Flag Counter

Sabtu, 13 Oktober 2012

Cerpen Cinta



                                                            Ku akui
     Aku terjaga dari tidur ku, alarm ku terus saja berdering. Ku raih ponsel brisik itu, tanpa membuka mata, ku tekan keras-keras tombol keypadnya. Aku tidak tahu entah tombol apa yang ku tekan, yang jelas alarm itu langsung berhenti, kemudian ke lempar ponsel itu. Kini aku kembali ngorok, aku berharap dapat  melanjutkan mimpi tadi, tetapi alarm sialan itu membangunkan ku. Aku benar-benar kesal dan marah, kenapa aku lupa me non-aktifkan alarm itu kemaren. Padahal aku tadi bermimpi sangat indah, aku bermimpi bertemu kakekku. Dalam mimpi aku itu kakekku berada di suatu tempat jauh yang berwarna putih, dia memanggilku dan di sampingnya berdiri pria muda yang tak ku kenal. Dia melambaikan tangan. Ku balas lambaian itu.
     Drrrrrrr....drrrrrrr....drrrrrr
     Aku kembali terjaga dari tidurku, sekarang bukan suara alarm melainkan panggilan. Entah siapa yang menelpon ku pagi-pagi begini. Dengan mata tertutup ku raih ponsel ku, ku paksa mataku untuk terbuka. Di layar ponsel ku tertera nama pemanggil yang sanagat ku kenal. Dia adalah temanku.
     “Mia, ????oh my god. Aku kan ada janji hari ini.”Gerutu ku pada diri sendiri.
     “Hallo, ya Mia. Sorry, aku baru bangun nih.. .” Kata ku pada Mia.

     “Hallo. Kamu nih..bagaimana sih???Lihat  jam, sekarang nih udah jam berapa?” celoteh  Mia di sebrang sana. Dari nada bicaranya pasti Mia sedang kesal padaku.
     “Jam 8.30. Aduuh..sorry, alarm ku tak bunyi. Jadi gimana donk?” Kata ku lagi sedikit berbohong, tujuannya, mau nyelamatkan diri dari amukan Mia sih. Hehheee,,
     “Cepat mandi, 30 menit lagi aku jemput kamu ke rumah.”Ujar Mia dan panggilan pun diputus Mia tanpa memberikan kesempatan untuk ku bicara. Aku bergegas melompat dari tempat  tidur berlari menuju kamar mandi, ku sambar handuk yang tergantung di atas kursi. Yah...hanya 30 menit waktu yang kugunakan untuk mandi, berpakaian, dandan dsb.
     Di halaman rumahku terdengar klakson panjang, pasti lah isyarat bahwa waktu 30 menit  sudah  over. Ku raih sepatu di rak dan ku sambar tas kecil cokelat yang tergantung di dinding dan setengah berlari aku membuka pintu. Di luar sudah ku lihat Mia yang telah rapi dan cantik dengan solekan games batik berwarna ungu dipadukan dengan lilitan kerudung pasmina bermotif bunga, wajahnya berseri-seri dihiasi riasan make up tipis dan lipgloss pink menambah keanggunan temanku ini.
     “Hei..kamu mau bawa handuk mandi ya???” Tanya Mia.
     “Oh,..gila..ck.ck.” Umpatku pada diri sendiri. Yang benar saja, aku sampai lupa kalau handuk mandi ku masih melingkar di leherku. Seperti musim dingin di korsel saja. Ku taruh handuk itu di jemuran.
     Let’s go, mamen.” Ucapku. Mia tersenyum dengan kalimat ku itu, lalu kamipun tancap gas to the campus.
     “Yahhhh...macet.”Keluh Mia.
     “Ya iyalah. Namanya aja kota,  Emanknya nih di kampung? Belum jadi kota metropolitan sudah begini.” Komentar ku.
     Terus???gue harus bilang wooooow  gitu sama lho????”“ Potong Mia jutek. Kalau dia sudah komentar begitu, aku sudah malas berkomentar lagi.
     Ku perhatikan deretan panjang tanpa putus kendaraan bermotor  memenuhi  jalan, suara klakson  panjang dan sahut- menyahut menambah kebisingan. Telingaku terasa pekak. Mia  mengendari sepeda motor begitu gesit, lincah seperti tarian ular yang meliuk-liuk, mendahului dan menyalib beberapa mobil dan truck. Tetapi aku sama sekali tidak takut, bagiku seperti naik odong-odong ketika kecil dulu.
     30 menit kami tempuh perjalanan menembus kemacetan dan kini kami tiba di kampus tepatnya di lokasi acara ceremony wisuda.
     “Wow...ramai sekali.”Decak Mia. Kami berjalan lebih kurang tiga ratus meter dari tempat parkir menuju tenda lokasi. Berkali-kali ku lihat Mia hampir terpleset karena high hill nya menginjak krikil.
     Aku dan mia mencari tempat keluarga berkumpul. Akhirnya kami menemukan mereka duduk rileks di batu nisan. Eh,.tikar       
     “Kalian nih kok lama sekali baru sampai??” Tanya tante Sarah.
     “Si codot nih telat bangun, nte.” Jawab Mia sambil memukul pundak ku.
     “Maaf tante.” Sela ku. Tante Sarah, om Ros dan bang Uri hanya tersenyum kecil.
     “ Belum mulai ya acaranya, om???” Tanya Mia.
     “Ya..beginilah negara kita. Dimana-mana, acara apa aja sukanya makai jam karet.” Jawab om ros  sambil mengangkat bahu. Benar juga, aku pun mengakuinya. Seingat aku, setiap acara yang ku hadiri belum pernah yang on time, baik di kampus ataupun di masyarakat, mulai dari acara non-formal, misalnya acara selamatan sampai pada acara formalnya.
     “Kalian mau duduk di sini atau di tenda?” Tanya tante sarah. Aku dan mia berpandangan.
     “Di sini saja.” Jawab ku dan mia serempak.
     “ Kayak paduan suara aja. Ya sudah, kami ke tenda ya.” Komentar tante sarah akhirnya.
     “Bang Uri, selamat dan sukses ya.” Kata ku pada bang Uri sambil menjabat tangannya.
     “Huuu...telat ngucapin nya. Tapi, ya..thanks ya.” Sahut bg Uri pura-pura marah, kemudian dia melangkah menuju tenda dan bergabung dengan wisuda lainnya.
     Sekarang hanya kami berdua duduk di tikar yang ukurannya cukup luas. Begitu membosankan. Sedangkan Mia sibuk dengan ponselnya, kadang ol, kadang nulis SMS sambil senyum-senyum dan terkadang juga ngomong sendiri dan tertawa-tawa, ya..maksud ku dia lagi telpon-an. Sedangkan aku bingung mau ngapain, mau SMS an, malas, mau ol, hp BB senter. Akhirnya aku hanya bisa memperhatikan lalu-lalang orang yang hilir mudik. Ku lihat setiap keluarga rata-rata memakai seragam yang sama, mulai dari kakek dan nenek sampai balita yang digendongan pun makai seragam kembar. Riasan wajah kaum hawa pun beragam, ada yang pakai make up menor, tebalnya  satu inchi mungkin, mengalahkan riasan yang wisuda. Riasan rambut dan kerudung pun sangat beragam. Yahh..namanya saja moment penting dan spesial, tentu saja mereka merayakannya dengan berbagai persiapan yang ekstra juga.
     Entah berapa lama aku memperhatikan orang-orang yang ada di sekitar ku yang terus lalu lalang. Mata ku tertuju pada sekelompok pria yang berdiri beberapa meter tidak jauh dari tempat ku, mereka berjumlah empat orang. Ku perhatikan mereka satu persatu.
     Style sih wajib, ngikut trend pada dasarnya harus.” Celetuk ku.
     “Deska, kamu bicara sama siapa?”Tanya Mia.
     “Ya sama kamu lah. Sama siapa lagi?Sama pohon?” Jawab ku nyerocos.
     “Maksud aku, kamu ngomentari apa an tadi, aku dengar jutek banget.” Ujar mia mulai kritis alias ingin tahu. Aku berbisik pada Mia.
     “Oh..cowok-cowok yang empat orang itu???”Komentar mia. Aku langsung menutup mulut mia.
     “Gila kamu. Kalau mereka dengar gimana??” Ujar ku sebal.
     “Kamu sih. Heh..tak selera ku macam gituan.” Kata mia menimpali.Nge-sok pula mia.
     “Iya. Aku tau. Selera kamu kayak k-pop gitu kan. Mimpi.” Sindir ku.
     “Pasti mereka mahasiswa Fisip, dandanan nya khas banget.” mia menebak.
     “Kamu sok tau.” Dengus ku. Mia hanya mengangkat alis. Kini dia mulai disibukan kembali dengan ponselnya. Aku pun sibuk dengan objek observasi ku tadi yang sempat terganggu.
     Mata ku tertuju pada objek terakhir. Entah apa sebabnya tiba-tiba jantungku berdegup kencang seperti tersengat aliran listrik. Pria yang ini begitu spesial menurut pengamatan mataku, entah kenapa objek yang satu ini begitu menarik dan punya daya tarik tuk diobservasi. Dia memiliki badan kurus dan cukup tinggi tetapi tidak terlalu ceking, memakai kemeja pendek berwarna hitam dipadukan dengan celana jeans abu-abu sepadan dengan sepatu berwarna abu-abu dengan sedikit garis-garis hitam menambah keren deh. Kulitnya standar lah, tetapi  diantara teman-temannya dia yang paling putih. Wajahnya tirus tetapi cukup mulus alias tanpa jerawat seperti teman-temannya, hidungnya mancung dengan mata teduh, alis sedikit tebal dan bibir yang tipis. Ku lihat sesekali dia tersenyum mendengarkan obrolan temannya, yah..terlihatlah giginya yang putih berjejer rapi. Detak jantung ku semakin kencang ketika  aku tertangkap basah olehnya sedang melihat mereka. Entah apa yang mereka bicarakan, mungkin saja ngomongin aku, yang jelas sesekali mereka juga melihat ke arah ku.
     Waktu terus berlalu, detik menjadi menit, jam, hari, minggu,dan bulan. Setelah ceremony  wisuda sepupuku itu, aku masih ingat wajah dia. Aku rasa aku ini benar-benar bodoh, atau sudah tidak waras. Duuh..kenapa aku tidak mensyukuri apa yang tuhan anugerahkan pada ku?yaaa...aku sudah punya mas Lukas yang begitu menyayangiku, kebanggaan ortu ku, namun kenapa aku masih berharap dan memikirkan pria lain yang sama sekali namanya saja aku tidak tahu.Aku pernah curhat  masalah ini pada mia.
     “Kalo dia nembak mu, kamu siap mutuskan lukas?”Tanya mia mengujiku.
     “Tentu saja.hahahha”Jawab ku konyol.
     “Des, please. Jangan begitu pada lukas. Kau harus bisa menahan cinta aneh mu itu, ku rasa itu bukan cinta, kamu sekedar mengaguminya saja. Coba kamu fikir, apa kamu pernah bertemu dia lagi?siapa tahu dia arwah gentayangan.” Nasehat mia mengingatkan ku. Sebenarnya aku akui yang dikatakan mia itu ada benarnya, aku begitu naif pada kenyataan. Kalau ada jodoh pasti ketemu. Itulah kalimat yang menghiburku. Begitu jahat dan egoisnya aku. Perasaan ku pada lukas sudah tawar, setiap obrolannya ditelpon begitu hambar dan membosankan, gurauannya pun garing. Inikah yang dikatakan selingkuh tak berwujud alias selingkuh hantu??entahlah. Akupun tidak tahu apa sebutannya.
     Jam menunjukan pukul lima sore, aku sudah siap go ke rumah friendship ku yaitu mia.
     “Deska. Belikan mama gula pasir sebentar.” Ku dengar suara mama dari dapur.“Tapi ma, aku mau pergi.”Jawab ku.
     “Kamu tak boleh bawa motor kalau tak mau belikan gula.”ancam mama.
     “Yah..mama. Tiap hari nindas anak memperalat motor, ntar aku beli sendiri. “ Omel ku.
     “Huh. Emank kamu punya duit?cepatlah beli gula..” Balas mama. Aku tidak meladeni ocehan mama, kalau diladeni bakalan panjang ceritanya. Tetapi walaupun begitu mama ku adalah wanita terhebat menurut ku. Aku sangat menyayanginya.
     Aku berkendara begitu pelan, hanya 20/km. Aku mengambil jalan pintas, tentu saja aku harus menyusuri jalan cukup jauh dan yang ku lalui gang sempit serta bau untuk sampai ke rumah mia.Entah berapa puluh polisi tidur sudah ku taklukan. Huhh..polisi tidur di sini banyak banget, mungkin paling jauh haya 10 meter jarak antara polisi tidur yang satu dengan yang lainnya.
     “Brooookkutuut......”
     Motor ku mati hampir saja aku kehilangan keseimbangan tubuh dan pengendara di belakang ku nyaris saja menabrak belakang motorku, tetapi nasib ku agak mujur, dia sempat menginjak rem. Apes banget. Pengendara itu menghentikan motornya tepat di sampingku.
     “Maaf  kak.” Ujar pengemudi itu. Aku menoleh dan tiba-tiba jantung ku berdegup kencang, wajah itu begitu tidak asing bagiku.
     “Oh...kayaknya aku pernah lihat kamu. Tapi, di mana ya??” Ujar pria itu.
     “Gila. Bahkan dia tidak mengingatku. Keterlaluan.” Gerutuku dalam hati.
     “Ya..ketemu pas acara wisuda tiga bulan yang lalu. Kamu berdua dengan teman mu di bawah pohon.” Kata pria itu meyakinkan. Aku hampir saja berteriak senang karena ternyata dia juga melihatku dan mengingat nya.
     “Kita gak ketemu. Pasnya aku lihat sekilas.” Aku ngeles mencoba jaga image, aku takut dia mengetahui apa yang terjadi padaku. Ku lihat wajahnya tetap seperti dulu, rambutnya diikat setengah, senyum khas nya pun seperti pertama aku melihatnya.
     “Oh..hahha.aku kepede an kali ya. Hmmm...kemarin kita gak sempat kenalan.”Ujarnya sambil menjulurkan tangan. Aku menyambutnya  agak ragu, sebenarnya  hatiku berteriak bukan main girangnya.
     “Aku Yudi.” Katanya.
     “Aku Deska.” Ujar ku. Dia mengangguk kecil.
     “Aku kul di Fisip, kamu pasti calon cikgu.”katanya lagi.
     “Hehe.Iya. Amiin.”awab ku.
     Obrolan kami sore itu terhenti karena ditegur oleh pengendara lain yang mau lewat. Jelas saja orang marah dan terganggu, salah kami ngobrol di jalan. Dari obrolan singkat itu ku ketahui juga Yudi itu ternyata tinggal satu kompleks dengan ku. Tapi selama ini aku tidak tahu, ternyata dunia ini begitu sempit. Dari obrolan itu juga kami bertukar nomor ponsel, benar-benar tidak normal aku ini karena dengan mudahnya memberikan nomor ponsel pada yang orang yang baru dikenal.
     Hari-hari berlalu, aku semakin akrab berteman dengan Yudi. Rupanya dia tipe teman yang menyenangkan, baik, perhatian dan pengertian. Dia juga tidak tahu kalau aku sudah punya pacar, dan aku juga sudah tahu banyak tentang dirinya yang intinya dia belum punya pacar. Suatu hari Yudi menanyakan  faceebook dan twitter ku. Tentu saja sebelum aku memberi tahu, aku terlebih dahulu me-hide status hubungan ku di fb. Keakraban ku dengan Yudi meresahkan mamaku, teman-temanku apalagi sohib ku mia.Sebenarnya aku sudah jadian dengan Yudi tanpa sepengetahuan orang-orang yang dekat dengan ku. Tetapi sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pasti terhendus juga. Kejadian ini bermula dari kecurigaan lukas padaku. Saat itu aku mengangkat telepon darinya yang missescall puluhan kali.
     “Nomor mu sering sibuk, aku sms jarang dibalas, status hubungan di dunia maya pun kamu hide. Ada apa dengan mu?” Lukas memberondongku dengan deretan pertanyaan.
     Sorry, jadwal kuliah ku padat, banyak tugas.” Jawabku seenaknya saja berbohong. Sebenarnya aku tidak tega membohongi lukas, tetapi sekarang ini kenapa aku jahat dan naif.
     “Oh..itu alasannya. Terus saja menyibukan diri.” Gerutu lukas datar.
     “Maafkan aku. Mungkin kita sudah tidak cocok lagi. Kita udahan aja.” Kata ku akhirnya. Lama sekali tidak ada jawaban lukas. Mungkin dia mencari kalimat yang pas “Kenapa?apa karena....” Aku langsung mematikan ponsel ku. Aku hempaskan tubuhku di kasur, kututup wajahku dengan bantal dan aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak tahu kenapa aku menangis, apakah karena aku menyesal atau karena aku senang  mampu mengakhiri perselingkuhan dengan mulus. Tetapi perasaan sesak yang mengganjal di hatiku selama ini sudah hilang, mungkin sesak ini karena dosa-dosaku pada lukas. Ahh...aku juga tak yakin lukas jujur padaku, mungkin saja dia juga punya pacar di sana. Yaa...yang jelas pacaran jarak jauh ini tidak cocok buatku, begitu menyiksa, banyak kecurigaan, aku tak bisa seperti teman ku yang mampu menjalani pacaran jarak jauh hingga bertahun-tahun. Ahh...sedikitpun aku tidak menyesali keputusanku ini. Aku bahagia menjalani hari-hari ku dengan Yudi, dia juga menyukaiku pada pandangan pertama. Berbeda dengan lukas, aku hanya setengah-setengah menyukainya. Itupun karena dicomlangi salah satu temanku. Yudi..?yaa,...mataku sendiri yang melihatnya, hatiku memilih dia. Seiring waktu berlalu, Akhirnya  mama dan teman-teman ku juga memahami tentang keputusan yang aku buat. Karena apapun yang kuputuskan maka akulah yang menjalani dan menanggung resikonya. Aku hanya berusaha dan  berharap. Semuanya tergantung  kepada  sang pencifta.

                 By : Salasiah, Universitas Riau,C.E 2010.
Lebih bijak mengakhiri cinta daripada mencintai karena terpaksa dan penuh pura-pura.


1 komentar: