Flag Counter

Sabtu, 17 November 2012



Tinjauan Kasus Pembunuhan 3 TKI Indonesia di Malaysia



 


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri telah memberikan dampak yang besar bagi negara Indonesia. Negara telah manerima pemasukan devisa yang signitifkan sepanjang tahun 2010 dari penghasilan TKI. Berdasarkan data Pusat Penelitian dan Informasi (Puslitfo) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), pemasukan devisa dari TKI sepanjang tahun 2010 telah mencapai 8,24 milyar dolar AS (Rp. 80,24 triliyun). Jumlah ini merupakan kenaikan sampai 37,3% (dari Rp. 60 triliyun) dari tahun 2011, dan bila di bandingkan dengan tahun 2010 terdapat kenaikan 48,26% (dari Rp.. 50,56 triliyun).
Menurut data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), untuk tahun 2010 saja terdapat 900,129 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berhasil ditempatkan di luar negeri secara resmi. Berdasarkan data jumlah TKI yang berhasil ditempatkan di luar negeri pada tahun 2010 dapat diketahui bahwa kurang lebih 77% TKI adalah Tenaga Kerja Wanita (TKW). Sebagian besar dari mereka bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga.
Mereka terpaksa menjadi TKI karena tidak ada lapangan kerja yang memadai atau mereka tergiur dengan gaji bekerja di Luar negeri tergolong tinggi. Jangankan untuk mereka yang hanya lulus sekolah dasar, lulusan sarjanapun menganggur. Angka pengangguran sarjana bahkan sampai mencapai 1,1 juta orang pertahun.
Seharusnya negara ini membukakan lebih banyak lagi lapangan pekerjaan, agar tidak ada lagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di negeri orang dan tidak ada lagi kekerasan yang dialami oleh para tenaga kerja. Mereka para pemerintah harus lebih sering lagi untuk memperhatikan rakyatnya, baik rakyat yang kurang mampu maupun rakyat yang berkecukupan.
Sistem ekonomi kapitalis telah melahirkan kemiskinan stuktural. Dengan sistem ini, sampai kapan saja akan muncul orang-orang atau keluarga miskin, apabila pemerintah tidak memberantas semua ini.
Sudah banyak korban yang berjatuhan, masih ada saja warga Indonesia yang menjadi TKI. Semua itu karena pemerintah sendiri sampai saat ini gagal menciptakan lapangan pekerjaan di dalam negeri. Kemiskinan di Indonesia sedemikian rupa membuat siapa saja yang mengalaminya tidak tahan terus-menerus dalam kondisi seperti itu.
Mereka berangkat ke luar negeri karena ada unsur tertentu yang sangat dominant yaitu soal keuntungan-keuntungan yang dalam penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) itulah yang membuat banyak pihak mempunyai kepentingan untuk mendorong atau memobolisasi orang-orang yang ada diberbagai daerah untuk bekerja ke luar negeri.
Jadi, itu benar-benar didorong, benar-benar dibujuk, benar-benar diberi impian-impian yang manis untuk berangkat ke luar negeri. Pemerintah melakukan itu semua sebagai program nasional. Dalam dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), TKI disebut sebagai salah satu upaya untuk menekan angka pengangguran.
Kemudian calon swasta, dalam hal ini Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Mereka berperan besar dalam melakukan operasi senyap dengan datang dari rumah ke rumah majikan hal-hal yang luar biasa yang akan didapatkan bila mau bekerja di negara orang. Saya juga melihat ada unsur penipuan di dalamnya. Sehingga ini membuat orang terpaksa berangkat ke luar negeri.
Banyak calon TKI yang dibawa ke Jakarta tanpa membawa dokumen apapun. Tetapi identitas diri, ijazah dan lain sebagainya dibuat di Jakarta. Jadi ada penipuan dokumen. Di samping itu mereka juga menipu tentang negara tujuan. Dijanjikan akan ditetempatkan di negara A yang menjanjikan ternyata ke negara B yang sangat rawan. Misalnya, pada 2003 lalu Sugiarti, TKI asal Indramayu, dijanjikan akan ditempatkan di Yordania yang lebih aman ternyata ditempatkan di Irak yang sedang berkecamuk perang. Sekarang keberadaan dan nasibnya juga tidak diketahui.
Karena memang sering kali PJTKI hanya mengelabui calon TKI dengan iming-iming gaji yang besar, tetapi kerentanan TKI terhadap penyiksaan, kekerasan, ini sering kali tidak dijadikan sebagai informasi yang disampaikan.
Setiap negara tujuan memiliki persoalan kerentanan yang berbeda. Yang mempunyai kerentanan relative sama yaitu di Malaysia dan Arab Saudi. Mengapa di kedua negara tersebut begitu kelihatan ? karena jumlah TKI di sana juga relative lebih banyak dibanding dengan negara tujuan yang lain.
Di Arab Saudi, Migrant Care mencatat ada 5.535 Pembantu Rumah Tangga (PRT) kita yang mengalami penyiksaan bahkan kekerasan seksual, belum lagi di Malaysia dan negara-negara lain.
Terkait informasi semacam ini juga kami mengalami kesulitan untuk mendapatkan validitasnya karena pemerintah sendiri, dalam hal ini KBRI, Defnakertrans, Deplu juga jarang melakukan pendaptan TKI yang menjadi korban. Mereka jarang mengeluarkan data resmi yang bisa dipertanggung jawabkan.
Selain itu juga, ada pula TKI yang sukses pulang kampung bawa uang banyak. Fokus Migrant Care adalah advokasi bagi hak-hak mereka yang terlanggar. Tetapi saya kira membandingkan mereka yang sukses dengan mereka yang terlanggar haknya bukanlah gara yang baik. Karena bagi kita satu saja TKI yang terlanggar haknya harus dibela sampai haknya terpenuhi.
Fhilipina juga mengirimkan sektor yang sama, PRT juga. Tetapi PRT asal Fhilipina nasibnya berbeda. Ada kasus tetapi tidak semasif Indonesia karena pemerintah Fhilipina mempunyai tingkat kepedulian berbeda dengan pemerintah Indonesia.
Bukankah pemerintah juga sudah peduli, Presiden SBY dengan gayanya yang khas mengatakan akan memberikan HP pada buruh migran. Itu menunjukan betapa pemerintah Indonesia tidak serius dalam menuntaskan permasalahan buruh migran. Dengan memberikan HP pemerintah tidak perlu berbuat banyak, tidak perlu bernegosiasi dengan Negara tujuan, tidak perlu repot, namun sangat mudah dan instant. Pemerintah tinggal mengajukan anggaran ke DPR untuk pengadaan HP. Hal ini juga semakin membuktikan bahwa kebijakan ini hanyalah politik pencitraan semata.
Tengoklah TKI di Hongkong, Taiwan, Korea dan Jepang, mereka relative tidak memiliki persoalan komunikasi karena negara-negara tersebut telah menjamin hak atas informasi dan komunikasi. Bahkan HP yang dimiliki TKI di sana bagus-bagus.
Akan tetapi mengapa masalah komunikasi ini muncul di Malaysia, Arab Saudi, sebagian Singapura dan beberapa Negara di Timur Tengah? Apakah TKI tidak mampu membeli ponsel ? Bukan! Karena buruh migrant terutama PRT migrant belum mendapat jaminan atas akses informasi dan komunikasi, karena di Negara-negara itu memang belum memiliki regulasi yang mengatur tentang PRT migrant.
Maka menurut saya, anggaran yang digunakan untuk mengadakan HP itu segera dialihkan untuk membangun sebuah kebijakan bilateral dengan Negara-negara tujuan. Segera membuat standar pendidikan dan pelatihan yang berkualitas untuk buruh migrant tidak dengan hanya pengadaan ponsel.
Di Negara tujuan TKI harus dipastikan mendapatkan haknya untuk berkomunikasi bukan alat telekomunikasinya. Karena seperti pengakuan banyak TKI, ponsel mereka itu yang dirampas, bahkan baru beli kartu chipsnya saja sudah di rampas. Ini artinya apa? Buruh migrant membutuhkan perlindungan hukum, bukan sekedar HP!
Sudah jelas, sudah bertahun-tahun Indonesia membandingkan dengan Fhilipina. DPR dan Depnakertrans juga setiap tahun studi banding ke Fhilipina tetapi hanya sebatas proyek luar negeri, tidak pernah di implementasikan secara baik di Indonesia.
Kita sudah berkali-kali ke DPR, ke pemerintah memberikan masukan bahkan mendesak untuk mengubah kebijakan agar lebih melindungi dan menjamin TKI. Tetapi selama ini saya kira masukan-masukan dari masyarakat, buruh migrant, keluarga buruh migrant, itukan hanya dianggap sebagai angina lalu saja.
Hak-hak dasar buruh adalah soal gaji, jam kerja, kebebasan berserikat, kebebasan bergerak, kebebasan menjalankan agama, kebebasan mengirimkan uang gaji mereka. Hak-hak dasar buruh itulah yang harus dijamin pemerintah. Bukan sekedar mengatur pola migrasi TKI dari Indonesia ke Negara lain seperti yang selama ini dilkukan.
Oleh karena itu, kita mendesak pemerintah untuk berhenti bergantung kepada negara lain dalam melindungi warga negaranya. Tetapi pemerintah harus dapat mengeluarkan TKI dari krisis yang membuat hak-haknya terlanggar di luar negeri.
Kasus Dugaan Penjualan Organ Tubuh TKI di Malaysia
 Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :
a.       memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan    manusiawi;
b.      mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c.       memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
d.      meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Terkait dengan dugaan praktek jual beli organ TKI asal Mataram yang didapatkan informasinya setelah identifikasi ternyata berjumlah 3 orang.
1.      Herman
Tempat, tanggal lahir              : Pancor Kopong, 27-08-1978
Alamat tinggal                        : Pancor Kopong Desa Pringga Kecamatan  Pringgasela
Nomor Pasport                        : W 953434 (Kanim   Mataram)
Pekerjaan                                 : Konstruksi/bangunan di Malaysia
Tempat Kerja                          : Mega Five Dev SSDN BHD, Nomer 24 jalanTuanku Antan, Seremban, Negeri Sembilan Seremban, Negeri Sembilan 
Penyeban kematian                 : Guns hot Wound on the head
2.  Abdul Kadir Jaelani
Tempat, tanggal lahir              : Pancor Kopong, 31 Oktober 1987
Alamat tinggal                                    : Pancor Kopong Desa Pringgasela, KecamatanPringgasela
Nomor Pasport                        : V 043796 (Kanim Mataram)
Pekerjaan                                 : Konstruksi/bangunan di   Malaysia

Tempat Kerja              : Ashami enterprise, KG Baru BT 3 Mambau
lorong Rajawali Seremban, Negeri Sembilan
Penyebab kematian     : Multiple Gun Shot Wounds
3.      Mad Noon
Tempat, tanggal lahir : Pengadangan, 19 November 1984
Alamat tinggal                        : Dusun Gubuk Timur, Desa Pengadangan, Kec. Pringgasela
Nomor Pasport          : AP 876148 (Perwakilan RI Kuala Lumpur)
Pekerjaan                     : Perkebunan Kelapa Sawit  Malaysia
Tempat Kerja              : Lot 4302 KG Seremban Negeri Sembilan
Penyebab kematian     : Kesan Tembakan Berganda
Adapun kronologi keberangkatan hingga mencuatnya dugaan penjualan organ TKI adalah sebagai berikut :
a.       Pertengahan tahun 2010
Para korban berangkat ke Malaysia untuk bekerja. Dua orang atas nama Herman dan Abdul Kadir Jaelani untuk bekerja di sektor konstruksi, sementara atas nama Mad Noor berencana bekerja di Perkebunan kelapa Sawit.
b.      Hari Jumat, 23 Maret 2012
                  Sebelum korban ditemukan meninggal, tepatnya jam 10 malam, salah satu korban atas Nama Herman menelpon istrinya bahwa saat itu ia bersama dua kawannya sedang pergi memancing di tempat pemancingan. Diinformasikan juga bahwa dia berniat pulang ingin lihat anaknya. Karena saat pergi ia meninggalkan istrinya bersama anaknya yang masih beruisia lima bulan. Dua tiga hari kemudian ia tidak bisa dihubungi lagi.
c.       Sekitar tanggal 25 atau tanggal 26 Maret 2012
Keluarga korban sempat membaca sebuah surat kabar lokal berbahasa mandarin yang isinya ditemukan dua sepeda motor di tempat pemancingan. Berangkat dari informasi ini, selanjutnya Wildan (keluarga sepupu/misan dari Abdul Kadir) bersama majikan membuat berita kehilangan di Kantor kepolisian setempat. Pada saat di kepolisian Wildan disarankan untuk langsung ke rumah sakit.
d.      Hari Jumat, tanggal 30 Maret 2012
Wildan mengajak Hirman (kakak kandung Abdul Kadir Jaelani) dan majikan berkunjung ke rumah sakit. Sebelumnya mereka meminta surat kunjungan ke rumah sakit di kepolisian setempat. Selanjutnya setelah mereka sampat di tempat, ternyata tiga korban ditemukan sudah dalam keadaan meninggal di Hospital Port Dickson.
Keluarga korban (Wildan, Hirman) memberikan kesaksian bahwa jenazah ketiga korban sama-sama telah dijahit pada bagian kedua mata, dada dan perut.
Fakta ini sangat jauh berbeda dengan informasi dokumen yang diberikan oleh pejabat setempat yang mengungkapkan bahwa mereka mati tertembak. Seperti Guns hot Wound on the head, Multiple Gun Shot Wounds dan Kesan Tembakan Berganda.
Pada saat itu selanjutnya pihak keluarga di Malaysia memberikan kabar pada masing-masing keluarga ketiga korban. Untuk bisa memulangkan ke kampung halaman.
Selanjutnya orang tua Herman di kampung Pancor Kopong Desa Pringgasela selatan mengeluarkan untuk biaya kepulangan almarhum anaknya. Uang dikirim sebesar 13 juta, sementara Abdul Kadir Jaelani dan Mad Noor urunan/iuran antara keluarga TKI dengan teman-teman Korban di Malaysia.
e.       Hari Selasa, 3 April 2012
Pihak Kedutaan RI memberikan surat keterangan tentang ketiga korban (nomor 0817/SK-JNH/04/2012, nomor 0818/SK-JNH/04/2012, dan nomor 0819/SK-JNH/04/2012 yang ditandatangani  Heru Budiarso (sekretaris Kedua Konsuler) menyatakan :
1.      Para korban akan dikebumikan oleh keluarganya di Indonesia dan akan diterbangkan dengan pesawat Garuda Air lines dari KLIA Sepang tujuan Bandara Sukarno Hatta – Mataram NTB.
2.      Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur karena kondisi yang tidak memungkinkan tidak melakukan pengecekan atas sebab-sebab kematian sebagaimana tersebut di atas. Kedutaan besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur tidak bertanggung jawab terhadap kondisi jenasah yang dikirim baik menurut sigat maupun keterlian pembungkusannya.
f.       Hari Rabu, 4 April 2012
Para korban selanjutnya dimandikan dan dikafani. Teman TKI yang ikut memandikan, mengkafani serta menyolatkan adalah:
1.            Misbah (TKI asal Lombok)
2.            Wildan (TKI asal Lombok yang sekaligus misan/sepupu Herman)
3.            Sehabuddin (TKI asal Lombok), dan
4.            Petugas rumah sakit
g.      Tanggal 5 April 2012
Tiga korban selanjutnya dibawa pulang ke kampung/desa masing-masing yaitu Desa Pringgasela Selatan dan Pengadangan. Sebenarnya secara langsung Hirman, Serun dan Amaq Ana (ketiganya keluarga korban) yang sedang bekerja sebagai TKI di luar negeri ingin bersama jenazah mendampingi tiga korban. Tetapi menurut majikan, mereka tidak bisa pulang bersamaan, karena tiket garuda tidak cukup/tersedia.
Ketiga keluarga/pendamping akhirnya pulang duluan dengan menggunakan Pesawat Air Asia dengan biaya sendiri. Per-masing-masing orang mengeluarkan dana sebesar 540 RM sampai bandara Bali, selanjutnya dari Bali menuju Bandar International Lombok mereka beli sediri lagi sebesar 500 ribu (di dalamnya termasuk biaya penginapan di Bali).
Ketiga jenazah tiba di bandara  Internasional dengan yang masing-masing di jemput keluarga bersama ambulan dengan biaya sendiri.

h.      Hari Jum’at,  6 April 2012
Korban dimakamkan. Abdul Kadir Jaelani dan Herman dimakankan berdampingan di kuburan keluarga  Pancor Kopong. Sementara Mad Noor di kebumikan di Pengadangan Kecamatan Pringgasela kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat. Tiga Jenazah korban sengaja sama-sama tidak dibuka oleh keluarga, karena korban diinformasikan sudah dimandikan, dikafani dan dianggapnya sudah cukup lama meninggal.
Pemakaman tiga korban TKI dilakukan secara khidmat oleh keluarga dan warga kampung. Tidak tanpa secara khusus perwakilan dari pemerintah, baik dari tingkat kecamatan, Kabupaten, Propinsi dan pusat.
i. Hari Sabtu, 14 April 2012
Keluarga meminta bantuan Koslata untuk bisa membantu mencari informasi termasuk juga melakukan advokasi. Pada hari itu juga Koslata langsung berkoordinasi dengan instansi terkait. Karena hari libur baru bisa melakukannya via telphon. Selanjutnya bersepakat bersama-sama menuju lokasi.
Informasi awal via telphon dengan para pihak di tingkat kabupaten, Propinsi dan BP3TKI perpanjangan tanganan BNP2TKI pusat – sampai tim berangkat bersama ke lokasi desa tiga korban,mereka baru mendengar kasus ini. Walaupun faktanya telah ada surat dari Kedutaan dan sempat diantar secara langsung oleh ambulan BP3TKI Mataram.
Kasus yang kini hangat dibicarakan membawa kembali goresan hitam mengenai kontroversi dua Negara yang telah terkiprah sejak zaman dulu. Segala bentuk kebijakan yang telah disahkan nampaknya tidak menjadi acuan akan terealisasikannya tujuan tersebut. Jaminan akan   keselamatan para TKI pun seakan hanya menjadi coretan tinta yang turut menimbun diantara deretan hukum Negara ini.
Kurangnya bentuk kepedulian para penguasa terhadap kasus yang menimpa TKI ini terbukti dengan kurang tegasnya tindakan yang dilakukan oleh kedutaan besar Indonesia di Malaysia yang tidak melakukan pengecekan atas penyebab kematian sebagaimana yang didapat dikarenakan alasan kondisi yang tidak memungkinkan. Selain itu, pada saat pemakaman tak satupun perwakilan dari pemerintah baik tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi maupun pusat yang turut hadir. Dimana letak kepedulian serta kekentalan budaya yang selama ini telah dikoarkan oleh bangsa timur sebagai bangsa yang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan.
Meskipun kasus yang menimpa TKI asal Mataram tersebut belum diketahui kepastiannya, namun PBB tidak hanya tinggal diam dan siap mengambil bagian dari masalah ini. Terbukti dengan pernyataannya mengenai jual beli organ yang merupakan kejahatan teroganisir. Inisiatif tersebut direalisasikan melalui United Nation Global Initiatif to Fight Human Trafficking (UNGIFT). Adapun yang termasuk kedalam perdagangan organ yang berimplikasi pada tindakan pidana adalah :
1.      Kasus dimana pedagang memaksa atau menipu korban agar memberikan organnya.
2.      Kasus dimana korban secara formal ataupun informal setuju untuk menjual organ dan ditipu karena mereka tidak dibayar untuk organ yang dijual atau yang dibayar kurang dari harga yang dijanjikan.
3.      Orang yang rawan sebagai korban diperlakukan sebagai orang sakit, padahal sejatinya penyakit itu tidak pernah ada. Setelah itu organ dikeluarkan tanpa sepengetahuan korban.
Adanya tanggapan positif dari PBB seharusnya menjadi pemicu pemerintah Negara ini untuk semakin sigap menangani permasalahan TKI, diantaranya dapat dengan melakukan pencatatan atas setiap calon tenaga kerja dan tidak hanya sebatas itu, pihak kedutaan juga wajib melakukan komunikasi dengan para TKI agar selalu terjalin jaringan yang dapat menghubungkan setiap keadaan para TKI dengan pemerintah Indonesia.
Semoga saja kebijakan yang dibuat oleh PBB ini mampu menjadi batu pijakan bagi pihak berwenang untuk segera menuntaskan berbagai perspektif yang muncul dan segera membuktikan kebenaran dari kasus yang menimpa warga Indonesia tersebut. Sehingga tidak terjadi pengalokasian tertentu terhadap setiap hak warga Negara.

DAFTAR PUSTAKA