atau, jika orang itu dulu dibaptis pada usia dewasa, pengucapan sumpah dari orang yang dibaptis itu sendiri.
2. Pastor paroki di mana baptis dilaksanakan harus dengan teliti dan tanpa menunda-nunda mencatat nama orang yang dibaptis, dalam buku baptis. Di sana hendaknya dicatat juga nama orangtuanya, wali-baptisnya, saksinya (jika ada), tempat dan tanggal pembaptisannya, tanggal dan tempat kelahirannya.


III. SAKRAMEN PENGUATAN
Berikut adalah beberapa ketentuan hukum Gereja katolik tentang sakramen penguatan, terutama yang pantas diketahui oleh umat beriman pada umumnya.


A. Penerimaan Sakramen Penguatan (kanon 879-881)
1. Sakramen penguatan, yang dengannya orang yang telah dibaptis melanjutkan perjalanan inisiasi kristiani dan diperkaya dengan anugerah Roh Kudus serta dipersatukan secara lebih sempurna dengan Gereja, menguatkan dan semakin mewajibkannya untuk menjadi saksi Kristus, menyebarkan dan membela iman, dengan perkataan dan perbuatannya.
2. Sakramen penguatan diberikan dengan pengurapan krisma pada dahi, yang hendaknya dilakukan dengan penumpangan tangan serta dengan kata-kata yang diperintahkan dalam buku-buku liturgi yang telah disetujui. Krisma yang dipergunakan dalam sakramen penguatan haruslah dikonsekrasi oleh Uskup.
3. Sepatutnya sakramen penguatan diterimakan dalam gedung gereja dan dalam misa; tetapi atas alasan yang wajar dan masuk akal sakramen ini juga dapat diterimakan di luar misa dan di tempat mana pun yang pantas.
B. Pelayan Sakramen Penguatan (kanon 882-888)
1. Pelayan biasa dari sakramen penguatan adalah Uskup. Namun sakramen ini dapat juga diberikan secara sah oleh imam, yang memiliki kewenangan itu berdasarkan hukum Gereja atau berdasarkan pemberian wewenang khusus dari otoritas yang berwenang.
2. Uskup diosesan wajib mengusahakan agar sakramen penguatan diberikan kepada bawahannya, yang meminta dengan baik dan masuk akal.
3. Imam yang memiliki kewenangan melayani sakramen penguatan dapat menerimakan sakramen ini secara layak di wilayah yang ditentukan baginya kepada orang-orang luar, kecuali bila ada larangan dari Ordinaris mereka. Di wilayah lain, tak seorang imam pun dapat secara sah menerimakan sakramen ini.
C. Penerima Sakramen Penguatan (kanon 889-891)
1. Yang dapat menerima sakramen penguatan hanyalah orang yang telah dibaptis dan belum pernah menerima sakramen penguatan. Di luar bahaya maut, seseorang dapat menerima sakramen penguatan secara layak bila ia dapat menggunakan akal, telah diajar secukupnya, berdisposisi baik dan dapat membarui janji-janji baptis.
2. Orang beriman wajib menerima sakramen penguatan pada waktunya. Para orang tua dan para gembala, terutama pastor paroki, hendaknya mengusahakan agar umat beriman diberi pengajaran dengan baik dan pada waktu yang tepat dapat menerima sakramen ini.
3. Sakramen penguatan hendaknya diberikan kepada orang beriman pada sekitar usia dapat menggunakan akal, kecuali bila Konferensi Para Uskup telah menentukan usia lain, atau jika ada bahaya maut atau, jika menurut penilaian pelayan sakramen, ada alasan berat yang menganjurkan lain.
D. Wali Penguatan (kanon 892-893)
1. Penerima sakramen penguatan hendaknya sedapat mungkin didampingi oleh seorang wali penguatan, yang bertugas mengusahakan agar orang yang menerima sakramen ini bertindak sebagai saksi Kristus yang sejati dan dengan setia memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai seorang warga Gereja yang dewasa.
2. Agar seseorang dapat mengemban tugas sebagai wali penguatan, haruslah dipenuhi syarat-syarat yang juga harus dipenuhi oleh seorang wali baptis. Maka dianjurkan agar orang yang dulu telah menjadi wali baptis dipilih lagi menjadi wali penguatan.


E. Pembuktian dan Pencatatan Penguatan (kanon 894-896)
1. Untuk membuktikan bahwa sakramen penguatan telah diterimakan, cukuplah pernyataan dari seorang saksi yang dapat dipercaya atau, jika orang itu menerima penguatan pada usia dewasa, pengucapan sumpah olehnya sendiri.
2. Pastor paroki hendaknya mencatat hal-hal berikut : nama penerima sakramen, pelayan sakramen, nama orangtua dan wali penguatan, tempat serta tanggal penerimaan sakramen.
 IV. SAKRAMEN EKARISTI
Berikut adalah beberapa ketentuan hukum Gereja katolik tentang sakramen Ekaristi, terutama yang pantas diketahui oleh umat beriman pada umumnya.
A. Sakramen Ekaristi (kanon 987-899)
1. Sakramen Ekaristi merupakan sakramen yang terluhur. Di dalamnya Kristus sendiri dihadirkan, dikurbankan, dan disantap. Perayaan Ekaristi merupakan puncak seluruh ibadat dan kehidupan kristiani.
2. Umat beriman hendaknya menaruh hormat yang sebesar-besarnya terhadap Ekaristi, dengan mengambil bagian aktif dalam perayaan mahaluhur itu, menerima sakramen ini dengan penuh bakti dan kerap kali, serta menyembah-sujud setinggi-tingginya di hadapannya.
3. Perayaan Ekaristi hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga semua yang mengambil bagian di dalamnya memetik hasil yang berlimpah darinya.
B. Pelayan Sakramen Ekaristi (kanon 900-911)
1. Pelayan, yang selaku pribadi Kristus dapat melaksanakan sakramen Ekaristi hanyalah imam yang telah ditahbiskan secara sah.
2. Jika ada kekurangan imam, Ordinaris wilayah dapat mengizinkan para imam, atas alasan yang wajar, merayakan dua kali misa sehari, bahkan jika kebutuhan pastoral menuntutnya, juga tiga kali pada hari-hari Minggu dan hari-hari raya.
3. Jika tiada alasan yang wajar dan masuk akal, imam janganlah merayakan Ekaristi tanpa partisipasi umat, paling tidak partisipasi dari satu orang beriman.
4. Dalam perayaan Ekaristi diakon dan awam tidak boleh mengucapkan doa-doa, khususnya doa syukur agung.
5. Pelayan biasa komuni suci adalah Uskup, imam, dan diakon. Pelayan luar-biasa komuni suci adalah akolit dan orang beriman lain yang ditugaskan.
C. Penerimaan Sakramen Ekaristi (kanon 912-923)
1. Seorang anak dapat menerima komuni suci bila ia telah memiliki pemahaman yang cukup dan telah disiapkan dengan seksama, sedemikian sehingga ia dapat memahami makna komuni suci sesuai dengan daya tangkapnya dan mampu menyambut Tubuh Tuhan itu dengan iman dan kekhidmatan. Namun seorang anak yang berada dalam bahaya maut dapat diberi komuni suci bila ia dapat membedakan Tubuh Kristus dari makanan biasa serta menyambut komuni dengan hormat.
2. Terutama adalah tugas orang tua, atau mereka yang menggantikan kedudukan orang tua, serta para pastor paroki untuk mengusahakan agar anak-anak yang telah dapat menggunakan akal budi disiapkan dengan semestinya agar mereka pantas menerima komuni suci. Sebelum menerima komuni pertama, mereka harus lebih dahulu menerima sakramen tobat.
3. Jangan diizinkan menerima komuni suci mereka yang terkena hukuman dari Gereja, misalnya eks-komunikasi, maupun mereka yang membandel dalam dosa berat yang nyata.
4. Orang beriman yang sadar telah berdosa berat dan belum sempat menerima sakramen tobat janganlah menerima komuni suci, kecuali bila ada alasan berat dan tidak ada kesempatan untuk mengaku dosa. Dalam hal demikian ia wajib melakukan tobat yang sempurna dan membangun niat untuk mengakukan dosa sesegera mungkin.
5. Orang beriman yang telah menerima komuni suci dapat menerima komuni lagi pada hari yang sama, asal komuni itu diterimanya dalam perayaan Ekaristi, bukan di luar perayaan Ekaristi.
6. Sangatlah dianjurkan agar umat beriman menerima komuni suci di dalam perayaan Ekaristi. Meskipun demikian, mereka yang meminta komuni di luar misa hendaknya dilayani, asal ada alasan yang wajar dan ritus liturginya diindahkan.
7. Orang beriman yang akan menerima komuni suci hendaknya berpantang dari segala macam makanan dan minuman selama waktu sekurang-kurangnya satu jam sebelum menerima komuni, terkecuali air dan obat-obatan. Namun mereka yang lanjut usia dan menderita sakit maupun mereka yang merawat dapat menerima komuni meskipun dalam waktu satu jam sebelumnya telah makan sesuatu.
8. Orang beriman yang berada dalam bahaya maut, yang timbul dari sebab apapun, hendaknya diperkuat dengan komuni suci sebagai viaticum.
9. Viaticum bagi orang sakit jangan terlalu ditunda-tunda. Mereka yang bekerja dalam penggembalaan jiwa-jiwa hendaknya waspada, agar orang-orang sakit dikuatkan dengan viaticum sementara mereka masih sadar penuh.
D. Perayaan Ekaristi (kanon 924-933)
1. Perayaan Ekaristi hendaknya dilaksanakan dalam bahasa Latin atau bahasa lain, asal teks liturginya sudah mendapat persetujuan dari yang berwenang.
2. Para imam dan diakon, dalam merayakan dan melayani Ekaristi, hendaknya mengenakan busana suci yang diperintahkan oleh aturan Gereja.
3. Perayaan Ekaristi hendaknya dilakukan di tempat suci, kecuali dalam kasus-kasus khusus pada saat kebutuhan menuntut lain. Namun bagaimana pun Ekaristi haruslah dirayakan di tempat yang pantas.
4. Kurban Ekaristi haruslah dilaksanakan di atas altar yang sudah dikuduskan atau diberkati. Namun di luar tempat suci juga dapat digunakan meja yang cocok, yang harus selalu ditutup kain altar dan korporal.
E. Stipendium Misa (kanon 945-958)
1. Sesuai dengan kebiasaan, imam yang merayakan misa atau ikut konselebrasi misa boleh menerima stipendium, bila ia meng-aplikasikan misa itu untuk intensi atau ujub tertentu. Namun sangat dianjurkan agar para imam juga merayakan misa untuk intensi umat beriman yang miskin tanpa menerima stipendium.
2. Umat beriman, dengan menghaturkan stipendium agar misa di-aplikasikan bagi intensinya, membantu kesejahteraan Gereja dan dengan itu berpartisipasi dalam usaha Gereja mendukung para pelayan dan karyanya.
3. Hendaknya dijauhkan sama sekali segala kesan perdagangan atau jual-beli stipendium misa.
4. Pertemuan para Uskup se-propinsi Gerejawi berwenang menentukan, lewat dekrit, besarnya stipendium yang harus dipersembahkan untuk perayaan dan aplikasi misa, dan imam tidak boleh menuntut jumlah yang lebih besar, meskipun ia boleh menerima stipendium lebih besar, yang diberikan secara sukarela.
V. SAKRAMEN TOBAT
A. Penerima Sakramen Tobat (kanon 959-964)
1. Dalam sakramen tobat, orang beriman mengakukan dosa-dosanya kepada pelayan sakramen yang berwenang, menyesalinya serta berniat memperbaiki diri, dan memperoleh pengampunan dari Allah melalui absolusi yang diberikan oleh pelayan sakramen itu, sekaligus diperdamaikan kembali dengan Gereja yang telah dilukainya dengan berdosa.
2. Pengakuan pribadi dan utuh serta absolusi merupakan cara biasa satu-satunya, dengannya orang beriman yang bertobat dari dosa-dosa beratnya diperdamaikan kembali dengan Allah dan Gereja. Hanya ketidakmungkinan fisik atau moral saja dapat membebaskan seseorang dari pengakuan semacam itu.
3. Mengenai tempat pengakuan, hendaknya dibuat pedoman oleh Konferensi Para Uskup. Jangan menerima pengakuan dosa di luar tempat pengakuan, kecuali atas alasan yang wajar.
B. Pelayan Sakramen Tobat (kanon 965-986)
1. Hanyalah imam yang dapat diberi wewenang untuk melayani sakramen tobat.
2. Kewenangan menerimakan sakramen tobat secara tetap hendaknya diberikan secara tertulis.
3. Meskipun demikian, imam mana pun, meskipun sebenarnya tidak memiliki kewenangan menerimakan sakramen tobat, dapat memberi absolusi kepada peniten mana pun yang berada dalam bahaya maut.
4. Rahasia pengakuan dosa tidak dapat diganggu gugat. Karena itu sama sekali tidak dibenarkan bahwa bapa pengakuan dengan kata-kata atau dengan cara lain membocorkan dosa peniten, sekecil apa pun dosa itu. Juga terikat kewajiban untuk menyimpan rahasia itu : semua orang lain, yang dengan cara apa pun memperoleh pengetahuan mengenai dosa-dosa peniten, dari pengakuan itu.
5. Bapa pengakuan sama sekali tidak boleh dan tidak layak menggunakan pengetahuan apa pun, yang didapatnya dari pengakuan dosa.
C. Penerima Sakramen Tobat (kanon 987-991)
1. Orang beriman haruslah menyesali dosa-dosanya dan berniat memperbaiki diri, lalu kembali kepada Allah, agar ia dapat menikmati bantuan-bantuan rohaniNya, yang membawanya kepada keselamatan.
2. Orang beriman wajib mengakukan semua dosa beratnya, menurut jenis dan jumlahnya, yang telah dilakukannya setelah baptis dan belum pernah mendapat pengampunan.
3. Setiap orang beriman, sesudah mencapai usia dapat membuat diskresi, wajib dengan setia mengakukan dosa-dosa beratnya, sekurang-kurangnya sekali setahun.
4. Tak seorangpun dilarang mengaku dosa lewat penerjemah, asal menghindari penyalahgunaan dan sandungan.
D. Indulgensi (kanon 992-997)
1. Indulgensi adalah penghapusan di hadapan Allah hukuman-hukuman sementara atas dosa-dosa yang sudah diampuni. Indulgensi itu dapat diterimakan kepada orang beriman yang ber-disposisi baik dan memenuhi persyaratan yang digariskan dan dirumuskan Gereja. Indulgensi itu diperoleh dengan pertolongan Gereja.
2. Indulgensi dapat bersifat sebagian. Indulgensi juga dapat bersifat penuh. Hal itu berarti : membebaskan sebagian atau semua hukuman sementara yang diakibatkan oleh dosa-dosa, meskipun dosa-dosa itu sudah diampuni.
3. Setiap orang beriman dapat memohon indulgensi, sebagian atau penuh, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang-orang yang telah meninggal.
4. Agar dapat memperoleh indulgensi, seseorang haruslah sudah dibaptis, tidak terkena hukuman eks-komunikasi, dan dalam keadaan ber-rahmat.


VI. SAKRAMEN PENGURAPAN ORANG SAKIT
A. Penerimaan Sakramen Pengurapan (kanon 998-1002)
1. Dengan sakramen pengurapan orang sakit, Gereja katolik menyerahkan kepada Tuhan seorang beriman yang sedang menderita sakit berbahaya, agar beliau meringankan dan menyelamatkannya. Sakramen itu diterimakan dengan mengurapkan minyak, sambil mengucapkan kata-kata yang ditetapkan dalam buku-buku liturgi.
2. Minyak yang dipergunakan dalam pengurapan orang sakit adalah minyak yang sudah diberkati oleh Uskup, atau oleh mereka yang dalam hukum disamakan dengan Uskup diosesan, atau dalam keadaan terpaksa oleh imam mana pun, tetapi diberkati dalam perayaan sakramen itu sendiri.
3. Dalam keadaan terpaksa, cukuplah satu pengurapan pada dahi atau juga pada bagian lain dari tubuh, dengan mengucapkan rumus secara utuh.
4. Perayaan bersama pengurapan orang-orang sakit, yakni untuk beberapa orang sakit secara bersama-sama, yang telah dipersiapkan dan ber-disposisi baik, dapat dilakukan menurut ketentuan-ketentuan Uskup diosesan.
B. Pelayanan Sakramen Pengurapan (kanon 1003)
1. Yang dapat menerimakan sakramen pengurapan orang sakit hanyalah seorang imam.
2. Kewajiban dan hak melayani sakramen ini, dalam keadaan biasa, hanyalah dimiliki oleh para imam yang ditugaskan untuk menggembalakan jiwa-jiwa, misalnya di paroki atau tempat lain, bagi umat yang dipercayakan kepada mereka, untuk mereka layani secara pastoral.
3. Namun, atas alasan yang masuk akal, para imam lain toh dapat juga melayani sakramen ini, sekurang-kurangnya dengan mengandaikan adanya izin dari para imam yang punya wewenang pastoral tersebut. Ketentuan ini terutama berlaku saat ada seorang katolik yang berada dalam bahaya maut.
4. Maka setiap imam boleh membawa minyak yang sudah diberkati, agar dalam keadaan mendesak dapat menerimakan sakramen pengurapan orang sakit.
C. Penerima Sakramen Pengurapan (kanon 1004-1007)
1. Sakramen pengurapan orang sakit dapat diberikan kepada orang beriman yang telah dapat menggunakan akal-budi, yang mulai berada dalam bahaya, karena sakit atau karena usia lanjut. Sakramen itu dapat diberikan lagi kepadanya, bila ia, setelah sembuh, jatuh sakit berat lagi, atau jika keadaannya semakin gawat.
2. Dalam keraguan apakah si sakit sudah dapat menggunakan akal budi, atau apakah sakitnya membahayakan, atau apakah ia sudah mati, hendaknya sakramen ini diberikan.
3. Kepada orang-orang sakit, yang sewaktu masih sadar diri meminta sakramen ini, sekurang-kurangnya secara implisit, hendaknya pengurapan orang sakit ini diberikan.
4. Sakramen pengurapan orang sakit janganlah diberikan kepada mereka yang membandel dalam dosa berat yang nyata.
VII. SAKRAMEN TAHBISAN
A. Penerimaan Sakramen Tahbisan (kanon 1008-1023)
1. Dengan sakramen tahbisan, sejumlah orang dari kaum beriman diangkat menjadi pelayan-pelayan suci, dikuduskan dan ditugaskan untuk menggembalakan umat Allah, masing-masing menurut tingkatannya, dengan melaksanakan tugas-tugas mengajar, menguduskan, dan memimpin umat.
2. Tahbisan-tahbisan itu adalah tahbisan diakon, tahbisan imam, dan tahbisan Uskup. Tahbisan-tahbisan itu diberikan dengan penumpangan tangan dan doa tahbisan, seperti ditetapkan dalam buku-buku liturgi untuk masing-masing tingkat.
3. Pada penahbisan itu haruslah diundang para diakon, imam, dan umat beriman, agar perayaan itu dihadiri oleh sebanyak mungkin orang.
B. Pelayan Sakramen Tahbisan (kanon 1012-1023)
1. Pelayan sakramen tahbisan adalah Uskup. Setiap imam dan diakon hendaknya ditahbiskan oleh Uskupnya sendiri.
2. Tiada seorang Uskup pun boleh menahbiskan seseorang menjadi Uskup sebelum ia mendapat mandat kepausan.
3. Di luar wilayah kewenangannya, seorang Uskup hanya dapat menahbiskan imam setelah ada izin dari Uskup diosesan setempat.
C. Penerima Sakramen Tahbisan (kanon 1024-1039)
1. Hanya pria yang telah dibaptis dapat menerima tahbisan suci secara sah. Agar tahbisan suci layak diberikan, perlulah bahwa penerima tahbisan memiliki kualitas-kualitas yang semestinya. Hendaknya ditolak untuk menerima sakramen tahbisan mereka yang mengidap kelainan, misalnya kegilaan, atau terkena suatu halangan, misalnya masih punya istri.
2. Sakramen tahbisan imam jangan diberikan kecuali kepada mereka yang telah mencapai umur genap duapuluh lima tahun dan cukup matang.

VIII. SAKRAMEN PERKAWINAN
A. Ketentuan Umum (kanon 1055-1062)
1. Perkawinan antara dua orang yang tidak katolik diakui oleh Gereja katolik sebagai perkawinan yang sah bila :
a. kedua mempelai tidak terkena halangan kodrati ;
b. kesepakatan nikah kedua mempelai tidak cacat ;
c. kedua mempelai menikah di depan dua saksi dan seorang
pejabat publik, yang berwenang menikahkan mereka.
2. Perkawinan orang katolik diakui oleh Gereja katolik sebagai perkawinan yang sah bila :
a. kedua mempelai tidak terkena halangan kodrati maupun
halangan gerejani ;
b. kesepakatan nikah kedua mempelai tidak cacat ;
c. kedua mempelai menikah di depan dua saksi dan seorang
diakon/imam/Uskup, yang berwenang menikahkan mereka.
3. Suatu perkawinan diakui sebagai sebuah sakramen bila kedua mempelai sudah dibaptis secara sah dan perkawinan mereka juga sah.
4. Hanyalah Tribunal Gerejani berhak menegaskan secara resmi bahwa sebuah perkawinan adalah tidak sah.
B. Persiapan Perkawinan (kanon 1063-1072)
1. Sebelum dinikahkan, calon suami-istri harus diselidiki secara cermat, apakah keduanya memang dapat menikah secara sah dan pantas.
2. Penyelidikan itu dilaksanakan oleh pastor paroki (dengan mengadakan penyelidikan kanonik) maupun oleh seluruh umat paroki (dengan menanggapi pengumuman-nikah).
C. Halangan Perkawinan (kanon 1073-1082)
1. Yang dimaksud dengan halangan-halangan perkawinan ialah hal-hal yang menyebabkan orang tidak dapat menikah secara sah.
2. Beberapa halangan bersifat kodrati. Beberapa halangan bersifat Gerejani.
D. Dispensasi dari Halangan (kanon 1083-1094)
1. Halangan-halangan berikut bersifat kodrati, berlaku untuk semua orang dan tidak dapat di-dispensasi oleh siapa pun :
a. impotensi sejak menikah, yang tak tersembuhkan ;
b. hubungan saudara kandung antara calon suami-istri ;
c. ikatan perkawinan sah dari perkawinan sebelumnya,
yang belum diputus oleh pimpinan Gereja katolik.
2. Halangan-halangan berikut hanya berlaku bagi orang katolik dan hanya dapat di-dispensasi oleh Tahta Suci di Roma :
a. tahbisan suci sebagai diakon/imam/Uskup ;
b. kaul kekal dalam tarekat tingkat kepausan ;
c. pembunuhan suami/istri agar dapat menikah (lagi).
3. Halangan-halangan berikut hanya berlaku bagi orang katolik dan dapat di-dispensasi oleh Uskup/Vikjen/Vikep :
a. usia terlalu muda : pemuda belum 16 tahun ; pemudi belum
berusia 14 tahun ;
b. beda agama : satu dari calon suami-istri jelas belum pernah
dibaptis secara sah ;
c. hubungan antara penculik dan orang yang diculiknya untuk
dinikahi ;
d. hubungan saudara dekat : hubungan sebagai kemenakan,
atau saudara sepupu, atau saudara semenda ;
e. hubungan antara seseorang dengan anak/bapak/ibu dari
teman kumpul kebo-nya.
E. Kesepakatan Nikah (kanon 1095-1107)
1. Kesepakatan dinilai cacat, dan karenanya membuat sebuah perkawinan tidak sah, bila :
a. salah satu atau kedua mempelai tidak mampu menggunakan
akal budi secukupnya atau tidak mampu memenuhi
kewajiban-kewajiban yang hakiki sebagai suami / istri ;
b. mempelai digantikan orang lain, bukan orang yang disepa -
kati menjadi suami/istri ;
c. mempelai ditipu supaya mau menikah ;
d. mempelai dipaksa oleh orang lain untuk menikah.
2. Mempelai dapat diwakili, asal sudah dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Gereja untuk dapat menikah lewat wakilnya.
3. Perkawinan dapat dilangsungkan lewat penerjemah. Tetapi pastor paroki jangan meneguhkan perkawinan semacam itu sebelum ia merasa pasti bahwa penerjemah tersebut dapat dipercaya.
F. Tata Peneguhan Nikah (kanon 1108-1123)
1. Pada prinsipnya seorang katolik harus menikah di depan pastor parokinya sendiri (atau diakon/imam lain yang telah mendapat surat kuasa dari pastor parokinya) dan dua saksi (yang sudah dewasa, sehat, dan sedapat mungkin katolik).
2. Sebelum menikahkan, diakon/imam/Uskup harus lebih dahulu mengadakan penyelidikan kanonik dan pengumuman nikah, untuk mengetahui benar-benar, bahwa kedua mempelai dapat menikah dengan sah dan pantas.
3. Pada prinsipnya seorang katolik harus menikah di gereja parokinya sendiri, kecuali bila ia sudah mendapat izin untuk menikah di gereja paroki lain, setelah ada izin dari para pastor dari kedua paroki.
G. Perkawinan Campur (kanon 1124-1129)
1. Perkawinan antara seorang katolik dan seorang kristen-bukan-katolik (yang telah dibaptis secara sah) disebut perkawinan campur beda Gereja.
2. Perkawinan antara seorang katolik dan seorang bukan-kristen (yang belum pernah dibaptis secara sah) disebut perkawinan campur beda agama.
3. Perkawinan campur hanyalah sah bila dilaksanakan di depan seorang diakon/imam/Uskup yang berwenang dan dua saksi.
4. Di luar pernikahan di depan seorang diakon/imam/Uskup dan dua saksi tersebut tidak boleh dilaksanakan pernikahan dengan tata cara agama lain.
5. Ijin/dispensasi untuk perkawinan campur barulah diberikan setelah calon mempelai katolik menjanjikan dua hal, yakni : akan tetap beriman katolik dan akan berusaha sekuat tenaga untuk membaptis dan mendidik semua anaknya secara katolik. Janji tersebut harus diketahui oleh calon mempelai bukan-katolik.
H. Perkawinan Rahasia (kanon 1130-1133)
1. Yang dimaksud dengan perkawinan rahasia ialah perkawinan yang hanya diketahui oleh kedua mempelai, kedua saksi, dan diakon/pastor/Uskup yang memberkati perkawinan itu.
2. Ijin semacam itu hendaknya hanya diberikan bila ada alasan berat, yang memang menuntut dirahasiakannya perkawinan tersebut.
3. Perkawinan rahasia yang sudah diteguhkan hendaknya dicatat hanya dalam buku catatan khusus, yang disimpan dalam arsip rahasia keuskupan.
I. Akibat-Akibat Perkawinan (kanon 1134-1140)
1. Dari pernikahan yang sah timbullah suatu ikatan perkawinan yang bersifat monogam dan tak-terceraikan. Dan bila kedua mempelai sudah dibaptis secara sah, pernikahan yang sah juga menimbulkan sakramen perkawinan.
2. Seorang anak dianggap sah bila ia dikandung saat ibunya mempunyai suami yang sah. Seorang anak juga dianggap sah bila saat ia dilahirkan ibunya mempunyai suami yang sah.
J. Pemutusan Ikatan Nikah (kanon 1141-1150)
1. Ikatan perkawinan sah antara dua orang terbaptis, yang sudah disempurnakan dengan hubungan seks, tidaklah dapat diputus oleh siapa pun dan atas alasan apa pun, kecuali oleh kematian salah satu dari suami-istri tersebut.
2. Ikatan perkawinan sah antara dua orang terbaptis, yang belum disempurnakan dengan hubungan seks, hanya dapat diputus oleh Tahta Suci di Roma.
3. Ikatan perkawinan sah antara seorang katolik dan seorang yang belum terbaptis, yang telah menikah secara katolik, hanya dapat diputus oleh Tahta Suci di Roma.
4. Ikatan perkawinan sah antara dua orang tak-terbaptis terputus dengan sendirinya oleh suatu perkawinan baru dari salah satu dari mereka berdua, yang kemudian dibaptis, berdasarkan privilegium Paulinum.
5. Seorang pria yang punya beberapa istri barulah boleh dibaptis setelah ia berjanji untuk hidup hanya dengan satu istri saja, entah istri pertama entah istri yang lain, dan “meninggalkan” istri-istrinya yang lain.
K. Pisah Ranjang kanon 1151-1155)
1. Orang katolik diharap mengampuni suami/istrinya yang berzinah dan tetap hidup bersamanya. Walaupun demikian, kalau ia tidak dapat mengampuninya, ia dapat memisahkan diri darinya, kecuali kalau ia menyetujui/menyebabkan perzinahan itu, atau bahkan ia sendiri pun berzinah.
2. Kalau ia memisahkan diri dari suami/istrinya yang berzinah, maka dalam waktu enam bulan ia harus meminta persetujuan Uskup atas tindakannya, agar ia tetap boleh pisah ranjang dan meja makan dari suami/istrinya yang berzinah itu.
3. Kalau ia tidak memisahkan diri dari suami/istrinya yang berzinah, maka diandaikan bahwa ia telah mengampuninya.
4. Pisah ranjang dan meja makan dapat terjadi juga karena hidup-bersama dirasa terlalu berat, asal sudah ada izin dari Uskup setempat.
5. Pisah ranjang dan meja makan dapat terjadi juga bila hidup bersama membahayakan salah satu dari mereka. Kalau bahaya tersebut mendesak, pihak tak-bersalah dapat segera memisahkan diri dari suami/istrinya yang membahayakan hidupnya. Kalau bahaya tersebut tidak mendesak, ia harus lebih dahulu meminta persetujuan Uskup.
6. Selama pisah ranjang dan meja makan berlangsung, penghidupan dan pendidikan anak-anak haruslah tetap diperhatikan dengan baik.
L. Pengesahan Perkawinan (kanon 1156-1165)
1. Perkawinan yang menurut hukum Gereja katolik belum sah sebaiknya disahkan dengan pembaharuan kesepakatan nikah, di depan dua orang saksi dan seorang diakon/imam/Uskup yang berwenang menikahkan mereka, setelah pasti bahwa mereka berdua dapat menikah secara sah dan pantas.
2. Perkawinan yang belum sah juga dapat disahkan tanpa pembaharuan kesepakatan nikah. Pengesahan semacam itu hanyalah dapat dilakukan oleh Uskup.
3. Perkawinan yang menurut hukum Gereja katolik jelas-jelas tidak sah dapat dibatalkan (artinya: dinyatakan tidak sah). Namun yang berhak membatalkan secara resmi hanyalah Tribunal Gereja, setelah terbukti bahwa perkawinan tersebut memang tidak sah sejak saat pernikahan.
4. Perkawinan yang tidak sah juga dapat disahkan tanpa pembaharuan kesepakatan nikah. Pengesahan semacam itu hanyalah dapat dilakukan oleh Uskup.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar