Flag Counter

Sabtu, 13 Oktober 2012

Makalah Pembakaran Gereja di Kuansing



BAB II
PEMBAHASAN

1.1  Kronologi Pembakaran Gereja di Kuantan Singingi

            Sepanjang tahun 2011 setidaknya 4 gereja dibakar massa di kuantan singingi (kuansing). Yang pertama terjadi pada bulan april selepas pemilihan kepala daerah (PILKADA) di kabupaten kuantan singing dan tiga gereja lainnya dibakar dalam waktu hampir bersamaan di bulan agustus silam, tepatnya pada awal bulan ramadhan. Berikut adalah gereja-gereja yang dibakar massa tersebut:

1)   Gereja Katolik di Taluk Kuantan

              Sebagaimana diketahui, dalam Pemilukada KPUD Kuansing hanya menetapkan dua pasangan. Pertama, Sukarmis sebagai incumbent dengan Zulkilfli. Pasangan selanjutnya, Mursini dan Gumpita. Hasil rapat pleno KPUD Kuasing telah memenangkan Sukarmis-Zulkifli.
Hasil rapat pelno tersebut menyulut kemarahan ratusan orang. Massa yang merasa tidak puas, lantas melempari kantor KPUD Kuansing dengan batu. Belum puas juga, massa ini melemparkan bom molotov ke sejumlah rumah pejabat Pemkab Kuansing dan rumah Ketua KPUD Kuansing Namun bom molotov itu tidak sampai membakar rumah tersebut. Massa juga melakukan pembakaran tempat ibadah umat katolik.


2)   GPDI jemaat Ora Et Labora Kampung Air Hitam Pangean

               Kejadian ini ini dimulai ± pukul 22.30 pada tanggal 01 agustus 2011,ada segerombolan massa diperkirakan seratusan orang dengan membwa senjata tajam maupun senjata tumpul desertai bensin yang datang ke lokasi gereja dan langsung mendobrak pintu Gereja sambil berteriak dan menyirami bangunan gereja dengan minyak bensin yang sudah dipersiapkan. Pada saat yang bersamaan Pdt. A.R Sitinjak hanya bisa melihat aksi itu dari balik gedung gereja,beliau tinggal di tempat yang sama (disamping bangunan gereja). Tidak berselang lama api yang disulut dengan minyak sudah membesar membuat Pdt. A.R Sitinjak dan keluarga yang tinggal gereja itu ketakutan istri pendeta berkata kepada masa yang membakar geraja ada apa ini bang, anak – anak kita masih didalam salah seorang masa menjawab cepat keluarkan nanti kalian ikut kami bakar. Spontan hal ini membuat suasana hati keluarga pendeta sangat mencekam, perasaan amarah,sedih, berpadu menjadi satu akibat tindakan yang biadab ini.

               Disudut lain diperkirakan ± 15 menit setelah massa masuk ke lokasi gereja yang terpencil dan ditengah kebun sawit, tiba mobil patroli polsek pangean. Tetapi aparat yang ada disana tidak bertindak apa – apa hanya menonton aksi brutal massa yang membuat teror bagi warga sampai tim ini terjun kelapangan, sambil menemui seraya menyalam dan barkata; bapak orang batak? Sehat? Dia adalah salah satu warga yang bermukim tidak jauh dari lokasi pembakaran dan disekitar rumah beliau mobil patroli diparkir, tetap saja para pak polisi yang seharusnya menjaga keamanan ikut – ikutan meonton api yang semakin lebat sampai menghanguskan dan meratakan bangunan dengan tanah.


B. GBKP ( kecamatan logas tanah darat )

                Peristiwa yang terjadi di GBKP terjadi setelah massa berhasil membumi hanguskan bangunan gereja GPDI yang menjadi tempat beribadah ± 25 kk tersebut. Masa langsung bergerak ke GBKP, masa membagi diri ada yang langsung ke GBKP yang terletak tidak terlalau jauh dari GPDI dan ada yang membuat blokade agar tidak ada warga yang memberitahu kepada pihak GBKP mereka akan kesana. Alhasil strategi massa yang brutal ini berhasil mencegat satu warga yang diketahui jemaat GPDI, ingin pergi ketempat pihak GBKP.

               Dilokasi GBKP masa langsung melempari gereja tersebut tanpa beban dan pertimbangan, masa juga bertemu seorang ibu yang kebetulan menjaga rumah seorang pengurus gereja yang dimana tidak lain saudaranya sendiri. Ketika massa melihat sang ibu, salah seorang massa langsung bertindak dengan meletakkan pisau ke perut ibu yang sedang hamil tua ini sambil berkata kau Islam atau Kristen?! Dengan perasaan shock dan tidak tahu ingin berbuat apa ibu ini terus ketakutan karena semakin dibentak penyerangnya itu.

               Ditempat yang sama massa yang lain masih dengan senang hati menyiram bensin
ke gedung gereja sambil merusak 2 buah sepeda motor, menjarah 2 unit HP dan sound sistem yang ada. Aksi menyiram bensin dan menyulut api di GBKP yang terletak di tengah – tengah perkebunan sawit ini berhasil juga dilakukan tanpa ada upaya dari POLRI untuk mengatasi massa yang telah menebar teror ditengah – tengah warga kristen didaerah tersebut.


C. GMI (kampung air Hitam, Kecamatan Pangean)

                Pola yang sama dan massa yang sama, perkiraan waktu yang hampir sama kali ini menimpa GMI yang sebenarnya bisa dikatakan bertetangga dengan GPDI yang di malam sebelumnya menjadi korban penindasan kebebasan beragama. Pada malam kejadian di GMI masa yang membawa bensin dan senjata tajam, juga tanpa babibu langsung melempari dan menyirami bangunan gereja GMI dengan bensin dan tanpa segan – segan langsung menyulut api sambil berteriak mengolok – olok waraga kristen yang bisa memancing konflik SARA.

               Para massa yang brutal ini tidak hanya membakar, mengolok olok, dan melakukan intimidasi sama seperti di 2 gereja sebelumnya. Salah satu ucapan yang sangat membekas diingatan warga gereja GMI yang memang tinggal disebelah gereja tersebut adalah ; “Hari ini gereja yang kami bakar tapi esok rumah orang kristen yang kami bakar beserta kalian, ingat itu!!!”.

                Setelah api semkain lebat, tidak ada warga gereja yang disekitar itu berani memadamkan api, padahal sebenarnya pihak polisi telah ada setelah ± 15 menit masa sampai dilokasi gereja yang kini telah hangus, rata dengan tanah. Setelah mereka sukses melakukan misinya menindas kebebasan beragama mereka ingin bergerak kembali ke pangean polisi berhasil menagkap 1 orang pelaku aksi brutal, tetapi langsung dibebaskan esoknya.

               Informasi tentang pembebasan ini langsung diucapkan salah satu oknum polisi kepada salah satu warga sambil mengucapkan kami tidak bisa menahan lama dia karena polsek pangean akan dibakar.


1.2     Motif Pembakaran Gereja di Kuantan Singingi

            Motif pembakaran 4 gereja yang dilakukan oleh sekelompok massa di kabupaten kuantan singingi akhirnya diketahui pihak kepolisian. Gereja katolik yang dibakar pada bulan april 2011 yang lalu diduga dilakukan karena kekecewaan massa terhadap hasil pemilukada kuantan singing. Sebagai mana diketahui bahwa dalam hasil penghitugan suara pemilukada kuantan singingi pasangan sukarmis-zulkifli ditetapkan sebagai bupati terpilih dalam siding pleno KPUD kuantan singing.

            Massa yang tidak puas dengan keputusan ini kemudian melakukan pengrusakan dibeberapa titik di kuantan singingi, seperti pengrusakan rumah ketua KPUD kuantan singingi, pembakaran pos polisi dan pembakaran gereja katolik di taluk kuantan.

        Sedangkan pembakaran tiga gereja lainnya adalah karena kehadiran rumah ibadah itu tidak disetujui masyarakat setempat. Namun, saat ini keadaan daerah yang sempat mencekam karena aksi pembakaran tersebut, sudah kondusif.

      “Masyarakat pada intinya tidak setuju ada rumah Ibadah di daerah tersebut. Daerah sana kan mayoritas muslim, dan di Kabupaten Kuansing juga mayoritas muslim. Hasil olah TKP (tempat kejadian perkara) di lapangan seperti itu,” ujar Kapolres Kuansing, Ristiawan Bulkaini, melalui ponselnya kepada SH, Senin (8/8).

        Ia menjelaskan, kini daerah itu dalam keadaan kondusif setelah dilakukan kesepakatan pada Kamis, (4/8), yang dihadiri perwakilan jemaat Kristen dan unsur pimpinan kabupaten (Upika), anggota DPRD, dan camat Pangean, Kabupaten Kuansing.

        Dalam kesepakatan tersebut, kata Ristiawan, disebutkan bahwa agama Kristen akan tetap beribadah seperti biasa tapi tidak boleh mengundang jemaat dari luar Desa Pangean, dan tidak boleh beribadah secara ramai-ramai.Selanjutnya, rumah tempat ibadah tidak boleh dijadikan sebagai gereja di Desa Pangean, kecuali jika sudah mendapat izin dari pemerintah daerah (Pemda) setempat.

        Yang terakhir, sepakat menyelesaikan masalah tersebut antarkedua belah pihak dan tidak menuntut di kemudian hari. Penandantangan kesepakatan itu hanya diwakili Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) dan Gereja Methodist Indonesia (GMI), minus Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), serta diketahui unsur Upika dan anggota DPRD Kabupaten Kuansing.

        Menanggapi kesepakatan tersebut, menurut salah satu pimpinan Gereja yang dibakar, kesepakatan yang dibuat bukan mencerminkan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diamanatkan UUD 1945. “Kesepakatan yang dibuat sama saja upaya untuk melarang beribadah dan mendirikan gereja,” tegas Goklas Tambunan, kepada SH, Senin, (8/8).Ia menambahkan, kesepakatan tersebut, bukan tidak mungkin dilakukan di bawah tekanan para jemaat gereja yang hadir. “Kami berharap ada perhatian pemerintah. Kami bukan minta ganti rugi, tapi hak kita sebagai warga negara untuk beribadah yang dituntut,” jelasnya.

        Hal senada juga disampaikan anggota Fraksi Partai Golkar dari DPRD Riau, Abubakar Sidik, yang berpendapat bahwa pemerintah harus mengayomi warganya. Artinya, harus meluruskan permasalahan yang menimpa warganya dan menampung keinginan masyarakatnya, ujar Sidik di sela hearing DPRD, Sabtu, (6/8) malam.Ia menjelaskan, pembakaran rumah ibadah dan apapun namanya, harus ditindak secara hukum. “Harus dibuat efek jera bagi mereka yang dikategorikan tindak kriminal. Kepolisian harus usut tuntas,” tegasnya.

        Sementara menanggapi pelaku pembakaran Gereja Katolik pada April 2011, pelaku yang berjumlah delapan orang telah dijebloskan ke penjara. “Jadi tidak benar Polres Kuansing membebaskan pelaku-pelakunya,” ujar Ristiawan membantah pertanyaan SH, menepis rumor tentang pelaku menjadi tersangka pada pembakaran Gereja Katolik lalu dilepas.

        Seperti diketahui, ada tiga gereja dibakar dalam waktu dua hari berturut-turut di Kabupaten Kuansing, Riau. Gereja tersebut yakni dan GMI, tepatnya di Desa Pasar Baru Air Hitam, Kecamatan Pangean, Kabupaten Kuansing, dan satu GBKP di Desa Logas Tanah Darat, Kecamatan Perhentian Luas, Kabupaten Kuansing.


2.3 Tanggapan Beberapa Tokoh Mengenai Tragedi Pembakaran Gereja di Kuansing

1) Tanggapan Gubernur Riau

            Gubernur Riau Rusli Zainal menilai, pembakaran gereja katolik di Taluk Kuantang, ibukota Kabupaten Kuatan Singingi (Kuansing) bukan karena terkait SARA. Tapi aksi brutal massa itu dipicu persoalan hasil penghitungan suara dalam Pemilukada setempat.
Hal itu disampaikan Gubernur Riau, melalui juru bicaranya, Kepala Biro Humas Pemprov Riau,Chairul Riski dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (11/04/2011). 
Riski menyampaikan, Rusli sangat menyangkan kerusuhan massa yang terjadi akibat tidakpuasnya hasil penghitungan suara dalam rapat pleno KPUD setempat.
"Kita sangat menyangkan sekali kerusuhan yang terjadi. Pembakaran gereja yang dilakukan massa, kita yakini bukan karena didasari unsur SARA. Ini karena ulah sekelompok massa yang tidak puas atas keputusan rapat pleno KPUD," kata Rusli sebagaimana disebutkan juru bicaranya, Riski.

Riski menyampaikan, Rusli meminta semua pihak untuk dapat menahan diri. Selama ini Riau termasuk Kabupaten Kuansing dinilai sangat kondusif dalam kerukunan antar umat beragama. Kiranya pembakaran gereja katolik ini tidak dipandang sebagai sentimen SARA.
"Semua pihak jangan terpancing provokator dalam Pemilukada apa lagi sampai terpancing dalam persoalan SARA," kata Riski mengutip keterangan Rusli.Selain itu, kata Riski, pihaknya juga menyangkan aksi brutal massa yang telah merusak Pos Dishub dan aksi teror lainnya. 
            
Melalui Riski, Rusli berpendapat, dalam pelaksanaan demokrasi terkait Pemilukada, akan dihadapkan kalah dan menang. Karenanya semua pihak harus saling menghormati sebuah keputusan demokrasi tersebut."Sudah semestinya, siapa pun yang kalah dalam Pemilukada harus bisa diterima dengan lapang dada. Siapa pun yang menang, semuanya untuk kepentingan masyarakat. Cara-cara anarkis hanya kerena kalah bertarung jelas tidak kita inginkan, malah hal itu sudah merupakan tindakan yang melawan hukum," kata Riski mengutip pendapat Rusli.

2). Tanggapan Anggota DPR
           
Tragedi pembakaran rumah ibadah Kristen di Kabupaten Kuantan Singingi mendapat sorotan kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Politisi Senayan menilai aksi kriminal tersebut sebagai bukti kelalaian pemerintah dan aparat hukum dalam mengawal dan menjamin kebebasan umat beragama."Ini kejadian memilukan dan memukul rasa kemanusiaan sebagai sesama anak bangsa. Pemerintah jangan mengabaikan kejadian ini," kata anggota DPR RI, Ian Siagian kepada Tribun, Kamis (11/8/2011) siang lewat sambungan telepon.Menurut Ian, tidak ada dasar dan legalitas kelompok massa, atas alasan apapun untuk membenarkan pembakaran rumah ibadah. Termasuk soal perizinan yang belum dimiliki oleh pengguna rumah ibadah. Ia menegaskan, pemerintah bertanggung jawab melakukan fasilitasi bila memang masyarakat mengalami kendala dalam pengurusan izin."Harus ada investigasi dan penyidikan yang serius terhadap persoalan ini. Aparat harus segera menangkap pelaku dan aktor intelektual yang memprovokasi massa. Ini tidak kejadian biasa, tetapi cenderung merupakan pelanggaran HAM," tegas Ian yang terpilih sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Riau.Sebelumnya,

Pada 2 Agustus dan 3 Agustus lalu, kelompok massa melakukan pembakaran rumah ibadah yakni Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI), Gereja Metodis Indonesia (GMI) dan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Kuantan Singingi, Riau. Pada April lalu, sebuah gereja Katolik juga dibakar massa di daerah yang sama.Politisi PDI Perjuangan ini menegaskan, akan membawa kasus tersebut ke ranah nasional, jika pemerintah daerah dan aparat penegak hukum tidak segera melakukan proses hukum. Ia mendesak, pemerintah dan aparat segera menghentikan aksi kriminal yang menyerang kebebasan umat beragama."Tanggung jawab pemerintah dalam memfasilitasi peribadahan. Dan kewajiban aparat serta negara dalam memberikan rasa aman kepada warga negara," tegas Ian. (ran/tribun-pekanbaru.com)

3).Tanggapan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
            Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Abdulkadir Makarim mengecam mengecam aksi pembakaran gereja Katolik di Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau yang terjadi kemarin. "Kita mengecam keras aksi pembakaran gereja yang terjadi di Riau," kata Abdulkarim di Kupang, Selasa (12/4).Menurut dia, pelaku pembakaran gereja di Riau tersebut adalah orang yang ingin merusak hubungan untuk menyatukan bangsa dan negara ini. Karena itu, dia mendesak pelaku pembakaran segera ditangkap dan diproses sesuai hukum yang berlaku.Dia menyarankan agar pelaku pembakaran gereja diberikan hukuman yang seberat-beratnya sehingga menjadi pelajaran agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi. "Ini merupakan tindakan amoral yang tidak bisa ditolerir lagi, dan harus dihukum setimpal," katanya.

Kecaman serupa juga dilontarkan Gubernur NTT, Frans Lebu Raya. "Kita mengecam tindakan itu, karena mengganggu kebersamaan dan persaudaraan yang terus dirajut untuk membangun negeri ini," kata Lebu Raya.Pembakaran gereja yang terjadi di Riau, menurut dia, bisa memicu solidaritas di daerah ini. Karena itu, gubernur meminta agar masyarakat menyikapinya dengan tenang, dan terus menjaga suasana yang kondusif di daerah ini, sehingga daerah lain bisa melihat bahwa dengan keanekaragaman yang ada, NTT tetap rukun."Mari kita jaga suasana yang kondusif, dan menunjukan ke daerah lain bahwa daerah ini tetap rukun," katanya.Dia menyarankan agar semua pihak berpikir lebih jernih untuk menyelesaikan masalah. Dibanding mendorong tindakan-tindakan anarkis, apalagi sampai membakar rumah ibadah. "Kita harus biasakan diri untuk selesaikan dengan kepala dingin. Duduk bersama mencari solusi terbaik," katanya.(tempointeraktif.com)


2.4Tingkat Kerukunan Hidup Beragama di Riau

Dewasa ini bangsa Indonesia sedang mengalami ujian yang cukup berat, mengingat persoalan-persoalan bangsa dan umat beragama telah terganggu yakni dengan terjadinya konflik-konflik yang melanda beberapa wilayah, antara lain NAD (Nanggroe Aceh Darussalam), Poso dan Ambon. Hal ini tidak boleh kita biarkan sedemikan rupa, sebab dikhawatirkan persoalan ini akan menjalar ke daerah-daerah lainnya yang pada gilirannya akan mengancam timbulnya disintegrasi bangsa.
Walaupun kecendrungan disintegrasi bangsa yang muncul belakangan ini bukan semata-mata disebabkan oleh faktor perbedaan ideologi dan keyakinan agama, namun lebih didorong adanya ketidak-puasan masyarakat dalam penyelesaiaan kasus-kasus ekonomi, sosial dan politik, dan sentralnya adalah pada kondisi yang kurang adil dan kurang proporsional dalam menyelesaikan konflik-konflik sosial dalam masyarakat luas, namun beberapa fakta di lapangan menunjukkan telah terjadi konflik yang melibatkan umat beragama dan memakai slogan agama.

Kondisi seperti tersebut di atas tidak menutup kemungkinan akan terjadi di Propinsi Riau sebab Propinsi Riau adalah salah satu daerah yang cukup heterogen baik dari segi ummat beragama maupun dari segi etnis dan budaya. Hal itu dapat dilihat dari penduduk Propinsi Riau yang berjumlah sebanyak 5.405.990 jiwa dengan keragaman pemeluk sebagai berikut :
1. Islam : 4.714.982 (87,20 )
2. Protestan : 237.413 (4,40 )
3. Katolik : 82.966 (1,50 )
4. H i n d u : 9.007 (0,20 )
5. B u d h a : 350.572 (6,50 )
6. Lain-Lain : 11.050 (0,20 )

Ummat beragama tersebut di atas, memiliki rumah ibadah yang cukup banyak dengan perincian sebagai berikut :
1. Rumah Ibadah Islam : 11.481 buah
2. Rumah Ibadah Protestan : 1.194 buah
3. Rumah Ibadah Katolik : 246 buah
4. Rumah Ibadah Hindu : 8 buah
5. Rumah Ibadah Budha : 340 buah
Jumlah : 13.269 buah

Untuk memantapkan kerukunan hidup umat beragama perlu dilakukan suatu upaya-upaya yang mendorong terjadinya kerukunan hidup umat beragama secara mantap dalam bentuk :
1. Memperkuat dasar-dasar kerukunan intern dan antar umat beragama, serta antara umat beragama dengan pemerintah.
2. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi dalam menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi.

3. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup intern dan antar umat beragama.

4. Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilai-nilai kemanusian dari seluruh keyakinan plural umat manusia yang fungsinya dijadikan sebagai pedoman bersama dalam melaksakan prinsip-prinsip berpolitik dan berintegrasi sosial satu sama lainnya dengan memperlihatkan adanya sikap keteladanan. Dari sisi ini maka kita dapat mengambil hikmahnya bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu selalu tidak formal akan mengantarkan nilai pluralitas kearah upaya selektifikasi kualitas moral seseorang dalam komunitas masyarakat mulya(Makromah), yakni komunitas warganya memiliki kualitas ketaqwaan dan nilai-nilai solidaritas sosial.

5. Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang implementatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai-nilai ketuhanan, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan nilai-nilai sosial kemasyarakatan maupun sosial keagaman.

6. Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama dengan cara menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain, sehingga akan tercipta suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.

7. Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasyarakat, oleh sebab itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik yang dapat memperindah fenomena kehidupan beragama.

Adapun langkah-langkah yang harus diambil dalam memantapkan kerukunan hidup ummat beragama, diarahkan kepada 4(empat) strategi yang mendasar yakni :
1. Para pembina formal termasuk apatur pemerintah dan para Pembina non formal yakni tokoh agama dan tokoh masyarakat merupakan komponen penting dalam pembinanaan kerukunan antar umat beragama.

2. Masyarakat umat beragama di Indonesia yang sangat heterogen perlu ditingkatkan sikap mental dan pemahaman terhadap ajaran agama serta tingkat kedewasaan berfikir agar tidak menjurus kesikap primordial.

3. Peraturan pelaksanaan yang mengatur kerukunan hidup umat beragama perlu dijabarkan dan disosialisasikan agar bisa dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat, dengan demikian diharapkan tidak terjadi kesalah pahaman dalam penerapan baik oleh aparat maupun oleh masyarakat, akibat adanya kurang informasi atau saling pengertian diantara umat beragama.

4. Perlu adanya pemantapan fungsi terhadap wadah-wadah musyawarah antar umat beragama untuk menjembatani kerukunan antar umat beragama.

Dalam upaya memantapkan kerukunan hidup antar umat beragama, hal yang cukup serius kita perhatikan yakni fungsi pemuka agama / tokoh agama / tokoh masyarakat. Diakui secara jujur bahwa masyarakat kita yang regelius memandang bahwa pemuka agama / tokoh agama / tokoh masyarakat adalah figur yang dapat diteladani dan dapat membimbing, sehingga apa yang diperbuat oleh mereka akan dipercaya dan diikuti secara taat dan loyal.

Kerukunan antar umat beragama dikalangan masyarakat ternyata masih belum sempurna, bahkan dapat kita katakana kerukunan yang semu. Seperti yang terjadi di Poso, Ambon dan lain-lain. Keadaan semacam itu bila dikaji secara mendalam akan berdampak terhadap kerukunan umat beragama. Tokoh agama masih dihinggapi perasaan interest tertentu, misalnya dalam menanggapi kasus-kasus Perjanjian Malino II, dan kejadian di berbagai wilayah di tanah air Indonesia.

Hal-hal semacam ini berakibat umat beragama menjadi pecah atau terancam kerukunanya, sehingga dalam memahami hal-hal seperti ini peranan agama dan politik perlu ditingkatkan terutama bagi para tokoh agama / tokoh masyarakat. Demikian pula tokoh-tokoh agama sangat berperan dalam membina umat beragama, oleh karena itu mereka harus ditingkatkan pengetahuan dan wawasannya dalam pengetahuan agama, sebab yang mempunyai kecenderungan kurang rukun adalah kelompok umat beragama.

Jika pemuka-pemuka agama tidak bisa memahami dan meneladankan atas perbedaan dan persamaan antar agama kepada masyarakat, maka akan timbul kasus-kasus yang mengakibatkan terjadinya kerawanan, antara lain konflik intern umat beragama maupun antar umat beragama serta antara umat beragama dengan pemerintah, yang dimanfaatkan oleh golongan ekstrim dalam bentuk adu domba / memecah belah.

Adapun penyebab terjadinya konflik antar ummat beragama adalah disebabkan tiga faktor utama yaitu :
1. Faktor ekonomi dan politik.

Faktor ini sangat dominan sebab terjadinya kerusuhan sosial di berbagai daerah di negeri ini adalah disebabkan ketidakpuasan kalangan masyarakat terhadap terjadinya kesenjangan sosial yang sangat tajam antara si kaya dengan si miskin, antara pejabat dengan rakyat jelata, antara ABRI dengan sipil, antara majikan dengan buruh, antara pengusaha besar dengan pedagang kecil, sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang sosial, politik dan ekonomi yang tidak memihak kepada masyarakat bawah. Ketidakpuasan tersebut diwujudkan dalam bentuk protes-protes sosial yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan sosial, ditambah lagi dengan bumbu-bumbu agama yang menopang untuk melegitimasi aksi-aksi tersebut.

2. Faktor agama itu sendiri yang meliputi :

a. Pendirian Rumah Ibadah yang tidak didirikan atas dasar pertimbangan situasi dan kondisi ummat beragama serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Penyiaran Agama yang dilakukan secara agitatif dan memaksakan kehendak bahwa agamanyalah yang paling benar, sedangkan agama orang lain adalah salah. Lebih berbahaya lagi manakala penyiaran agama itu sasaran utamanya adalah orang yang telah menganut agama tertentu.

c. Bantuan Luar Negeri baik berupa materi maupun berupa tenaga ahli yang tidak mengikuti ketentuan yang berlaku, apalagi sering terjadi manipulasi bantuan keagamaan dari luar negeri.

d. Perkawinan Berbeda Agama yang sekalipun pada mulanya adalah urusan peribadi dan keluarga, namun bisa menyeret kelompok ummat beragama dalam satu hubungan yang tidak harmonis, apalagi jika menyangkut akibat hukum perkawinan, harta benda perkawinan, warisan dan sebagainya.

e. Perayaan Hari Besar Keagamaan yang kurang memperhatikan situasi, kondisi, toleransi dan lokasi tempat pelaksanaan perayaan itu. Apalagi perayaan itu dilakukan secara besar-besaran dan menyinggung perasaan.

f. Penodaan Agama dalam bentuk pelecehan atau menodai doktrin dan keyakinan suatu agama tertentu baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok. Penodaan agama ini paling sering memicu terjadinya konflik antar ummat beragama.

g. Kegiatan Aliran Sempalan, baik dilakukan perorangan maupun oleh kelompok yang didasarkan atas sebuah keyakinan terhadap agama tertentu namun menyimpang dari ajaran agama pokoknya.

3. Faktor lokalitas dan etnisitas.

Faktor ini terutama muncul sebagai akibat dari migrasi penduduk, baik dari desa ke kota maupun antar pulau. Selanjutnya masalah etnisitas, Indonesia memiliki potensi disintegratif yang tinggi sebab terdiri dari 300 kelompok etnis yang berbeda-beda dan berbicara lebih dari 250 bahasa. Faktor ini akan menjadi pemicu dengan menguatnya etnisitas seperti penduduk asli atau putra daerah dan pendatang yang dengan mudah dapat menyulut perbedaan-perbedaan yang tak jarang berujung pada konflik, bahkan kerusuhan sosial.

Untuk melakukan pencegahan terhadap terjadinya konflik sosial atau konflik antar ummat beragama maka dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan sebagai berikut :

1. Meningkatkan tarap hidup masyarakat yang dibarengi dengan perbaikan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat, sebab dalam kenyataannya konflik yang terjadi di Indonesia pada dasarnya adalah disebabkan faktor ekonomi dan politik, bukan faktor agama itu sendiri, namun agama dipakai sebagai alat justifikasi dan legitimasi.

2. Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengaturan agama-agama (bukan ajaran/doktrin agama) kepada masyarakat sehingga masyarakat mengetahui secara pasti tentang tata caranya seperti tata cara pendirian rumah ibadah, tata cara penyiaran agama, tata cara penerimaan bantuan luar negeri untuk kepentingan agama dan lain-lain sebagainya.

3. Menguatkan kesadaran masyarakat tentang saling memahami dan menghormati posisi masing-masing dan mengedepankan persamaan daripada mempertajam perbedaan.

4. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa sesungguhnya agama itu adalah berasal dari yang satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan ummat manusia itu juga adalah berasal dari nenek yang satu yaitu Nabi Adam as.

5. Memberdayakan institusi keagamaan sehingga dapat lebih mempererat institusi persaudaraan dan memperekat kerukunan antar ummat beragama.

6. Melayani dan menyediakan kemudahan beribadah bagi para penganut agama dan tidak mencampuri urusan akidah / dogma dan ibadah sesuatu agama serta melindungi agama dari penyalahgunaan dan penodaan.
7. Mengembangkan wawasan multi kultural bagi segenap lapisan dan unsur masyarakat melalui jalur pendidikan, penyuluhan dan riset aksi.

8. Mendorong, memfasilitasi dan mengembangkan terciptanya dialog kerjasama antar pimpinan majelis-majelis dan organisasi keagamaan dalam rangka untuk membangun toleransi dan kerukunan antar ummat beragama.

9. Fungsionalisasi pranata lokal seperti adat istiadat, tradisi dan norma-norma sosial (budaya melayu) yang mendukung upaya kerukunan ummat beragama.

10. Melakukan penegakan hukum (Lou Enforcement) terhadap oknum-oknum yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam kerusuhan sosial dan konflik antar ummat beragama.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar