Flag Counter

Kamis, 31 Oktober 2013

PERAN HUMAN CAPITAL DALAM MENINGKATKAN KINERJA PERUSAHAAN



PERAN HUMAN CAPITAL DALAM MENINGKATKAN
KINERJA PERUSAHAAN (Suatu Tinjauan Empiris dan Teoritis)


Penilaian kinerja perusahaan berbasis human capital merupakan hal menarik yang perlu dikembangkan oleh perusahaan. Human capital adalah salah satu komponen utama dari intellectual capital (intangible asset) yang dimiliki perusahaan. Selama ini, penilaian terhadap kinerja perusahaan lebih banyak menggunakan sumber daya yang bersifat fisik (tangible asset). Menurut Mayo (2000:115), mengukur kinerja perusahaan dari perspektif keuangan sangatlah akurat, tetapi sebenarnya, dasar penggerak nilai dari keuangan tersebut adalah sumber daya manusia (human capital) dengan segala pengetahuan, ide, dan inovasi yang dimilikinya. Selain itu, human capital juga merupakan inti dari suatu perusahaan.
Penyebutan human capital untuk sumber daya manusia (SDM) sepertinya belum banyak dianut oleh pelaku bisnis, sementara peran SDM terhadap masa depan perusahaan sangat menentukan. SDM adalah capital yang dapat terus berkembang seiring dengan waktu dan dinamika lingkungan bisnis serta kemajuan dalam ilmu pengetahuan. Keunggulan SDM dibandingkan factor produksi lainnya dalam strategi persaingan suatu perusahaan antara lain: kemampuan inovasi dan entrepreneurship, kualitas yang unik, keahliaan yang khusus, pelayanan yang berbeda dan kemampuan produktivitas yang dapat dikembangkan sesuai kebutuhan. (Mathis, 2003: 76).
Perhatian terhadap sumber daya manusia atau human capital sebagai salah faktor produksi utama bagi kebanyakan perusahaan sering dinomorduakan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi yang lain seperti modal, teknologi, dan uang. Banyak para pemimpin perusahaan kurang menyadari bahwa sebenarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan berasal dari human capital. Hal ini disebabkan karena aktivitas perusahaan hanya dilihat dari perspektif bisnis semata. Para pemimpin perusahaan tidak melihat perusahaan sebagai sebuah unit pengetahuan dan keterampilan yang unik, atau seperangkat keunikan dari aset usahanya yang dapat membedakan produk atau jasa dari para pesaingnya.
Menurut Mayo (2000:120), sumber daya manusia atau human capital memiliki lima komponen yaitu individual capability, individual motivation, leadership, the organizational climate, dan workgroup effectiveness. Setiap komponen memiliki peranan yang berbeda dalam menciptakan human capital perusahaan yang akan menentukan nilai sebuah perusahaan. Oleh karena itu, mengingat peran SDM yang begitu besar dalam perusahaan, maka, manajemen perusahaan harus lebih proaktif menjadikan SDM-nya sebagai human capital yang perlu diberi perhatian dan pengembangan secara terus menerus sesuai dengan kedinamisan lingkungan bisnis. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan tinjauan ringkas, baik secara teoritis maupun empiris terhadap peran SDM atau human capital dalam meningkatkan kinerja perusahaan.

 Human Capital
OECD (1999:12) mendefinisikan intellectual capital sebagai nilai ekonomi dari dua kategori intangible assets perusahaan, yaitu organizational and human capital. Wright et al (2001:8) menyatakan bahwa intellectual capital adalah faktor yang terdiri dari human capital, social capital and organizational capital. Sementara Nahapiet dan Ghoshal (1998:20), intellectual capital berkaitan dengan “knowledge and knowing capability of a social collectivity”, sebagai suatu organisasi, komunitas intelektual, atau praktek profesional (1998:245).
Menurut Schermerhon (2005:33), human capital diartikan sebagai nilai ekonomi dari SDM yang terkait dengan kemampuan, pengetahuan, ideide, inovasi, energi dan komitmennya. Human capital merupakan kombinasi dari pengetahuan, keterampilan, inovasi dan kemampuan seseorang untuk menjalankan tugasnya, sehingga dapat menciptakan suatu nilai untuk mencapai tujuan. Pembentukan nilai tambah yang dikontribusikan oleh human capital dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya akan memberikan sustainable revenue di masa mendatang bagi suatu organisasi (Malhotra dan Bontis dalam Rachmawati dan Wulani 2004:17).
Menurut Stewart (1998:45) dalam Sawarjuwono dan Kadir (2003:19) mengatakan bahwa human capital merupakan lifeblood dalam modal intelektual, sumber dari innovation dan improvement, tetapi komponen ini sulit untuk diukur. Human capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orangorang yang ada dalam perusahaan tersebut dan akan meningkat jika perusahaan mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh karyawannya.
Fitz-Enz (2000:9) mendeskripsikan human capital sebagai kombinasi dari tiga faktor, yaitu: 1) karakter atau sifat yang dibawa ke pekerjaan, misalnya intelegensi, energi, sikap positif, keandalan, dan komitmen, 2) kemampuan seseorang untuk belajar, yaitu kecerdasan, imajinasi, kreativitas dan bakat, dan 3) motivasi untuk berbagi informasi dan pengetahuan, yaitu semangat tim dan orientasi tujuan.
Davemport (1999:18) mendeskripsikan human capital terdiri atas empat hal: kemampuan, perilaku, usaha, dan waktu, yang dimiliki dan dikendalikan sendiri oleh karyawan. Chen dan Lin (2003:45) menyatakan bahwa pengeluaran perusahaan yang berhububungan dengan sumber daya manusia harus dipandang sebagai investasi dalam human capital. Oleh karena itu, program training yang bertujuan untuk menambah value karyawan di masa depan harus dianggap sebagai investasi.
Menurut Wealtherly (2003:57), nilai perusahaan didasarkan atas tiga kelompok utama aset, yaitu:
1. Financial asset, seperti kas surat-surat berharga yang sering disebut
juga dengan financial capital
2. Physical asset, terdiri atas peralatan, gedung, tanah, disebut juga
dengan tangible asset.
3. Intangible asset, yaitu organizational capital, seperti aliansi bisnis,
customer capital, merek, reputasi kualitas dan pelayanan; dan intellectual capital (paten, desain produk, dan teknologi), goodwill,
dan human capital.
Edvinson, Stewart, dan Sueby (dalam Burr dan Girardi, 2002:167) mengkategorikan Intellectual Capital terdiri dari dua elemen, yaitu human capital dan structural capital. Namun, yang terpenting adalah human capital karena aset inilah yang menentukan kesuksesan perusahaan dalam persaingan.

Pengukuran Human Capital
Pengukuran human capital bukan dimaksudkan untuk menentukan nilai instrisik SDM, melainkan dampak perilaku SDM atas proses-proses organisasional. Pengukuran ini penting dilakukan untuk mengetahui efektivitas strategi yang dijalankan perusahaan terhadap seberapa besar kontribusi karyawan terhadap peningkatan kinerja. Di samping itu, pengukuran SDM merupakan suatu manajemen kinerja yang sangat penting dan alat untuk melakukan perbaikan. Menurut Fitz-Enz (2000:267), bila tidak melakukan pengukuran SDM, maka, perusahaan tersebut tidak akan dapat:
1. Mengkomunikasikan harapan kinerja yang spesifik,
2. Mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi dalam organisasi,
3. Mengidentifikasi gap kinerja yang harus dianalisis dan dieliminasi,
4. Memberikan umpan balik dengan membandingkan kinerja terhadap
standar,
5. Mengetahui kinerja yang harus diberi reward,
6. Mendukung keputusan berkaitan dengan alokasi sumber daya, proyeksi,
dan jadwal.
Dalam lingkungan bisnis yang semakin maju, maka, perusahaan semakin banyak tergantung pada intangible asset. Adanya pergeseran ini tercermin dalam studi Brooking Instutution di Amerika Serikat yang meneliti 500 perusahaan dalam kurun waktu 20 tahun terakhir (Wealtherly, 2003:71). Pada 1982, tangible asset merepresentasikan 62% nilai pasar perusahaan, turun menjadi 38% pada 1992. Studi terakhir yang dilakukan pada 2002 menunjukkan angka penurunan yang semakin besar menjadi 15%, sementara 85% merupakan intangible asset yang menentukan nilai pasar perusahaan.
Wealtherly (2003:92) mengatakan terdapat dua kekuatan utama mengapa pengukuran human capital menjadi pusat perhatian utama di komunitas bisnis. Pertama, kompetisi dalam lingkungan bisnis adalah akibat dari globalisasi perdagangan dan perkembangan beberapa sektor kunci seperti telekomunikasi, transportasi, dan jasa-jasa keuangan. Kedua, perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat terutama setelah kemunculan internet. Kedua perkembangan ini secara dramatis telah merubah struktur bisnis dan mendorong intangibles asset memegang peran yang kian penting bagi perusahaan.

Hubungan Human Capital dengan Kinerja Perusahaan
Menurut Totanan (2004:245) sebuah perusahaan akan menghasilkan kinerja yang berbeda jika dikelola oleh orang yang berbeda, oleh karena itu, SDM yang berbeda dalam mengelola aset perusahaan yang sama akan menghasilkan nilai tambah yang berbeda pula. Dapat disimpulkan bahwa tangible aset yang dimiliki perusahaan bersifat pasif tanpa sumber daya manusia yang dapat mengelola dan menciptakan nilai bagi suatu perusahaan. Beberapa penelitian terakhir telah membuktikan keterkaitan antara kinerja perusahaan dengan proses pengelolaan SDM di perusahaan.
Studi-studi empiris 1980-an memberikan hasil yang mixed terhadap hubungan antara human capital dengan kinerja perusahaan. Nkomo (1986, 1987:180) menguji hubungan antara perencanaan SDM dengan kinerja bisnis, dan menemukan tidak ada korelasi di antaranya. Hasil ini juga didukung oleh studi yang didasarkan atas survei (Delaney, Lewin and Ichniowski 1988, 1989:50) yang menyimpulkan tidak ada hubungan antara praktek SDM dengan kinerja keuangan perusahaan. Sementara studi-studi empiris 1990-an lebih banyak membuktikan hubungan yang positif dan signifikan antara human capital dengan kinerja perusahaan
Studi Guest (2003:28), melakukan penelitian terhadap hubungan antara human capital dan kinerja perusahaan pada 366 perusahaan di Inggris. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan SDM lebih banyak dikaitkan dengan tingkat turnover, maka, tenaga kerja yang rendah mampu menghasilkan profit per tenaga kerja yang lebih tinggi, tapi produktivitasnya rendah. Estimasi terhadap kinerja, memperlihatkan hubungan yang sangat kuat antara SDM, kinerja produktivitas dan keuangan. Li dan Wu (2004:95) juga membuktikan hubungan positif dan signifikan antara intellectual capital dengan kinerja perusahaan
Martina (2008:269) melakukan penelitian pada kantor akuntan public untuk menguji apakah individual capability dan the organizational climate – komponen dari human capital --- baik secara individual (parsial) maupun secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja perusahaan kantor akuntan publik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, individual capability berpengaruh signifikan terhadap kinerja kantor akuntan publik. Kedua, the organizational climate berpengaruh signifikan terhadap kinerja kantor akuntan publik. Ketiga, individual capability dan the organizational climate berpengaruh signifikan terhadap kinerja kantor akuntan publik. Pengujian juga membuktikan bahwa individual capability adalah variabel yang mempengaruhi kinerja kantor akuntan publik.
Secara individual, riset tentang SDM dan dikaitkan dengan kinerja perusahaan telah dirintis sejak awal 1990-an. Bartel (1994:173) menguji hubungan antara program pelatihan yang diadopsi dan pertumbuhan produktivitas, sementara hubungan antara program pelatihan dan kinerja keuangan didukung oleh Gerhart dan Milkovich (1992:384). Weitzman dan Kruse (1990:419) mengidentifikasi hubungan antara skema kompensasi insentif dan produktivitas, dan Terpstra dan Rozell (1993:62) menguji proses rekrutmen, seleksi uji validasi dan penggunaan prosedur seleksi formal, juga menemukan hubungan dengan profit perusahaan. Pada umumnya, penyeleksian dalam penyusunan staf mempunyai hubungan positif dengan kinerja perusahaan (Becker dan Huselid 1992:20; Schmidt, Hunter, McKenzie dan Muldrow, 1979:40). Evaluasi kinerja dan keterkaitan dengan skema kompensasi telah diidentifikasi sebagai penyumbang kenaikan dalam profitabilitas perusahaan
(Borman, 1991:294).
Studi empiris yang terkait dengan hubungan intellectual capital dalam bentuk sumber daya pengetahuan (knowledge) dengan kinerja perusahaan antara lain dilakukan oleh: Nonaka dan Takeuchi (1995:230), dan Zahra dan George (2002:23). Nonaka dan Takeuchi (1995:230) menyatakan bahwa hanya perusahaan yang dapat memproduksi pengetahuan baru secara berkelanjutan saja yang mampu mencapai posisi lebih baik untuk memiliki competitive advantage. Zahra dan George (2002:23) mengutarakan model rekonseptualisasi yang menghubungkan antara sumber pengetahuan, absorptive capacity dan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keunggulan bersaing.
Keunggulan kompetitif akan dicapai apabila sumber pengetahuan individu yang menjadi dasar kekuatan dikelola dan dipelihara. Sebagaimana dikemukakan juga oleh Morling dan Yakhlef (1999:89) bahwa yang akan menentukan kesuksesan perusahaan adalah kemampuan perusahaan dalam mengelola aset pengetahuan. Perusahaan tidak dapat menciptakan pengetahuan tanpa tindakan dan interaksi para karyawannya. Di sinilah pentingnya perilaku para karyawan dalam melakukan knowledge sharing. Bollinger dan Smith (2001:146) berpendapat bahwa perilaku manusia merupakan kunci kesuksesan atau kegagalan sebuah strategi manajemen pengetahuan. Bagaimanapun, pengetahuan terletak pada individu dan diciptakan oleh individu (Nonaka dan Takeuchi, 1995:240). Pengetahuan akan memberi peran terhadap absorptive capacity apabila terjadi aktivitas pertukaran pengetahuan di antara para karyawannya.
Hubungan antara pelatihan dan pengembangan SDM dengan kinerja perusahaan antara lain dilakukan oleh: Black dan Lynch, 1996; Garcia, 2005; dan Khatri, 2000. Pengetahuan dan skill karyawan dengan melalui aktivitas pelatihan sangat penting dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Preffer (1994:349) dan Upton (1995:78) menyatakan bahwa kesuksesan suatu perusahaan dalam menghadapi persaingan pasar ditentukan oleh human capital, bukan physical capital, sehingga perusahaan dianjurkan untuk investasi dalam berbagai pelatihan untuk meningkatkan sumber daya pengetahuan, keahliaan dan kemampuan karyawan yang lebih baik dibanding dengan pesaing mereka. Oleh karena itu, pengeluaran perusahaan dalam bidang pelatihan dan pengembangan SDM sangat penting dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan keahlian dan pengetahuan pekerja, agar mampu menciptakan keunggulan bersaing yang berkelanjutan (Barney, 1991:24) dan memperbaiki kinerja perusahaan (Kozlowski et al., 2000:91; Salas dan Cannon-Bowers, 2001:239).

Human Resource Management
Untuk meningkatkan kinerja perusahaan, maka, diperlukan pengelolaan SDM yang lebih efisien dan profesional. Di dalam menghadapi berbagai perubahan lingkungan bisnis baik secara internal maupun eksternal, manajer SDM perusahaan dituntut untuk dapat mengembangkan human capital. Terdapat enam elemen penting dalam pengelolaan SDM yang dapat memberikan dampak terhadap kinerja bisnis dan sekaligus meningkatkan daya saing perusahaan secara menyeluruh.

Rekrutmen dan Penempatan
Rekrutmen dan penempatan karyawan adalah proses fundamental yang sangat penting bagi perusahaan. Langkah awal adalah bagaimana perusahaan melakukan rekrutmen SDM dan penempatan yang tepat pada bidangnya untuk mendapatkan orang-orang yang dapat membawa perusahaan mencapai tujuan secara optimal. Rekrutmen SDM adalah proses identifikasi dan penarikan karyawan yang potensial dilakukan perusahaan dari waktu ke waktu dalam kegiatan operasional. Program rekrutmen dilakukan untuk mencari orang-orang yang tepat dan memiliki talenta yang dianggap mampu mengisi posisi lowong dalam berbagai level organisasi.     keberhasilan perusahaan di masa depan sangat tergantung pada rekrutmen SDM. Tidak mudah untuk memilih SDM yang tepat pada tempat yang tepat. Oleh karena itu, baik secara langsung maupun tidak perlu dilakukan proses pengujian dan penyaringan secara bertahap. Proses penyeleksian SDM membutuhkan alat dan metode yang tepat agar dapat mengestimasi kualitas calon karyawan. Oleh karena itu, pengujian yang akan dilakukan sudah diuji validitas dan realibilitasnya.

Pelatihan dan Pengembangan
Pelatihan dan pengembangan SDM penting dilakukan perusahaan untuk mengantisipasi perubahan lingkungan yang berubah dengan cepat. Menurut Wexley dan Yukl (1976:282) “training and development are terms reffering to planned efforts designed facilitate the acquisition of relevant skills, knowledge, and attitudes by organizational members”. Selanjutnya Wexley dan Yukl (1976:375) menjelaskan pula “development focusses more on improving the decision making and human relation skills of middle and upper level management, while training involves lower level employees and the presentation of more factual and narrow subject matter”.
Pendapat Wexley dan Yukl tersebut memperjelas penggunaan istilah pelatihan dan pengembangan. Mereka berpendapat bahwa pelatihan dan pengembangan adalah istilah yang berhubungan dengan usaha-usaha terencana untuk mencapai penguasaan atau skill, pengetahuan, dan sikap-sikap pegawai atau anggota organisasi. Pengembangan difokuskan pada peningkatan kemampuan dalam pengambilan keputusan dan memperluas hubungan manusia (human relation) bagi manajemen tingkat atas dan tingkat menengah, sedangkan pelatihan dimaksudkan untuk pegawai pada tingkat bawah (pelaksana).
Sjafri Mangkuprawira (2004:83) pelatihan bagi karyawan merupakan proses mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu, serta sikap agar karyawan semakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik dan sesuai dengan standar. Sementara, pengembangan memiliki ruang lingkup lebih luas. Salah satunya adalah upaya meningkatkan pengetahuan untuk kepentingan di masa depan. Pengembangan sering dikategorikan secara eksplisit dalam pengembangan manajemen, organisasi, dan pengembangan individu karyawan. Penekanan lebih pokok adalah pada pengembangan manajemen. Dengan kata lain, fokusnya tidak pada pekerjaan kini dan mendatang, tetapi pada pemenuhan kebutuhan organisasi jangka panjang.

Manajemen Kerja
Biasanya, perusahaan yang mampu menghasilkan kinerja yang tinggi memiliki SDM yang dapat diandalkan dengan motivasi kerja yang kuat serta memiliki komitmen tinggi terhadap pencapaian tujuan dan misi perusahaan. Dalam struktur organisasi perusahaan, di semua lini, Manajemen kerja SDM dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan secara optimal. Tujuan yang diharapkan perusahaan antara lain untuk mendapatkan informasi yang tepat terkait dengan keputusan promosi ataupun kompensasi, dan evaluasi terhadap kinerja karyawan, baik di tingkat bawah maupun manajerial. Oleh karena itu, diperlukan keefektifan para manajer dalam menilai, mengatur, mengembangkan dan menghargai kinerja karyawan, serta memberi umpan balik dan coaching yang berkesinambungan dalam menilai kinerja dan mengelola konsekuensi dari kinerja buruk.
Bagi perusahaan, keberadaan manajemen kerja memungkinkan terciptanya keterkaitan antara tujuan perusahaan dan tujuan pekerjaan karyawan. Selain itu, manajemen kerja memberikan argumentasi hukum yang relatif kuat untuk setiap keputusan yang menyangkut SDM . Secara umum, implementasi manajemen kinerja yang efektif mampu:
a. Mengkoordianasikan unit-unit kerja yang ada dalam organisasi,
b. Mengidentifikasi dan mendokumentasikan berbagai hambatan dan
permasalahan kinerja,
c. Menjadi landasan pengambilan keputusan di bidang SDM,
d. Menjadi alat untuk mengefektifkan manajemen SDM,
e. Menumbuhkembangkan kerjasama antara atasan dengan bawahan,
f. Menjadi wahana penyampaian umpan balik secara reguler kepada
bawahan,
g. Meminimalkan kesalahan dan meniadakan kesalahan berulang.

Pengembangan Karir
Karir adalah serangkaian posisi jabatan yang dimiliki seseorang sepanjang kehidupan kerjanya. Pengembangan karir adalah usaha yang dilakukan secara formal dan berkelanjutan dengan fokus pada peningkatan kemampuan manajerial seorang pekerja. Terdapat dua mekanisme untuk memahami pengembangan karir dalam suatu perusahaan:
a. Carrer Management
Merupakan suatu mekanisme untuk mewujudkan suatu kebutuhan SDM masa kini dan masa datang. Prosesnya mengarah kepada bagaimana perusahaan mendesain dan melaksanakan program pengembangan karir. Proses ini merupakan usaha formal yang terorganisir dan terencana untuk mencapai keseimbangan antara keinginan karir individu dengan persyaratan tenaga kerja perusahaan
b. Carrer Planning
Perencanaan seseorang untuk mencapai tujuan-tujuan karirnya, hal ini merupakan usaha yang dilakukan seseorang dengan sadar akan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya terhadap berbagai peluang dan hambatan yang dihadapi.


Kompensasi dan Penghargaan
Untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas SDM yang dimiliki, maka, perusahaan dituntut untuk memberikan kompensasi dan penghargaan yang layak kepada karyawannya. Sasaran yang diharapkan adalah mendorong daya saing perusahaan, menyelaraskan sasaran kerja individu atau kelompok dengan sasaran perusahaan, dan memperkuat perilaku positif terhadap para pelanggan. Bagi perusahaan, keterlibatan karyawan dalam desain program kompensasi dan penghargaan, penjelasan terhadap cara kerja sistem kompensasi dan penghargaan yang diberikan perusahaan, penggunaan kombinasi imbalan finansial dan non-finansial serta komponen kompensasi yang membedakan antara gaji pokok, insentif dengan gaji variabel merupakan hal yang positif untuk meningkatkan partisipasi karyawannya.
Perencanaan kompensasi perusahaan merupakan strategi yang terkait dengan suatu perusahaan dalam memposisikan tingkat kompensasi yang diberikan dibandingkan dengan pesaingnya. Selain itu, kompensasi juga menggambarkan bagaimana perusahaan memberikan reward kepada karyawan. Dengan perencanaan kompensasi yang baik, diharapkan, karyawan akan dapat dipertahankan terutama terhadap karyawan yang memiliki kinerja baik.

Budaya dan Lingkungan Kerja
Manajemen perusahaan dituntut untuk memperbaiki budaya ataupun lingkungan kerja di dalam perusahaan serta kemampuan perusahaan dalam mengelola perubahan. Kotter dan Heskett (1997:678) menempatkan budaya organisasi sebagai faktor utama yang mengondisikan faktor-faktor lainnya sehingga dapat dikatakan bahwa budaya organisasi memiliki keterkaitan yang erat terhadap keberhasilan suatu organisasi. Harvey dan Bowin (1996:508) dalam bukunya mengungkapkan, semakin jelas terbukti bahwa hanya perusahaanperusahaan dengan budaya perusahaan efektif saja yang dapat menciptakan peningkatan produktivitas, meningkatkan rasa ikut memiliki dari karyawan, dan pada akhirnya meningkatkan keuntungan perusahaan. Lebih jauh Robbins (1998:801) memerinci fungsi budaya organisasi sebagai berikut: Pertama, budaya mempunyai suatu peran pembeda. Hal itu berarti bahwa budaya organisasi menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan yang lain. Kedua, budaya organisasi membayar suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi. Ketiga, budaya organisasi mempermudah timbul pertumbuhan komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual. Keempat, budaya organisasi itu meningkatkan kemantapan sistem sosial.