Flag Counter

Sabtu, 16 Maret 2013

Mata Kuliah Hukum Tata Usaha Negara ( Administrasi Negara)


HUKUM TATA USAHA NEGARA




       A.   Latar Belakang Masalah
         Seiring dengan perkembangan masyarakat Indonesia, hukum pun turut berkembang ke arah Era Reformasi. Pada Era ini, tatanan kehidupan masyarakat berkembang menjadi lebih baik, ditandai dengan terus meningkatnya kesejahteraan rakyat Indonesia, bertambahnya orang-orang yang berpendidikan, dan perkembangan ekonomi yang semakin membaik.
         Kondisi tersebut memberi pengaruh pada pemegang kekuasaan, dalam hal ini pemerintah sebagai penyelenggara Negara, khususnya pemerintahan eksekutif. Pengaruh yang terjadi yaitu berkembangnya suatu hukum yang mengikat kepada pemerintahan eksekutif.
         Semakin berkembangnya masyarakat, hukum dituntut untuk mengimbangi perkembangan masyarakat tersebut. Pemerintah sebagai penyelenggara Negara dituntut untuk melaksanakan tugas dan kewajiban mereka untuk memaksimalkan fungsi pemerintahan, yaitu melaksanakan penertiban (law and order), menyejahterakan rakyat, fungsi pertahanan, dan fungsi keadilan.
         Dalam penyelenggaraan Negara untuk memaksimalkan fungsi pemerintahan seperti tersebut di atas, diperlukan seperangkat tata aturan yang mencakup tata cara menjalankan tugas (hak dan kewajiban) dari kekuasaan alat-alat perlengkapan Negara, yang disebut Hukum Tata Usaha Negara atau juga disebut Hukum Administrasi Negara. Hukum Tata Usaha Negara ini hanya mengkaji pemerintahan eksekutif saja dan dalam konteks Negara dalam keadaan bergerak.

1          Pengertian dan istilah
Hukum tata usaha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya . hukum administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.kesamaanya terletak dalam hal kebijakan pemerintah ,sedangkan dalam hal perbedaan hukum tata negara lebih mengacu kepada fungsi konstitusi/hukum dasar yang digunakan oleh suatu negara dalam hal pengaturan kebijakan pemerintah,untuk hukum administrasi negara dimana negara dalam "keadaan yang bergerak". Hukum tata usaha negara juga sering disebut HTN dalam arti sempit
Ada berbagai istilahdi dalam penyebutan Hukum Administrasi Negara yang merupakan terjemahan dari Administratiefrecht yang dikenal di Negara Belanda, Verwaltungsrecht di Jerman, Droit Administratif di Perancis, Administratif Law di negara Inggris dan Amerika. Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia dahulu merupakan bekas jajahan Belanda, sehingga Hukum Administrasi Negara Indonesia merupakan terjemahan dari Administratiefrecht. Untuk menerjemahkan Administratiefrecht dari Hukum Belanda ini para ahli hukum di Indonesia belum ada kata sepakat.
Baru setelah dikeluarkannya UU No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh para ahli. E.Utrecht dalam bukunya “Pengantar Hukum Administrasi” , mula-mula memakai istilah Hukum Administrasi Negara Indonesia. WF Prins dalam bukunya “Inleiding in het administratiefrecht” memakai istilah Hukum Tata Usaha Negara Indonesia. Wirjono Prodjodikoro memakai istilah Hukum Tata Usaha Pemerintah. Prajudi Atmasudirdjo memakai istilah Hukum Administrasi Negara. Dalam SK Mendikbud tanggal 30 Desember 1972 No.0198/U/1972 tentang Kurikulum Minimal menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan. Rapat staf dosen Fakultas-fakultas Hukum Negeri seluruh Indonesia yang diadakan pada bulan Maret 1973 di Cibulan memakai istilah Hukum Administrasi Negara dengan tidak menutup kemungkinan menggunakan istilah lain. SK Kurikulum yang terakhir menggunakan istilah Hukum Tata Usaha Negara. Ada bebrapa ahli yang mencoba membirikan pengertian tentang Hukum Tata Usaha Negara, diantaranya : E.Utrecht dan Prajudi Atmasudirdjo.
E.Utrecht mengemukakan bahwa Hukum Administrasi Negara/Hukum Pemerintahan adalah hukum yang menguji hubungan hukum istimewa yang bila diadakan akan memungkinkan para pejabat administrasi negara melakukan tugas mereka yang khusus.
Prajudi Atmosudirdjo merumuskan HAN sebagai “…… Hukum yang mengenai Pemerintah beserta aparatnya yang terpenting yakni Administrasi Negara” selanjutnya dikatakan bahwa “…… hukum administrasi negara mengatur wewenang, tugas, fungsi dan tingkah laku para pejabat Administrasi Negara……” bertujuan untuk menjamin adanya Administrasi Negara yang bonafit, artinya yang tertib, sopan, berlaku adil dan obyektif, jujur, efisien dan fair. Dinyatakan juga bahwa hukum administrasi negara itu merupakan hukum mengenai Administrasi Negara dan hukum hasil ciptaan Administrasi Negara, sehingga Hukum Administrasi Negara pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua klasifikasi yakni Hukum Administrasi Negara heteronom dan Hukum Administrasi negara yang otonom. Hukum Administrasi Negara heteronom bersumber pada UUD, TAP MPR dan UU, hukum ini mengatur seluk beluk organisasi dan fungsi Administrasi Negara (alat tata usaha negara) dan tidak boleh dilawan, dilanggar serta tidak boleh diubah oleh Administrasi Negara. HAN heteronom ini mencakup aturan tentang :
a.       Dasar-dasar dan prinsip umum administrasi negara;
b.      Organisasi administrasi negara, termasuk juga pengertian dekonsentrasi dan desentralisasi;
c.       Berbagai aktivitas dari administrasi negara;
d.      Seluruh sarana administrasi negara; serta
e.       Badan peradilan administrasi
Sehingga dapat dinyatakan : Hukum Administrasi negara adalah hukum yang mengatur dan mengikat alat administrasi negara dalam menjalankan wewenang yang menjadi tugasnya selaku alat administrasi negara dalam melayani warga negara harus senantiasa memperhatikan kepentingan warga negara. HAN sangat penting dan dibutuhkan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara oleh administrasi negara. Keberadaan hukum administrasi negara berperan mengatur wewenang, tugas dan fungsi administrasi negara, disamping itu juga berperan untuk membatasi kekuasaan yang diselenggarakan oleh administrasi negara.
2.      Definisi Hukum Administrasi Negara
Pada dasarnya definisi Hukum Administrasi Negara sangat sulit untuk dapat memberikan suatu definisi yang dapat diterima oleh semua pihak, mengingat Ilmu Hukum Administrasi Negara sangat luas dan terus berkembang mengikuti arah pengolahan/penyelenggaraan suatu Negara. Namun sebagai pegangan dapat diberikan beberapa definisi sebagai berikut :
E. Utrecht mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan agar memungkinkan para pejabat pemerintahan Negara melakukan tugas mereka secara khusus. Jadi ada tiga ciri-ciri Hukum Administarsi Negara yaitu:
1.      Menguji hubungan hukum istimewa.
2.      Adanya para pejabat pemerintahan.
3.      Melaksanakan tugas-tuigas istimewa.
Prajudi Atmosudirdjo mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah hukum mengenai operasi dan pengendalian dari kekuasaan-kekuasaan administrasi atau pengawasan terhadap penguasa-penguasa administrasi.
Bachsan Mustofa mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah sebagai gabungan jabatan-jabatan yang dibentuk dan disusun secara bertingkat yang diserahi tugas melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintaha dalam arti luas yang tidak diserahkan pada badan-badan pembuat undang-undang dan badanbadan kehakiman.
Dari pengertian-pengertian di atas jelaslah bahwa bidang hukum administrasi Negara sangatlah luas, banyak segi dan macam ragamnya. Pemerintah adalah pengurus dari pada Negara, pengurus Negara adalah keseluruhan dari jabatan-jabatan didalam suatu Negara yang mempunyai tugas dan wewenang politik Negara dan pemerintahan. Apa yang dijalanakan oleh pemerintah adalah tugas Negara dan merupakan tanggung jawab dari pada alat-alat pemerintahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Administarsi Negara adalah Hukum mengenai Pemerintah/Eksekutif didalam kedudukannya, tugas-tuganya, fungsi dan wewenangnya sebagai Administrator Negara.
3.      Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara
Adapun ruang lingkup dari HukumAdministrasi Negara adalah bertalian erat dengan tugas dan wewenang lembaga negara (administrasi negara) baik di tingkat pusat maupun daerah, perhubungan kekuasaan antar lenbaga Negara (administrasi negara), dan antara lembaga negara dengan warga masyarakat (warga negara) serta memberikan jaminan perlindungan hukum kepada keduanya, yakni kepada warga masyarakat dan administrasi negara itu sendiri. Dalam perkembangan sekarang ini dengan kecenderungan negara turut campur tangan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, maka peranan HukumAdministrasi Negara (HAN) menjadi luas dan kompleks.
Kompleksitas ini akan membuat luas dan complicated dalam menentukan rumusan ruang lingkup HAN. Secara historis pada awalnya tugas negara masih sangat sederhana, yakni sebagai penjaga malam (natchwachter staad) yang hanya menjaga ketertiban, keamanan, dan keteraturan serta ketentraman masyarakat. Oleh karenanya negara hanya sekedar penjaga dan pengatur lalu lintas kehidupan masyarakat agar tidak terjadi benturan-benturan, baik menyangkut kepentingan hak dan kewajiban, kebebasan dan kemerdekaan, dan atau benturan-benturan dalam kehidupan masyarakat lainnya.
Apabila hal itu sudah tercapai, tugas negara telah selesai dan sempurna. Pada suasana yang demikian itu, HAN tidak berkembang dan bahkan statis. Keadaan seperti ini tidak akan dijumpai saat ini, baik di Indonesia maupun di negara-negara belahan dunia lainnya. Dalam batas-batas tertentu (sekecil, sesederhana dan seotoriter apapun) tidak ada lagi negara yang tidak turut ambil bagian dalam kehidupan warga negaranya. Untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya hal tersebut, maka perlu dibentuk hukum yang mengatur pemberian jaminan dan perlindungan bagi warga negara (masyarakat) apabila sewaktu waktu tindakan administrasi negara menimbulkan keraguan pada warga masyarakat dan bagi administrasi negara sendiri. Untuk mewujudkan cita-cita itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Sjachran Basah bahwa fungsi hukum secara klasik perlu ditambah dengan fungsi-fungsi lainnya untuk menciptakan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Oleh karena itu hukum harus tidak dipandang sebagai kaidah semata-mata, akan tetapi juga sebagai sarana pembangunan, yaitu berfungsi sebagai pengarah dan jalan tempat berpijak kegiatan pembangunan untuk mencapai tujuan kehidupan bernegara.
Di samping itu, sebagai sarana pembaharuan masyarakat, hukum harus juga mampu memberi motivasi cara berpikir masyarakat kearah yang lebih maju, tidak terpaku kepada pemikiran yang konservatif dengan tetap memperhatikan faktor-faktor sosiologis, antropologis, dan kebudayaan masyarakat. Namun demikian seperti apa yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmaja hukum tetap harus memperhatikan, memelihara dan mempertahankan ketertiban sebagai fungsi klasik dari hukum. Mengenai ruang lingkup yang dipelajari dalam studi Hukum Administrasi Negara, Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan ada enam ruang lingkup yang dipelajari dalam HAN yaitu meliputi :
     1)      Hukum tentang dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum dari administrasi negara;
2   2)      Hukum tentang organisasi negara;
3      3)   Hukum tentang aktivitas-aktivitas dari administrasi negara, terutama yang bersifat yuridis;
4  4)  Hukum tentang sarana-sarana dari administrasi negara terutama mengenai kepegawaian negara dan keuangan negara;
     5)      Hukum administrasi pemerintah daerah dan Wilayah, yang dibagi menjadi :
a.       Hukum Administrasi Kepegawaian;
b.      Hukum Administrasi Keuangan;
c.       Hukum Administrasi Materiil;
d.      Hukum Administrasi Perusahaan Negara.
e.       Hukum tentang Peradilan Administrasi Negara.
f.       Hukum tentang Peradilan Administrasi Negara.

