Flag Counter

Rabu, 03 April 2013

Makalah tentang Macam- Macam Sistem Hukum di Dunia



SISTEM HUKUM YANG ADA DI DUNIA


1. SISTEM HUKUM EROPA KONTINENTAL
            Sistem hukum ini berkembang di negar Eropa - eropa Barat seperti Prancis, dapat disebut sebagi negara yang paling terdahulu mengembangkan sistem hukum Kontinental tersebut.  Dalam sistem hukum Kontinental diutamakan hukum tertullis yaitu peraturan perundang -undangan sebagai sendi utama system hukumnya. Sistem hukum continental disebut pula sistem hukum kodifikasi ( codified law) lazim juga disebut sistem hukum sipil  (the civil law system).
            Sistem hukum continental tersebar keluar dari Eropa melalui penjajahan oleh Prancis di Negara Afrika, Indonesia, Cina dan Lousiana. Sebenarnya semula hukum continental berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Justinianus abad ke VI sebelum masehi. Peraturan – peraturan hukumnya merupakan kumpulan dari berabagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Justinianus yang kemdaian disebut “Corpus Juris Civilis” dalam perkembangannya, prinsip – prinsip hukum yang terdapat pada Corpus Juris Civilis itu dijadikan dasar perumasan dan kodifikasi hukum di Negara- Negara Eropa daratan, seperti Jerman, Belanda, Perancis, Italia, Amerika Latin dan Asia.
            Prinsip utama  yang menjadi dasar system hukum Eropa kontinental itu ialah “ hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena mewujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu”. Prinsip dasar ini dianut mengungat bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah “kepastian hukum”. dan kepastian hukum hanya dapat diwujudkan kalau tindakan – tndakan hukum manusia dalampergaulan hidup diatur dengan peraturan – peraturan hukum yang tertulis. Dengan tujuan hukum itu dan berdasarkan sistem hukum yang dianut, maka hakim tidak dapat leluasa untuk menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum. Hakum hanya berfungsi “ menetapkan dan menafsirkan peraturan – peraturan dalam batas wewenangya”. Putusan seorang hakim dalam suatu perkara hanya mengikat para pihak yang berperkara saja ( doktrin  Res Ajudicata).
            Sejalan dengan pertumbuhan Negara – Negara nasional di Eropa, yanag bertitik tolak kepada unsur kedaulatan ( sovereignty ) nasional termasuk kedaulatan untuk menetapkan hukum, maka yang menjadi sumber hukum di dalam sistem hukum Eropa continental adalah “ undang – undang “ yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif. Selain itu juga diakui “ peraturan – peraturan” yang dibuat pegangan kekuasaan eksekutif berdasarkan wewenang yang telah ditetapkan oleh undang – undang ( peraturan – peraturan hukum Administrasi Negara) dan “ kebiasaan – kebiasaan “ yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang – undang. Berdasarkan sumber  - sumber hukum itu, maka sistem hukum Eropa continental, pemggolongannya ada 2 yaitu penggolongan ke dalam bidang :
-          hukum public
-          hukum privat
 Hukum publik mencakup peraturan – peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenagn penguasa/Negara serta hubungan – hubungan antara masyarakat dan Negara. Termasuk dalam hukum public ini ialah :
1.      Hukum tatanegara
2.      Hukum Administraasi Negara
3.      Hukum P idana

Hukum privat mencakup aturan – aturan hukum yang mengatur  tentang hubungan antara individu – individu dalam memenuhi kebutuhan demi hidupnya. Termasuk dalamhukum privat adalah :
1.      Hukum sipil
2.      Hukum dagang
Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia sekarang, maka batas – batas yang jelas antara hukum public dan hukum privat itu semakin sulit ditentukan, karena :
a. Terjadinya proses sosialisai di dalam hukum sebagai akibat dari makin banyaknya bidang – bidang kehidupan masyarakat yang walaupun pada dasarnya memperlihatkan adanya unsur – unsur “ kepentingan umum/masyarakat” yang perlu dilindungi dan dijamin. Misalnya bidang hukum perburuhan dan agraria.
b. Makin banyaknya ikut campur Negara di dalam bidang kehidupan yang sebelumnya hanya menyangkut hubungan perorangan. Misalnya bidang perdagangan, bidang perjanjian dsb.

2. SISTEM COMMON LAW
a. Sejarah Perkembangan
Sistem common law secara orisinil berkembag di bawah pengaruh sistem yang bersifat adversarial dalam sejarah England berdasarkan keputusan pengadilan yang berdasarkan tradisi, custom dan preseden. Bentuk reasoning yang digunakan dalam Comnon Law dikenal dengan Casuistry atau case based reasoning. Comon law dapat juga berbentuk hukum tak tertulis ataupun hukum tertulis seperti tertuang dalam statutes maupun codes. Common law ditetapkan pada kasus – kasus sipil ( sebagai lawan dari kasus criminal) yang dirancang untuk kompensasi seseorang dari pelanggaran yang dikenal dengan tortes. Tort tersebut dapat berupa tindakan yang dengan sengaja (intentional torts) maupun karena kelalaian seseorang (torts caused by negligence). Saat ini persoalan telah mencakup masalah hukum kontrak termasuk juga hukum pidana yang bersifat penal.
Sebelum adanya stabilitas institusional yang diterapkan oleh William sang penakhluk tahun 1066, warga Negara Inggris tunduk dan diatur oleh kebiasaan local yang tidak tertulis yang bervariasi dari satu komunitas ke komunitas lainnya dan diterapkan dengan sewenang – wenang. Sebagai contoh, pengadilan terdiri dari majelis public informal yang menentukan konflik atas suatu kasus, apabila tidak mampu memutuskannya, tersangka akan tergugat dibuktikan bersalah atau tidaknya dengan membawa besi merah panas atau menangkap batu panas dari caldron yang berisi air mendidih. Apabila luka – luka terdakwa sembuh pada periode tertentu ia berarti tidak bersalah, tetapi jika sebaliknya hukuman akan ditetapkan.
Pada tahun 1154 Raja Hendry II merupakan raja pertama yang melakukan pencapaian signifikan berupa melembagakan common law dengan menciptakan unified system of law common to the country dengan melalui penggabungan dan elevasi kebiasaan lokal menjadi nasional, mengakhiri control lokal dan kejanggalan -  kejanggalan, mengeliminasi aturan yang sewenang – wenang dan membentuk suatu sistem juri yang disumpah untuk menginvestigasi perkara sipil maupun criminal.
 Kreasi dan pencapaian Hendry II yang begitu berkuasa dalam mengunifikasi hukum yang mengekang kekuasaan hukum kanonik ( hukum gereja) membawanya pada suatu konflik dengan gereja. Seorang arbishop Canterbury yang bernama Thomas Becket terbunuh oleh pengikut Raja Hendry II dan ketika itu gereja manobatkan Becket sebagai seorang “saint”
Pada awal abad ke 15 praktik-praktik litigasi menjadi populer dan mereka yang merasa dirugikan dapat mengajukan petisi pada raja. Untuk kebutuhan ini, dibentuklah system equity yang diadministrasikan oleh Lord Chancellor pada pengadilan Chancery. Di Inggris cour of law and equity dikombinasi melalui judicatore ACTS of 1873 dan 1875, dimana equity menjadi lebih tinggi dalam penyelesaian konflik.
Sistem common law merupakan sistem hukum yang memakai logika berfikir induktif dan analogi hal ini berlawanan dengan system cipil law yang memakai metode deduktif





3. SISTEM HUKUM ISLAM
Pengertian Islam
Islam mengandung arti ketundukan ketaatan yang sepenuhnya kepada Allah. Islam berasal dari kata salm yang berarti damai ( peace). Apabila seseorang menghendaki kedamaian, kesejahteraan, keselamatan yang hakiki dari rasa dan pemikirannya hanya melalui penyerahan diri dan ketundukan serta ketaatan kepada Allah.
Untuk memahami karakteristik Islam, Fazlul Rahman menyebutkan beberapa karakter dalam islam :
a.       Sederhana, diterima akal sehat dan praktis
b.      Kesatuan antara materi dan spiritual
c.       Suatu jalan hidup yang lengkap a complete way of life
d.      Keseimbangan antar individu dan masyarakat
e.       Peniversalitas dan humanism
f.       Permanen dan berubah
g.      Ajaran yang terekam dengan lengkap tersedia

Dalam Islam, hukum adalah salah satu pilar utama masyarakat, dan hukum
sendiri diperuntukkan untuk masyarakat. Dimanapun mereka berada selalu memerlukan hukum dan undang – undang untuk mengatur hubungan diantara mereka. Dengan kata lain, hukum selalu ada dan tumbuh dari dan untuk masyarakat ; tidak ada masyarakat tanpa hukum.  
 Sistem hukum ini semula dianut oleh masyarakat Arab sebagai awal dari timbulnya dan penyebara agama Islam. Kemudian berkembang ke Negara – Negara lain di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika secara individual dan kelompok. sedangkan untuk beberapa Negara di Afrika dan Asia perkembangannya sesuai dengan perkembangan Negara itu yang berasaskan ajaran Islam. Bagi Negara Indonesia walaupun mayoritas warga negaranya beragama Islam, pengaruh agama itu tidak besar dala bernegara, karena asas pembentukan Negara bukanlah menganut ajaran Islam.
Sistem hukum Islam bersumber hukum pada :
1.      Al-Qur’an yaitu kitab suci dari kaum muslimin yang diwahyukan oleh Allah kepada nabi rasul Allah Muhammad dengan perantara malaikat Jibril.
2.      Sunnah Nabi, ialah cari hidup dari nabi Muhammad atau cerita – cerita ( hadits) mengenai nabi Muhammad.
3.      Ijma’, kesepakatan para ulama besar tentang suatu hal dalam cara bekerja ( berorganisasi ).
4.      Qiyas, merupakan analogi dalam mencari sebanyak mungkin persmaan antara dua kejadian cara ini dapat dijelmakan melalui metode hukum berdasarkan deduksi dengan menciptakan atau menarik suatu garis hukum baru dari garis hukum lama dengan maksud memberlakukan yang baru itu kepada suatu keadaan karena persamaan yang ada di dalamnya.
 Agama islam dengan sengaja diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril  kepada nabi Muhammad dengan maksud menyusun ketertiban dan keamanan serta keselamatan umat manusia. Karenna itu dasar – dasar hukumnya mengatur mengenai segi – segi pembangunan, politik, sosial ekonomi dan budaya disamping hukum – hukum pokok tentang kepercayaan dak ketaatan atau ibadah kepada Allah SWT. Karen atu berdasarkan sumber – sumber hukumnya, system hukum islam dalam hukum fiqih terdiri dari 2 hukum pokok, adalah :
1.      Hukum rohaniah, lazim disebut ibadah, yaitu cara – dara menjalankan ibadah tentang ketaatan kepada Allah SWT, seperti Sholat, puasa, zakat dan menjalankan ibadah haji. Kelima kegiatan menjalankan ibadah kepada Allah SWT itu lazim disebut al arkanul islam al hamzah
2.      Hukum duniawi, terdiri dari :
a.       Muamalah, yaitu tata tertib hukumdan peraturan mengenai hubungan antar manusia dalam bidang jual beli, sewa menyewa, perburuhan, hukum tanah, hukum perikatan, hak milik, hak kebendaan dan hubungan ekonomi pada umumnya.
b.      Nikah, yaitu perkawinan dalam arti membentuk sebuah keluarga yang terdiri dari syarat – syarat dan rukunnya hak dan kewajiban, dasar – dasar perkawinan, monogamy dan akibat – akibat hukum perkawinan.
c.       Jinayah, yaitu hukum pidana yang meliputi ancapan hukuman terhadap hukum Allah SWT dan tindak pidana kejahatan.
Dalam perkembangan hukum islam lahir lapangan hukum lainnbya, yaitu :
1.      Aqdiyah, ialah peraturan hukum pengadilan, meliputi kesopanan hakim, saksi, beberapa hak peradilan, dan cara – cara memerdekakan budak belian.
2.      Alkhilafah, ialah mengatur mengenai kehidupan bernegara, melliputi bentuj Negara dan dasar – dasar pemerintahan, hak dan kewajiban  warga Negara, kepemimpinan dan pandangan islam terhadap pemeluk agama lain.
Sistem hukum islam ini menganut suatu keyakinan dari ajaran agama islam dengan keimanan lahir bathin secara individual. bagi Negara – Negara yang amenganut asas hukum islam dalam bernegara melaksanakan peraturan – peraturan hukumnya secara taat sesuai yang dianggap adil berdasarkan peraturanperundangan Negara yang dibuat dan tidak bertentangan dengan ajaran islam.

4.SISTEM  HUKUM GEREJA
            Untuk berbagai hal, seperti perkawinan, harta benda gereja, penghukuman kejahatan - kejahatan,larangan riba, hukum acara gereja, dll gereja katolik mengadakan hukumnya sendiri yang disebut hukum kanonik.
            Gereja Luther dan beberapa geraja protestan lainnya juga memiliki suatu disiplin peraturan – peraturan masing – masing. Bedanya adalah bahwa bagi gereja katolik hukum kanonik itu sangat  berkuasa, pernah didalam sejarah membawahi hukum umum, lambat laun berubah sehingga menjadi dibawahi oleh hukum umum hukum negara sekarang.  Bagi gereja Luther dan lain-lain hukum gereja itu tetap dari semula tidak menyaingi hukum Negara.
Berikut adalah beberapa ketentuan umum dari hukum Gereja katolik, yang kiranya pantas diketahui oleh semua umat beriman.
A. Kedudukan Orang Beriman (kanon 96-112)
1. Seseorang mulai menjadi warga Gereja segera setelah ia dibaptis. Sejak itu ia mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam Gereja, sesuai dengan kedudukannya.
2. Seorang warga Gereja yang dewasa memperoleh domisili dengan bertempat tinggal di wilayah suatu paroki, dengan maksud untuk tinggal secara tetap di sana, atau sudah berada di sana selama genap lima tahun. Seorang warga Gereja yang dewasa memperoleh kuasi-domisili dengan bertempat tinggal di wilayah suatu paroki dengan maksud untuk tinggal di sana sekurang-kurangnya selama tiga bulan, atau ternyata sudah berada di sana selama tiga bulan.
3. Berdasarkan domisili maupun kuasi-domisili-nya, setiap warga Gereja berada di bawah kepemimpinan pastor-paroki maupun Ordinaris (misalnya : Uskup) setempat.
 SAKRAMEN BAPTIS
Berikut adalah beberapa ketentuan hukum Gereja katolik tentang sakramen baptis, terutama yang pantas diketahui oleh umat beriman pada umumnya.
A. Penerimaan Sakramen Baptis (kanon 849-860)
1. Sakramen baptis hanya dapat diterimakan secara sah dengan pembasuhan air sungguh, disertai rumus kata-kata yang diwajibkan oleh Gereja.
2. Sakramen baptis hendaknya diterimakan menurut tata-perayaan dalam buku-buku liturgi yang disetujui, kecuali dalam keadaan darurat, di mana harus ditepati hanya hal-hal yang dituntut untuk sahnya sakramen.
3. Penerimaan sakramen baptis haruslah disiapkan dengan semestinya. Karena itu, orang dewasa yang bermaksud menerima sakramen baptis hendaknya diterima dalam katekumenat dan sejauh mungkin dibimbing lewat pelbagai tahap, menurut tata-perayaan inisiasi yang telah disesuaikan oleh Konferensi Para Uskup. Orang tua dari kanak-kanak yang akan dibaptis, demikian pula mereka yang akan menerima tugas sebagai wali-baptis, hendaknya diberitahu dengan baik tentang makna sakramen ini dan tentang kewajiban-kewajiban yang melekat padanya.
4. Air yang harus digunakan dalam menerimakan sakramen baptis, di luar keadaan terpaksa, haruslah air yang sudah diberkati menurut ketentuan-ketentuan buku liturgi.
5. Meskipun sakramen baptis dapat diterimakan pada hari apa pun, namun dianjurkan agar pada umumnya diterimakan pada hari Minggu, atau, jika dapat, pada malam Paskah.
6. Di luar keadaan darurat, tempat yang biasa untuk baptis adalah gereja atau ruang doa. Pada umumnya orang dewasa hendaknya dibaptis di gereja parokinya sendiri, sedangkan kanak-kanak di gereja paroki orang-tuanya, kecuali bila alasan wajar menganjurkan lain.
7. Jika calon baptis, karena jarak jauh atau keadaan lain, tidak dapat datang atau dibawa tanpa kesulitan besar ke gereja paroki, pembaptisan dapat dan harus dilaksanakan di gereja atau ruang doa lain yang lebih dekat, atau di tempat lain, yang layak.
8. Di luar keadaan darurat, atau karena ada alasan yang berat, sakramen baptis jangan diterimakan di rumah pribadi.
9. Di luar keadaan darurat, atau karena ada alasan yang berat, sakramen baptis juga jangan diterimakan di rumah sakit.



5. SISTEM HUKUM CHINA
 Sistem hukum China, berkembang menurut alur sejarahnya sendiri, “terlepas” dari perkembangan sistem hukum anglo-saxon (anglo-american), maupun sistem civil law (Eropha continental). Meskipun pada titik tertentu terlihat adanya persinggungan diantara sistem-sistem hukum tersebut, akan tetapi sistem hukum China terbangun dengan pondasi sumber hukum, asas, lembaga dan pranata yang berbeda dengan sistem hukum lain didunia, sehingga tampil sebagai sebuah sistem hukum tersendiri.

1. Sistem Hukum China di Masa Kerajaan : Sebuah sistem dikotomis yang Diskrimanatif
Sejak awal pembentukannya, sistem hukum China terbangun oleh dua tradisi besar, yaitu tatanan hukum yang bersumber dari ajaran filsafat confusionisme , yang bertumpu pada pengabdian aturan-aturan hukum moral (yang disebut li), dan tatanan hukum yang didasarkan atas undang-undang (yang disebut fa) terutama undang-undang pidana, sebagai produk hukum yang diupayakan oleh para raja dengan bantuan ahli-ahli hukum.  Munculnya konsep Li dalam sistem hukum China, didasarkan pada struktur kemasyarakatan China pada era kerajaan yang bertumpu pada etika yang bersumber dari tiga buah aliran pemikiran, yaitu: Confusianisme, Taoisme dan Budhisme .
 Li adalah kata kunci paling dekat pada pengertian “hukum“ menurut konsepsi hukum di negara-negara barat, meskipun terkadang Li diterjemahkan pula dengan ritual, moral, etiket, kepastian. Li merupakan seperangkat aturan-aturan kepatutan dan kesopanan yang harus diindahkan oleh manusia yang jujur. Dengan demikian Li lebih menampakan dirinya sebagi sebuah kode etika dalam pergaulan (aturan-aturan moral). Aturan-aturan hidup yang disebut Li bukanlah sebuah ketentuan yang berlaku umum, Li memiliki substansi yang berbeda-beda mengikuti bentuk hubungan dan golongan dari orang-orang yang harus menerapkannya.
 Meskipun demikian terdapat satu ketentuan yang berlaku umum di dalam Li, yaitu adanya penetapan, bahwa manusia pada dasarnya tidak mempunyai hak-hak subyektif, akan tetapi hanya memiliki kewajiban-kewajiban, baik kewajiban terhadap atasan-atasan mereka, maupun terhadap masyarakat.
Penetapan kewajiban yang bersifat subordinasi tersebut, diperlukan, sebagai bagian dari upaya untuk menjamin terselenggaranya “kelima hubungan dan perimbangan yang telah dikemukakan Konfusius dan terutama Mensius”, yaitu : (a) kaum muda terhadap kaum tua;
(b) kaum laki-laki terhadap ayahnya;
(c) istri terhadap suami;
(d) sahabat terhadap sahabatnya;
(e) kaula negara terhadap raja
  Adanya kewajiban yang bersifat subordinasi ini, tidak dapat diepaskan dari bentuk dasar organisasi kemasyarakatan, yaitu keluarga, dalam arti yang luas. Kepala keluarga adalah orang yang tertua dari generasi tertua, dan ia melakukan kekuasaan yang tak terbatas atas semua anggota-anggota keluarga. Keluarga-keluarga tersebut dikelompokkan kedalam keturunan-keturunan dan yang disebut terakhir ini pada gilirannya bertumpu pada domein feodal, dan berada dibawah pimpinan raja-raja. Hierarki feodal seperti itulah yang ada pada era Confusius, tetap bertahan.
Kondisi sebagai terdeskripsi di atas yang kemudan menjadi dasar diterapkannya Li oleh kepala keluarga didalam keluarga, oleh kepala suku-bangsa terhadap kepala-kepala keluarga, oleh raja-raja atau pejabat-pejabat tinggi terhadaap kepada kepala-kepala suku. Dalam konteks ini setiap orang harus berikhtiar untuk menghindari adanya sengketa, oleh karena adanya sengketa dapat merusak kehormatan dan sekaligus mengganggu ketertiban masyarakat. Dengan demikian setiap anggota masyarakat harus senantiasa berupaya untuk melakukan rekonsiliasi, dan mencari solusi yang mendamaikan. Bilamana proses rekonsiliasi tidak menghasilkan sesuatu, maka barulah sengketa tersebut diselesaikan dengan hukum, sebagai alat pamungkas . Adanya pandangan yang demikian mendasarkan pada pendapat Confucius, yang menyatakan bahwa manusia akan menjadi benar, jika manusia menjunjung tinggi moral (Li) dalam setiap kehidupannya. Dengan menjunjung tinggi moral, maka manusia akan berada dalam kesempurnaan sehingga manusia tidak perlu lagi berpedoman pada hukum. Menurutnya hukum tertulis yang dibuat oleh para pembentuk hukum (kaum legalis) menjadikan manusia memiliki perilaku yang buruk. Hukum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang jahat, hukum menjadikan manusia bersikap tamak dan serakah. Manusia yang telah mencapai kesempurnaan moralitas tidak akan membutuhkan hukum dalam hidupnya. Pemikiran Confucius tersebut dilandasi oleh sebuah keyakinan bahwa pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan baik, sehingga ia karena terdapatnya atau telah tertanamnya moral dalam dirinya sejak manusia itu lahir
 Pada abad III M, terutama di zaman Dinasti Tsyin (256-207), ajaran Confusionisme, terutama ajaran li ini diserang habis-habisan oleh kaum ahli-ahli hukum atau para legis, yang mendasarkan pada pandangan bahwa fa — artinya undang-undang, terutama undang-undang hukum pidana — sangat diperlukan bagi rakyat. Apa yang dikenal dengan fa-cia (madzab undang-undang/madzab kaum legis) berkembang pesat terutama pada pemerintahan Kaisar Ch’in Shih Huang-Ti, yang pada tahun 221 SM mewujudkan persatuan dan kesatuan semua wilayah China, dan kemudian diteruskan oleh mao tse Tung serta pimpinan partai komunis.

Tentangan terhadap Confucius tersebut, mendasarkan pada pemahaman Kaum Legalis, yang melihat bahwa sesungguhnya manusia dilahirkan dengan membawa watak dan sifat jahat. Manusia cenderung untuk senang sendiri, ia akan menjadi serigala bagi manusia yang lain. Pada keadaan yang demikian manusia harus diatur oleh hukum yang keras. Menurut kaum Legalis Raja memperoleh legitimasi kekuasaan dari Thian (Tuhan), dan ketika ia berkuasa maka ia dibekali dengan hukum untuk menundukkan sifat watak keras manusia, sehingga tidak ada satupun manusia yang akan menentangnya . Oleh karena itu untuk menjaga ketertiban, maka manusia perlu ditundukan pada undang-undang, bahkan para pelanggar aturan-aturan ini harus diancam dengan hukuman-hukuman berat yang menakutkan . Fa adalah hukum yang lekat pada negara, secara mutlak dan umum serta berlaku sama dan setara bagi setiap orang.
 Sejalan dengan anjuran dari fa-cia, di China pun kemudian dibentuk berbagai peraturan perundang-undangan. Paling sedikit dijumpai setidak-tidaknya delapan belas kitab undang-undang China . Peraturan perundang-undangan yang tertua berasal dari abad IV SM, setelah itu hampir disetiap dinasti mengeluarkan sebuah kitab undang-undang baru (meskipun biasanya berasal dari naskah lama yang diambil alih begitu saja dengan atau tanpa tambahan-tambahan).
Akan tetapi pandangan legalistis fa-cia tersebut nampaknya tidak dapat dipaksakan begitu saja. Sejak era Dinasti Han (abad II SM) telah dapat dipastikan terjadi sebuah proses “ konfussianisasi” undang-undang, dimana beberapa peraturan perundang-undangan secara substansi merujuk pada Li sebagai sumber hukumnya.
Sekalipun demikian legisme ini masih tetap berpengaruh dan telah menjadi tradisi bagi setiap kaisar untuk membentuk perundang-undangan, terutama perundang-undangan di bidang hukum pidana dan hukum tata-uasaha negara. Hanya saja proses legisme tersebut tidaklah pernah menyentuh bidang hukum privat . Dalam bidang hukum privat, kebiasaan tetap memainkan peranan penting, dan kebiasaan tersebut masih tetap berlaku sekalipun bertentangan dengan undang-undang.
Sub sistem hukum Li dan Fa dalam sistem hukum China, tidaklah berlaku secara unifikasi untuk semua golongan masyarakat. Permberlakuan Li dan Fa disesuaikan dengan struktur masyarakat China terdiri dari empat kelas, yaitu : kelas pertama yang terdiri dari pejabat-negara/ kerajaan dan kaum yang terpelajar; kelas kedua kaum petani; kelas ketiga kaum pekerja dan kelas keempat kaum pedagang . Orang-orang yang berada di kelas yang lebih rendah tunduk pada orang-orang kelas yang lebih tinggi; didalam kelas tiap kelas keluarga dan kelompok keluarga tetap merupakan dasar organisasi kemasyarakataan dan yuridis
Li sebagai suatu tatanan umum, hanyalah diberlakukan bagi golongan masyarakat kelas atas, sedangkan bagi kelas-kelas terendah, tidak dapat diterapkan dan oleh karenanya bagi mereka diberlakukan Fa. Dalam konteks yang demikian, maka bagi para pejabat negara dan kaum terpelajar terhindar dari undang-undang pidana, bahkan jika mereka harus dihukum, mereka senantiasa dapat “menembus” pidana mereka dengan sejumlah uang.
 Munculnya perbedaan tersebut didasarkan pada alasan karena anggota-anggota kelas tertinggi —- kaum elit orang-orang terpelajar, para pejabat negara, pemilik-pemilik tanah —- karena pengetahuan dan pendidikan mereka dapat memahami cara hidup yang ditentukan oleh Li, sedangkan “rakyat biasa” —- yang tidak terpelajar dan hidup sederhana— tidak dapat berbuat seperti itu, sehingga mereka harus diatur dengan peraturan perundang-undangan, khususnya hukum pidana.
Hukum China tradisional dengan demikian diwarnai dan ditandai oleh adanya ketidasetaraan dimuka hukum dan kesewanang-wenangan putusan hakim. Kelas-kelas tertinggi dapat menolak pemberlakukan undang-undang terhadap mereka, dengan alasan bahwa pemberlakuan sebuah undang-undang merupakan bukti kelemahan.
2. Sistem Hukum China di Masa Republik : Dominasi Sistem Fa berbasis Marxisme Versi Mao Tse-Tung
 Ketertutupan China dari pengaruh asing dalam berbagai bidang (temasuk hukum), sepertinya tidak dapat dipertahankan secara terus menerus. Seiring dengan jatuhnya rezim kekaisaran dan terbentuknya pemerintahan Republik pada tahun 1912, mulai terjadilah perembesan tatanan-tatanan hukum Barat ke China. Hal ini terutama terjadi setelah Tsiang Kai Tsyek mengungguli kelompok-kelompok yang berhaluan partai kiri dari partai Kuo Min Tang selama tahun-tahun 1925-1928. Pada saat itu mulai disusunlah Undang-undang Dasar (yang bersifat sementara pada tahun 1931, dan kemudian menjadi definitif pada tahun 1936), maupun sejumlah kodeks menurut pola Barat .
 Pada tahun 1949 telah terjadi perubahan mendasar sebagai akibat kemenangan partai Komunis dibawah pimpinan Mao Tse-Tung. Rezim baru Republik Rakyat China ini telah menghapus semua undang-undang yang ada untuk melenyapkan pengaruh feodalisme dan kaum kelas menengah, dan sebagai gantinya dibentuk tatanan hukum baru berbasiskan undang-undang. Pembentukan tatanan hukum baru berbasis undang-undang ini, tidaklah semata-mata memperlihatkan kemenangan Fa, (kaum ahli hukum / legisten), akan tetapi lebih menunjukan adanya keinginan kuat dari penguasa untuk menerapkan paham Marxisme-lenimisme. Pemberlakukan undang-undang di Republik Rakyat China, pada dasarnya ingin mengukuhkan kekuasaan diktator (yang untuk sementara dianggap sebagai suatu keadaan yang terpaksa ditolelir). Pemberlakukan undang-undang yang keras dan ketat, semata-mata untuk menegakkan komunisme.
Oleh karena itulah dari tahun 1950 sampai dengan tahun 1958 telah dikeluarkan undang-undang dalam jumlah yang besar, yang lazimnya menurut pola hukum Sovyet, namun dengan kekhususan-kekhususan China.
Akan tetapi pada sekitar tahun 1958 terjadilah suatu reaksi terhadap hegemoni perundang-undangan. Pemerintah China menentang pengaruh Rusia dan kembali ke cara pendekatan tradisional China. Dominasi kedaulatan undang-undang mulai dihapuskan, dan kemudian digantikan dengan sebuah model penataan yang berbasis pada kepemimpinan kenegaraan yang dipengaruhi oleh sebuah etika umum, yang ditafsirkan oleh kader-kader partai dan negara. Pada titik ini, di Republik Rakyan China, terbentuk kembali sebuah li yang baru, sesuai dengan pandangan-pandangan partai politik komunis, yang diturunkan oleh gagasan-gagasan Mao Tse Tung (yang kemudian dikenal dengan “buku merah“). Li ini diterapkan atas diri “orang-orang yang jujur“, yakni orang-orang komunis, sedangkan yang kejam itu (undang-undang hukum pidana) tetap dipertahankan dan diberlakukan bagi orang-orang “kontra-revolusioner“ dan bagi orang-orang “Baarbar“, yakni yang bukan China.
Terjadinya Revolusi kebudayaan kaum Proletar pada tahun 1966-1968 telah mempercepat proses perubahan tersebut. Proses untuk membentuk komunisme menimbulkan keinginan yang kuat disebagian kalangan untuk memasukkan didalamnya keadaan “non-hukum“, dengan sama sekali tidak ada sanksi apa pun. Ideologi harus mampu menjalankan kekuasaan negara, sementara rakyat harus menerima dan mengikuti dengan penuh gairah gagasan-gagasan partai dan pimpinannya. Ideologi ini harus diterima bukan karena menyetujuinya, melainkan agar tercipta persatuan dan kesatuan. Setiap orang diharapkan dapat menerapkan gagasan-gagasan tersebut, kalau perlu dengan jalan paksa. Dengan demikian bentuk tatanan hukum yang kemudian terbentuk bukan lagi semata-mata berdasarkan undang-undang, akan tetapi segala sesuatunya kemudian bertumpu pada slogan-slogan dan semboyan-semboyan yang bersifat ideologis.
 Pada tahun 1970, dan terutama setelah wafatnya Mao (1976), nampaknya pandangan mengenai hukum dan negara yang diberlakukan oleh Revolusi Kebudayaan secara berangsur-angsur ditarik kembali. Pada tahun 1973 munculnya perlawanan terhadap Lin Piao, yang dipadukan dengan penyerangan terhadap konfusionisme serta pemujaan terhadap fa-chia, Hua Kuo Feng bersama-sama dengan Feng Hsiao-Ping (pemimpin yang dilengserkan oleh Revolusi Kebudayaan), telah membawa kembali China untuk menganut legalisme, suatu bentuk fa, namun tanpa mengingkari ideologi Mao.
 Pada masa ini Undang Undang Dasar yang dibuat sejak tahun 1954, kemudian diganti dengan sebuah Undang-undang Dasar baru yang telah dipersiapkan sejak tahun 1970 dan dirampungkan serta dikeluarkan pada tahun 1975. UUD ini lebih ringkas dibandingkan dengan yang dikeluarkan pertama (hanya 30 pasal, sedangkan UUD yang lama berisi 106 pasal). UUD baru ini di satu sisi berupaya untuk menyederhanakan struktur kenegaaraan, sedangkan di sisi lain meletakan dasar konstitusional bagi partai komunis. Dengan demikian Republik Rakyat China menjadi negara sosialis dengan nama ”diktatur ploretariat“, yang didalamnya kekuasaan negara diletakkan dibawah pimpinan partai komunis.
Undang-undang Dasar tahun 1975 ini, kemudian diamandemen pada bulan Maret tahun 1975 (60 pasal), yang kemudian diganti lagi oleh UUD 1982, namun perubahan-perubahan yang diadakan relatif sedikit.
 Dianutnya kembali sub sitem fa di China, tidaklah menyebabkan hukum (undang-undang) berperan sebagai panglima. Sekitar tahun-tahun 1972-1976 hukum justru ditempatkan secara subordinatif dan hanya menjadi alat tujuan-tujuan politik. Demikian pula di bidang hukum privat. Meskipun telah diakui adanya kepemilikian tanah, akan tetapi struktur kepemlikian tersebut mendasarkan pada hak milik marxisme, dengan tekanan pada hak milik negara sosialis dan kolektif.
 Peradilan pun sepenuhnya berada di bawaah pengawasan badan-badan partai, yang hanya mempunyai satu tujuan: penyelesaian pertentangan-pertentangan yang timbul dalam masyarakat. Didalam kebanyakan bidang hukum ini diupayakan adanya penyelesaian perselisihan secara damai melalui jasa-jasa perantara. Untuk menunjang maksud tersebut maka dibentuklah Komisi Perantaraan Masyarakat, yang pada hakikatnya mengesampingkan peranan peradilan. Mekanisme ini dipandang sebagai pengganti tolak ukur yang lama, yakni kewajiban menjamin kehidupan, harmonis, yang kemudian berubah menjadi persyarataan kesetiaan terhadap paham marxisme versi Mao Tse-Tung.
 Hukum perundang-undangan di China bersumber dari dua badan pembuat undang-undang, yaitu: badan legeslatif negara dan badan kekuasaan partai. Dalam hal ini Partai menetapkan isinya, sedangkan negara menentukan bentuk undang-undang. Begitulah sejak tahun 1979 telah diterbitkan ratusan undang-undang, terutama yang berhubungan dengan institusi-institusi negara dan khususnya yang menyangkut hukum ekonomi. Selain itu dikeluarkan pula kitab-kitab undang-undang dalam bidang cabang-cabang hukum lainnya seperti hukum perdata dan hukum acara perdata, hukum pidana dan hukum acara pidana.
Adapun Pembagian bidang hukum di negara China pada masa kini adalah:
a. Hukum partai yang dimuat dalam statuta partai dan revolusi-revolusi partai. Dalam hal ini setiap individu harus tunduk pada ketentuan-ketentuan ini. Instansi partai tertinggi adalah Komite Sentral, yang mengendalikan negara dan masyarakat.
b. Hukum Tata Negara. Pengaturan bidang ini terdapat didalam Undang-undang Dasar dan didalam undang-undang pelaksanaannya. Undang-undang Dasar tahun 1982, yang diterima oleh Musyawarah Nasional, menguraikan asas-asas umum tatanan kenegaraan dan ekonomi, mengandung hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara, yang sama dimuka hukum dan mengatur struktur kenegaraan. Kekuasaan tertinggi berada di tangan Musyawarah Rakyat Nasional; dan
c. Hukum pemerintahan yang antara lain menetapkan statuta komite-komite penduduk.
d. Di dalam bidang hukum privat, hukum China ini membedakan antara orang-orang pribadi dan badan-badan hukum. Orang asing dilindungi dalam hak-hak dan kepentingan-kepentingan hukumnya. Didalam hukum keluarga suami-istri mempunyai hak-hak yang sama; undang-undang perkawinan tahun 1980 mengatur persyaratan-persyaratan pelaksanaan perkawinan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mengalir dari hal tersebut berikut syarat-syarat untuk perceraian. Anak-anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hak yang sama dengan anak-anak sah. Khusus untuk hukum perkawinan pada tahun 1950 pembuat undang-undang membuat suatu ketentuan yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan tradisional. Dalam hal ini perkawinan yang dipandanga sebagai permasalahan yang diatur oleh kepala-kepala keluarga. Kemudian diganti dengan ketentuan bahwa perkawinan haruslah didasarkan pada kehendak bebas para pihak dan hal itu harus diselenggarakan di hadapan pejabat catatan sipil. Suami dan istri mempunyai hak-hak yang sama dan berdasarkan alasan-alasan demogratif kepada para mitrakawaan ini diwajibkan mengikuti program keluarga berencana.
e. Di dalam pengaturan tentang eigendom UUD membedakan tiga bentuk eigendom, yaitu: hak milik negara, hak milik kolektif dan hak milik pribadi. Yang disebut pertama dan kedua meliputi tanah, sumber-sumber daya alam dan sebagian dari alat-alat produksi, sedangkan eigendom individual meliputi barang-barang kosumsi (rumah, perabot alat-alat rumah tangga, uang tabungan) dan alat-alat produksi seperti hewan penarik dan pengangkut beban. Hanya hak milik publik “sosialistis“ adalah barang suci dan tidak dapat diganggu gugat.
f. Kendatipun Undang-undang Dasar tidak menyebut-nyebutkan hak milik intelektual, namun pada tanggal 1 April 1985, bagaimanapun juga tampil ke permukaan dan diberlakukan suatu hak oktroi baru.
g. Di dalam bidang ekonomi dijumpai perusahaan-perusahaan negara, kolektif dan individual, disamping perusahaan-perusahaan campuran China dan mancanegara (perusahaan patungan) yang diatur oleh sebuah perundang-undangan yang serba luas. Sejak tahun 1980 diadakan empat buah “Zone Ekonomi Khusus“ di bagian Selatan China, dimana investor-investor asing memperoleh perlakuan istimewa berupa hak-hak privilese yang berhubungan dengan perpajakan, impor-ekspor valuta asing, dan seebagainya.
h. Dalam bidang peradilan dijumpai:
1) Komite-komite perantaraan masyarakat, yang dibentuk oleh komite-komite penduduk, yang didalamnya duduk hakim-hakim awam dan yang kurang menangani perkara perdata dan pidana;
2) Pengadilan-pengadilan rakyat biasa maupun khusus dan pada puncak piramida peradilan, sebuah Mahkamah Agung Rakyat;
3) Komisi-komisi arbitrase yang terutama menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi;
4) Parket, yang mengawasi pelaksanaan undaang-undang;
5) Ruang tempat pembela (balie), yang terdiri dari advokat-advokat yang bekerja dibawah pengawasaan negara dan wajib memberikan bantuan hukum.
6) Kekuasaan kehakiman meliputi hakim-hakim profesional, hakim-hakim awam dan hakim-hakim pembantu.
7) Hukum acara di sidang pengadilan berlangsung melalui dua instansi: pemeriksaan dan pemutusan perkara dalam tingkat pertama dan dalam tingkat banding. Dan persidangan pengadilan terbuka untuk umum. Namun, jumlah perkara tidak banyak: kebanyakan perkara diselenggarakan terhadap apa yang disebut musuh-musuh rakyat dan “residivis-residivis“, maupun dalam bidang hukum perkawinan.

6. SISTEM HUKUM JEPANG
 Jepang merupakan salah satu Negara yang menerapkan system Hukum Eropa Kontinental meskipun tidak keseluruhan. Prinsip utama  yang menjadi dasar system hukum Eropa kontinental itu ialah “ hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena mewujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu”. Prinsip dasar ini dianut mengungat bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah “kepastian hukum”. dan kepastian hukum hanya dapat diwujudkan kalau tindakan – tndakan hukum manusia dalampergaulan hidup diatur dengan peraturan – peraturan hukum yang tertulis. Dengan tujuan hukum itu dan berdasarkan sistem hukum yang dianut, maka hakim tidak dapat leluasa untuk menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum. Hakum hanya berfungsi “ menetapkan dan menafsirkan peraturan – peraturan dalam batas wewenangya”. Putusan seorang hakim dalam suatu perkara hanya mengikat para pihak yang berperkara saja ( doktrin  Res Ajudicata).
Jepang merupakan sebuah negara yang telah berhasil melembagakan upaya perdamaian ke dalam sistem peradilan negara. Pengalaman Jepang ini memberikan inspirasi bagi Kelompok Kerja untuk mengadopsi beberapa konsep atau pendekatan upaya perdamaian dalam sistem hukum Jepang untuk dituangkan ke dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 setelah memperhatikan secara mendalam peluang-peluang yang dimungkinkan oleh sistem hukum Indonesia.
 Dalam PERMA, para pihak dibolehkan untuk menggunakan jasa mediator lebih dari satu orang yang terdiri atas hakim dan profesi lainnya yang dianggap memahami masalah pokok sengketa. Konsep ini menyerupai dengan konsep Chotei dalam sistem hukum Jepang. Jika dalam PERMA No. 2 Tahun 2003, hakim pemeriksa perkara tidak dibolehkan menjadi mediator perkara yang diperiksanya, sebaliknya dalam PERMA No. 1 Tahun 2008, hakim pemeriksa perkara tidak dibolehkan menjadi mediator perkara yang diperiksanya jika dikehendaki oleh para pihak atau atas dasar ketentuan Pasal 12 ayat (6).
Hakim pemeriksa perkara boleh menjadi mediator dalam perkara yang diperiksanya menyerupai dengan konsep Wakai dalam sistem hukum Jepang. Selanjutnya, dalam sistem hukum Jepang dikenal konsep Sokketsu Wakai, yaitu perdamaian di luar pengadilan dapat dimintakan pengesahannya kepada pengadilan. Konsep Sokketsu Wakai memberikan inspirasi bagi Kelompok Kerja untuk mengadopsinya ke dalam PERMA seperti yang dirumuskan dalam Pasal 24.




DAFTAR PUSTAKA
Syarifin,Pipin.1999.Pengantar Ilmu Hukum.Bandung:CV.Pustaka Setia
Tobing,M.L.2005.Sekitar Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta:Erlangga
Arianto,Satya.2002.Pengantar Perbandingan Sistem Hukum.Jakarta:RajaGrafindo Persada.
http://imankeluarga.blogspot.com/2007/03/kk03-memahami-hukum-gereja.html
http://www.pn-yogyakota.go.id/pnyk/component/content/article/39/596-inspirasi-prosedur-mediasi.html











Tidak ada komentar:

Posting Komentar