4          Kedudukan Hukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi Negara merupakan salah satu cabang/bagian dari ilmu hukum yang khusus. HAN merupakan ilmu hukum yang tidak statis, akan tetapi berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan dalam masyarakat. Di dalam ilmu hukum publik, mula-mula HAN merupakan bagian dari HTN, kuliah-kuliah HAN ditempelkan dalam HTN, akan tetapi karena timbulnya Welfare State, negara hukum modern yang mengutamakan kesejahteraan rakyat pada akhir abad 19 dan permulaan abad20 (antara tahun (1946-1948) diadakan pemisahan antara HAN dengan HTN.
 HAN berkembang dengan pesat, kemudian HAN diakui merupakan bagian tersendiri dari hukum publik dan sebagian ada pada hukum privat. Philipus M. Hadjon dkk mengemukakan bahwa hukum administrasi materiil terletak diantara hukum privat dan hukum pidana (publik). Hukum pidana berisi norma-norma yang begitu penting (esensial) bagi kehidupan masyarakat sehingga penegakan norma-norma tersebut tidak diserahkan pada pihak partikelir tetapi harus dilakukan oleh penguasa. Hukum privat berisi norma-norma yang penegakannya dapat diserahkan pada pihak partikelir. Diantara bidang hukum itu terletak hukum administrasi. Oleh karenanya HAN dapat dikatakan sebagai “hukum antara”.

           Hubungan Antara Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara
Ada dua golongan pendapat mengenai hubungan antara HAN dengan HTN. Golongan pertama, menyatakan ada perbedaan yuridis prinsipiil antara HAN dengan HTN. Golongan kedua menyatakan tidak ada perbedaan yuridis prinsipiil antara HAN dengan HTN. Para ahli yang berpendapat bahwa ada perbedaan yuridis prinsipiil antara HAN dan HTN adalah Oppenheim, Van Vollenhoven dan Logeman. Sedangkan pendapat kedua yang menyatakan tidak ada perbedaan yuridis prinsipiil antara HAN dan HTN diikuti oleh Kranenburg, Prins, dan Prajudi Atmosudirdjo. Oppenheim, menyatakan bahwa yang dipersoalkan HTN adalah Negara dalam keadaan berhenti sedangkan HAN adalah peraturan-peraturan hukum mengenai negara dalam keadaan bergerak. HTN merupakan kumpulan peraturan-peraturan hukum yang membentuk alat-alat perlengkapan negara dan memberikan kepadanya wewenang yang membagi-bagikan tugas pekerjaan dari pemerintah modern antara bebeeapa alat perlengkapan negara di tingkat tinggi dan tingkat rendah. Sedangkan HAN adalah sekumpulan peraturan-peraturan hukum yang mengikat alat-alat perlengkapan yang tinggi maupun yang rendah dalam menggunakan wewenangnya yang telah diberikan/ditetapkan dalam HTN.
Van Vollenhoven menyatakan bahwa yang termasuk di dalam HAN, adalah semua peraturan hukum nasional sesudah dikurang HTN materiil, hukum perdata materiil dan hukum pidana materiil. Hubungan antara HTN dengan HAN, yaitu bahwa badan-badan kenegaraan memperoleh wewenang dari HTN dan badan-badan kenegaraan itu menggunakan wewenangnya harus berdasarkan atau sesuai dengan HAN. Logeman mengemukakan bahwa HTN merupakan suatu pelajaran tentang kompetensi, sedangkan HAN/HTP merupakan suatu pelajaran tentang perhubungan-perhubungan hukum istimewa. Menurutnya HTN mempelajari :
a.       Jabatan-jabatan apa yang ada dalam susunan suatu negara;
b.      Siapa yang mengadakan jabatan tersebut;
c.       Dengan cara bagaimana jabatan-jabatan itu ditempati oleh pejabat;
d.      Fungsi/lapangan kerja dari jabatan-jabatan itu;
e.       Kekuasaan hukum dari jabatan-jabatan itu;
f.       Hubungan antara masing-masing jabatan;
g.      Dalam batas-batas manakah organ-organ kenegaraan dapat melakukan tugasnya.
         Sedangkan yang dipelajari dalam HAN/HTP yaitu sifat, bentuk dan akibat hukum yang timbul karena perbuatan hukum istimewa yang dilakukan oleh para pejabat dalam menjalankan tugasnya. Kranenburg, Prins dan Prajudi Atmosudirdjo menyatakan bahwa antara HAN dengan HTN tidak ada perbedaan yuridis prinsipiil, perbedaan yang ada hanya pada titik berat/fokus pembahasan. HTN fokusnya adalah hukum rangka dasar dari negara sebagai keseluruhan, sedangkan HAN fokusnya merupakan bagian khusus dari HTN.
         Kranenburg menyatakan bahwa kalau di dalam praktek ada perbedaan, hanya karena untuk mencapai kemanfaatan dalam penyelidikan. Menurutnya yang digolongkan dalam HTN adalah peraturan-peraturan yang mengatur struktur umum dari suatu pemerintahan negara, misalnya UUD dan UU organic (UU yang mengatur daerah-daerah otonom), HAN berisi UU dan peraturanperaturan khusus misalnya : hukum kepegawaian.
         Prins mengemukakan bahwa HTN mempelajari hal-hal yang fundamental yang merupakan dasar-dasar dari negara dan langsung menyangkut tiap-tiap warga negara, sedangkan HAN menitikberatkan pada hal-hal yang teknis saja, yang hanya penting bagi para spesialis.
         Disendirikannya HAN dari HTN tidak karena adanya perbedaan tugas antara HTN dan HAN, akan tetapi karena sudah sedemikian berkembangnya HAN, sehingga memerlukan perhatian tersendiri bukan sebagai tambahan/sampiran HTN saja. Prajudi Atmosudirdjo menyatakan bahwa perbedaan HTN dan HAN hanya terletak pada titik berat dalam pembahasan. Di dalam mempelajari HTN fokus perhatian ada pada konstitusi negara sebagai keseluruhan, sedangkan di dalam HAN fokus atau titik berat perhatian kita secara khas kepada administrasi negara. Hubungan antara HAN dengan HTN mirip dengan hubungan antara Hukum Dagang dengan Hukum Perdata, di mana Hukum Dagang merupakan spesialisasi dari Hukum Perikatan di dalam Hukum Perdata. HAN merupakan spesialisasi belaka pada salah satu bagian dari HTN, sehingga asas-asas dan kaidah-kaidah dari HTN yang bersangkutan dengan administrasi negara berlaku pula bagi HAN.

        B  .   PERADILAN TATA USAHA NEGARA


1     Pengertian
Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. TUN sendiri, menurut ketentuan pasal 1 ayat 7 UU No 51 Tahun 2009, Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
Adapun sengketa TUN, menurut ketentuan pasal 1 ayat 10 UU No 51 Tahun 2009, Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Objek sengketa dalam TUN yaitu Keputusan TUN atau Beschikking.
Keputusan TUN sendiri, menurut ketentuan pasal 1 ayat 9 UU No 51 Tahun 2009 yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum  perdata.
Peradilan Tata Usaha Negara meliputi :
a. Pengadilan Tata Usaha Negara
b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
a.      Pengadilan Tata Usaha Negara (biasa disingkat PTUN) merupakan sebuah lembaga peradilan dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibukota kabupaten atau kota.Sebagai pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tata Usaha Negara berfungsi untuk memeriksa, memutuskan, menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata Usaha Negara dibentuk melalui keputusan presiden dengan wilayah hukum meliputi kabupaten atau kota. Susunan Pengadilan Tata Usaha Negara meliputi pimpinan (Ketua PTUN dan Wakil ketua PTUN) Hakim anggota, Panitera dan sekertaris.
b.      Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (biasa disingkat PTTUN) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibukota provinsi. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dibentuk melalui Undang-Undang dengan wilayah hukum meliputi provinsi. Susunan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara meliputi pimpinan (Ketua PTTUN dan wakil ketua PTTUN) Hakim anggota, Panitera dan sekretaris.

2.      Susunan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Di dalam pasal 11 undang-undang PTUN, susunan pengadilan Tata Usaha Negara adalah pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris. Susunan tersebut sama halnya dengan susunan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Beda dengan susunan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, di Pengadilan TUN tidak ada juru sita.
1. Pimpinan
Berdasarkan pasal 11 undang-undang PTUN Nomor 9 tahun 2004 pimpinan PTUN terdiri dari seorang ketua dan wakil ketua, pada dasarnya ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk ketua dan wakil ketua adalah sama dengan Pengadilan-Pengadilan lain terutama Pengadilan Negeri. Begitu pula dengan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Mengenai pengangkatan dan pemberhentian jabatan ketua dan wakil ketua, baik pengadilan TUN ataupun Pengadilan Tinggi TUN berada di tangan Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung.
2. Hakim Anggota
Secara umum ketentuan yang berkaitan dengan hakim anggota pada Peradilan Tata Usaha Negara adalah sama dengan Hakim Pengadilan Negeri. Begitu juga halnya dengan persyaratan pengangkatan hakim tinggi dalam pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, pada pokoknya sama dengan persyaratan pengangkatan hakim tinggi yang ada di dalam lingkungan peradilan umum.
3. Panitera
Pada umumnya susunan kepaniteraan pengadilan TUN adalah sama dengan susunan kepaniteraan di dalam peradilan umum. Sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara ketentuan umum mengenai panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tidak jauh berbeda dengan ketentuan umum panitera di pengadilan tinggi dalam lingkungan Peradilan Umum.
4. Sekretaris
Sama halnya dengan lingkungan peradilan lain, sesuai dengan pasal 40 dan 41 undang-undang PTUN, disana ditentukan bahwa jabatan sekretaris Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dirangkap oleh panitera yang dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh wakil sekretaris. Mengenai ketentuan umum lainnya tidak jauh berbeda dengan peradilan umum.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memiliki wewenang diantaranya :
a.       Bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding;
b.      Bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan TUN di dalam daerah hukumnya
c.       Betugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha Negara.

3.         Sengketa Tata Usaha Negara
Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:
I. Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986)
Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri.
Bentuk upaya administrasi:
1.      Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan.
2.      Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan itu.
II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)
Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 pihak, yaitu:
  • Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat atau di daerah.
  • Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.
Hak Penggugat:
1.      Mengajukan gugatan tertulis kepada PTUN terhadap suatu Keputusan Tata Usahan Negara. (pasal 53).
2.      Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57).
3.      Mengajukan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa cuma-cuma (pasal 60).
4.      Mendapat panggilan secara sah (pasal 65).
5.      Mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan TUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 67).
6.      Mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat (pasal 75 ayat 1).
7.      Mencabut jawaban sebelum tergugat memberikan jawaban (pasal 76 ayat 1).
8.      Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81).
9.      Membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri setelah memperoleh izin Ketua Pengadilan yang bersangkutan (pasal 82).
10.  Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1).
11.  Mencantumkan dalam gugatannya permohonan kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat dalam hal terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya (pasal 98 ayat 1).
12.  Mencantumkan dalam gugatannya permohonan ganti rugi (pasal 120).
13.  Mencantumkan dalam gugatannya permohonan rehabilitasi (pasal 121).
14.  Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122).
15.  Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3).
16.  Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131).
17.  Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132).
Kewajiban Penggugat:
Membayar uang muka biaya perkara (pasal 59)
Hak Tergugat:
1.      Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57).
2.      Mendapat panggilan secara sah (pasal 65).
3.      Mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat (pasal 75 ayat 2).
4.      Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan olen pengadilan hanya apabila disetujui tergugat (pasal 76 ayat 2).
5.      Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81).
6.      Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1).
7.      Bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut (pasal 97 ayat 2).
8.      Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122).
9.      Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3).
10.  Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131).
11.  Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132).
Kewajiban Tergugat:
1.      Dalam hal gugatan dikabulkan, badan/pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan TUN wajib (pasal 97 ayat 9):
a.       Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan; atau
b.      Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru;
c.       Menerbitkan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3
2. Apabila tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan atau memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukannya kepada Ketua Pengadilan dan penggugat (pasal 117 ayat 1).
3.  Memberikan ganti rugi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan ganti rugi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 120).
4.  Memberikan rehabilitasi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan rehabilitasi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 121).


4.        Proses Pemeriksaan Gugatan Di PTUN
Pemanggilan Pihak-Pihak:
Pada Pengadilan Tata Usaha Negara, pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa dilakukan secara administratif yaitu dengan surat tercatat yang dikirim oleh panitera pengadilan.
Pemanggilan tersebut mempunyai aturan sebagai berikut:
- Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirim dengan surat tercatat.(pasal 65 UU No 5 tahun 1986).
- Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6 hari kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara (pasal 64 UU No 5 tahun 1986).
Kewajiban Hakim:
1.      Mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas (pasal 63).
2.      Menjaga supaya tata tertib dalam persidangan tetap ditaati setiap orang dan perintahnya dilaksanakan dengan baik (pasal 68).
3.      Mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan salah seorang hakim anggota atau panitera (pasal 78 ayat 1).
4.      Mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasehat hukum (pasal 78 ayat 2).
5.      Mengundurkan diri apabila ia berkepentingan langsung atau tidak langsung atas suatu sengketa (pasal 79 ayat 1).
6.      Menanyakan identitas saksi-saksi (pasal 87 ayat 2).
7.      Membacakan Putusan Pengadilan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 108 ayat 1).

Pihak Ketiga:
1. Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai: pihak yang membela haknya; atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa (pasal 83).
2. Apabila pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikut sertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan, pihak ketiga tersebut berhak mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa tersebut pada tingkat pertama (pasal 118 ayat 1).

    C.   CONTOH KASUS POSISI PTUN (PERADILAN TATA USAHA NEGARA)
Analisis Kasus Posisi Merek
Kasus Posisi
Pada tanggal 14 Februari 2005, PT. Petualang telah mengajukan Permohonan Pendaftaran Merek Dagang ADVENTUROUS TRAVEL dibawah Nomor Agenda : D00-2005-02840-2853 dengan jenis jasa paket wisata dan agen perjalanan. Permohonan pendaftaran merek tersebut telah ditolak oleh Direktur Merek pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan Surat Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 dengan alasan : “Merek ADVENTUROUS TRAVEL tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek milik orang lain yang sudah terdaftar lebih dahulu dengan Nomor Daftar : 346210 untuk barang sejenis yang mempunyai merek ADVENTUROUS”. (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek).
Lalu, PT. Petualangmenempuh upaya Banding Administratif kepada Komisi Banding Merek pada tanggal 4 Desember 2006 sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Bagian Keenam Bab IV Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Menurut Pasal 31 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2001, Keputusan Komisi Banding Merek diberikan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal Penerimaan Permohonan Banding, berarti selambat-lambatnya tanggal 5 Maret 2007. Akan tetapi, sampai dengan tanggal 5 Maret 2007 Komisi Banding Merek ternyata tidak juga memberikan keputusannya, sehingga menurut Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 telah terjadi penolakan yang bersifat fiktif.
Dalam hal demikian, menurut Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, PT. Petualang mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara dengan objek gugatan Surat Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel. Gugatan tersebut berdasarkan bahwa menurut ilmu hukum dan yuriprudensi, dalam menentukan ada tidaknya persamaan pada pokoknya antara suatu merek dengan merek yang lain, maka merek-merek yang bersangkutan harus dipandang pada keseluruhannya sebagai satu kesatuan yang bulat tanpa mengadakan pemecahan atas bagian-bagian dari merek-merek tersebut. (lihat putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 431 K/Pdt/1993 tanggal 17September 1994 dalam kasus Cola Candy versus Coca Cola, Nomor : 2452 K/Pdt/1989 tanggal 25 September 1991 dalam kasus Sen Thong versus Xiao Shen Tong, Nomor : 389 K/Pdt/1988 tanggal 3 Juli 1992 dalam kasus Bally dan Tally, Nomor. 2451 K/Pdt/1989 tanggal 1 April 1991 jo putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 565/Pdt.G.D/1988/PN.Jkt.Pst tanggal 16 Maret 1989 dalam kasus Salute versus Royal Salute)
Analisis Objek Gugatan
Objek gugatan dalam suatu peradilan tata usaha negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara. Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Dari rumusan pasal tersebut, persyaratan keputusan TUN yang dapat menjadi obyek di Pengadilan TUN meliputi :
1. Penetapan tertulis;
2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;
3. Berisi tindakan hukum TUN;
4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Bersifat konkrit, individual dan final;
6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Keenam persyaratan tersebut bersifat komulatif, artinya untuk dapat dijadikan obyek sengketa di Peradilan TUN, keputusan TUN harus memenuhi keenam persyaratan tersebut. Sekarang mari kita analisis keenam persyaratan tersebut terhadap Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.
1. Penetapan tertulis;
Surat Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 tentang Penolokan Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel merupakan suatu keputusan yang tertulis.
2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;
Surat Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 tentang Penolokan Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel dikeluarkan oleh Pejabat TUN, yaitu Direktur Merek pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
3. Berisi tindakan hukum TUN;
Tindakan hukum TUN yang terdapat dalam Surat Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 tentang Penolokan Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel adalah menolak suatu permohonan pendaftaran merek.
4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
PengeluaranSurat Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 tentang Penolokan Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel ini berdasarkan peraturan peundang-undangan yang berlaku, yaitu: Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

5. Bersifat konkrit, individual dan final;
Surat Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 tentang Penolokan Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel bersifat konkrit, yaitu menolak permohonan pendaftaran merek Adventurous Travel.
Surat Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 tentang Penolokan Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel juga bersifat indvidual, di mana ditujukan kepada PT. Petualang.
Surat Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 tentang Penolokan Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel bersifat final, di mana sudah berkekuatan hukum tetap sehingga tidak memerlukan lagi persetujuan lagi.
6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Surat Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 tentang Penolokan Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel menimbulkan akibat hukum bagi badan hukum perdata, yaitu PT. Petualang. Akibat hukumnya adalah PT. Petualang tidak boleh menggunakan merek Adventurous Travel.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa Surat Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 tentang Penolokan Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel adalah sebuah objek gugatan TUN. Hal ini dikarenakan Keputusan tersebut telah memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Analisis Para Pihak
Berdasarkan Pasal 1 poin 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang berbunyi “Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Ini berarti penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Dalam kasus ini, penggugat adalah badan hukum perdata, yaitu PT. Petualang.
Berdasarkan Pasal 1 poin 12 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang berbunyi, “Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.” Lalu, menurut Pasal 1 poin 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang berbunyi, “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dalam kasus ini, tergugat adalah pejabat tata usaha negara, yaitu Direktur Merek pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
              Jadi, bisa disimpulkan bahwa penggugat adalah badan hukum perdata, yaitu PT. Petualang, dan tergugat adalah pejabat tata usaha negara, yaitu Direktur Merek pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar