Flag Counter

Selasa, 12 Februari 2013



BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Budaya adalah bagian dari kehidupan umat manusia, termasuk pada kehidupan manusia umumnya dan masyarakat Riau khususnya, akan selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Tidak akan ada budaya yang statis tanpa adanya perkembangan dan perubahan. Dalam hal ini perkembangan itu bersifat relatif. Artinya perkembangan budaya suatu masyarakat  akan berbeda dengan perkembangan budaya masyarakat lainnya. Kebudayaan merupakan suatu kontinum bertahap ke arah yang kompleks, bukan suatu kumulasi.( Helen, 2007 : 1 ).
Konsep kebudayaan itu sendiri asalnya dari bahasa Sanskerta, yaitu buddayah yang merupakan bentuk jamak dari “buddhi” yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan: hal-hal yang bersangkutan dengan akal, dan secara lengkapnya kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar. ( Koentjaraningrat, 1994: 180-182 ). 
Budaya merupakan suatu proses yang dinamik yang Selalu berkembang dari zaman ke zaman.  Kemudian, Selo Soemardjan dan Soelaiman Sumardi memberikan batasan kebudayaan sebagai semua hasil karya rasa dan cifta masyarakat.( Hartomo & Arnicun Aziz, 1997: 38 ).
Kebudayaan mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikapnya kalau berhubungan dengan orang lain.
 ( Hartono & Arnicun Aziz, 1997 : 43 ). 
Di dalam kebudayaan setiap masyarakat terdapat norma yang menjalin kehidupan kelompoknya. Norma itu tidak hanya berbentuk aturan-aturan tertulis tetapi ada juga yang berbentuk aturan-aturan yang tidak tertulis yang disebut dengan kebiasaan. Bangsa Indonesia yang merupakan negara kepulauan ini memiliki banyak suku bangsa ( etnis) yang mana dalam kelompok-kelompok suku bangsa tersebut memiliki banyak pula kebudayaan dan adat-istiadatnya. Suatu suku bangsa memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan suku bangsa lainnya, akan tetapi di dalam kebudayaan dan adat istiadat mereka itu terdapat banyak aturan-aturan yang mengikat masyarakatnya yang disebut norma.
Di Provinsi Riau umumnya, kebudayaan ini terdapat di daerah-daerah pelosok ataupun di kota-kota seperti di daerah Kabupaten Indragiri Hilir. Kebudayaan yang ada dan tumbuh serta mengakar di Kabupaten Indragiri Hilir tersebut khususnya di Kecamatan Tempuling seperti kebudayaan masyarakat Suku Banjar.
Suku Banjar merupakan suku bangsa yang mayoritas dan dominan diantara suku-suku lain. Hal ini dapat kita lihat dari jumlah penduduknya serta pada aktivitas keseharian masyarakat Kecamatan Tempuling yang menggunakan bahasa banjar sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, seperti dalam proses transaksi jual-beli.
Suku Banjar memiliki beraneka ragam tradisi yang menjadi ciri khas masyarakat banjar yang menarik untuk dikaji, seperti tentang tata cara adat perkawinan. Perkawinan dalam masyarakat Suku Banjar didasarkan pada adat dan kebiasaan-kebiasaan dalam  masyarakat yang tumbuh secara turun-temurun.
Adapun tahap-tahap perkawinan dalam masyarakat suku banjar seperti :
1. Tahap Pra Perkawinan : a. Basusuluh, b.Bapara, c.Meantar  jujuran, d. Bapingit.
2. Tahap Perkawinan : a. Nikah, b. Mandi Badudus, c. Basanding, d. Serah-terima
3. Tahap Pasca Perkawinan : a. Naik mentuhak, b. Bailangan.
Gejal-gejala yang tampak dalam masyarakat suku banjar di kecamatan tempuling yakni sistem perkawinan yang secara perlahan mulai terpengaruh oleh perubahan-perubahan sosial. Sehingga pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat suku banjar khususnya di kecamatan tempuling mengalami perubahan.
Adapun perubahan yang terjadi, yakni :
a.       Pada masa sekarang upacara perkawinan dilakukan dengan lebih sederhana. Pesta perkawinan yag biasanya diadakan selama tiga hari tiga malam kini hanya dilaksanakan tidak lebih dari satu hari satu malam saja.
b.      Dalam hal ini perlengkapan perkawinan serta pakaian adat dan pelaminan khas Suku Banjar tidak dipergunakan lagi.
c.       Tahap-tahap pra perkawinan seperti basasuluh dan bapingit sudah lazim ditinggalkan.
d.      Pada masa dulu perkawinan biasanya diramaikan dengan kesenian tradisional, seperti : mamanda, balamut, madihin, dan lain-lain. Tetapi pada masa sekarang masyarakat Suku Banjar lebih menyukai hiburan modern seperti Orgen Tunggal ( Keyboard ).
e.       Pada masa lalu upacara serah terima menggunakan bahasa daerah yang sifatnya masih kedaerahan, tetapi pada masa sekarang serah terima tersebut sudah menggunakan bahasa Indonesia dan sudah bersifat nasional.
Menurut Samoel Koening ( dalam Sela Melisa, 2009 : 8), perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi di dalam pola-pola kehidupan manusia, modifikasi-modifikasi itu terjadi karena sebab-sebab intern dan ekstern.
Menurut Koentjaraningrat  menjelaskan ada tiga wujud kebudayaan, antara lain:
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan dan sebagainya. Wujud kebudayaan ini bersifat abstrak tidak dapat diraba atau digambarkan sebab letaknya dalam fikiran manusia dimana kebuayaan itu tumbuh.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas kelakuan berpola dari manuasia dalam masyarakat.
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Yaitu seluruh totalitas dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat dan sifatnya paling konkrit. ( Koentjaraningrat, 1994 : 186-188 ).
Dari ketiga wujud kebudayaan diatas dapat dikatakan bahwa perubahan sistem perkawinan yang terjadi pada masyarakat Suku Banjar lebih ke wujud pada perubahan aktivitas perilaku dan perubahan benda-benda hasil karya, sedangkan ide-ide yang ada dalam masyarakat itu tidak mengalami perubahan.
Berkaitan dengan latar belakang di atas, penulis mencoba melakukan penelitian dengan judul : “Tinjauan Tentang Tata Cara Adat Perkawinan Masyarakat Suku Banjar di Kecamatan Tempuling Kabupaten Indragiri Hilir”.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah, yaitu :
1.      Bagaimana bentuk Tata Cara Adat Perkawinan Masyarakat Suku Banjar di Kecamatan Tempuling Kabupaten Indragiri Hilir?
2.      Apakah ada perubahan yang terjadi dalam Tata Cara Adat Perkawinan Masyarakat Suku Banjar di Kecamatan Tempuling Kabupaten Indragiri Hilir?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui bagaimana tata cara adat perkawinan masyarakat Suku  Banjar di Kecamatan Tempuling Kabupaten Indragiri Hilir.
2.      Untuk mengetahui apakah ada pergeseran yang terjadi dalam Tata Cara Adat Perkawinan Suku Banjar di Kecamatan Tempuling Kabupaten Indragiri Hilir.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis, untuk memenuhi tugas mata kuliah Seminar Pengajaran PPKn.
2. Sebagai sumbangan pikiran dan bahan bacaan  bagi masyarakat tentang kebudayaan Suku Banjar.
3. Bagi pemerintah, sebagai bahan pertimbangan dalam upaya pelestarian kebudayaan nasional.


1.5. Penjelasan Istilah
Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam judul, maka penulisan mengemukakan penjelasannya.
Tinjauan                      :   Hasil meninjau ; pandangan ; pendapat ( sesudah
menyelidiki, mempelajari dsb ). ( Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2008 : 1470 ).
Dalam hal ini, tijauan yang dimaksud adalah menyelidiki,
mempelajari tentang tata cara adat perkawinan
masyarakat Suku Banjar.
Adat                            :  Aturan yang lazim atau biasa dipatuhi dan dilakukan oleh
sekelompok masyarakat yang mengandung kaidah-kaidah, aturan-aturan dan kebiasaan yang berlaku sejak zaman dahulu hingga sekarang. ( Helen, 2007 :11 )
Dalam hal ini adat istiadat yang dimaksud adalah adat perkawinan masyarakat Suku Banjar.
Perkawinan                 :  Pertalian yang syah antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk waktu yang lama.           
Masyarakat                  :  Kelompok manusia individu yang diorganisasikan dan
mengikuti satu cara hidup tertentu. ( menurut M.L. Herkovitz, dalam Sjamsir Marzoeki, 2002 : 28 ).
Suku Banjar                :  Salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia.
Tempuling                   :  Salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Indragiri
Hilir.
Indragiri Hilir              : Salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Riau.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Pengertian Adat Istiadat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Adat berarti aturan ( perbuatan dsb ) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Adat merupakan cara ( kebiasaan dsb ) yang sudah menjadi kebiasaan-kebiasaan. Adat merupakan gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan yang lain berkaitan menjadi suatu sistem. ( Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008 : 8 )
Istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi ke generasi lain sebagai warisan masyarakat. ( Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008 : 8 ).
Adat Istiadat ( Custom ) adalah norma yang sangat kuat daya pengikatnya, sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggarnya akan menerima sanksi keras yang kadang-kadang secara tidak langsung diperlakukannya. ( Hartono & Arnicun Aziz, 1990 : 51 ).
Adat merupakan pencerminan kepribadian suatu bangsa, yang merupakan salah satu penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan. Oleh karenanya tiap bangsa bahkan suku tertentu di dunia ini memiliki adat kebiasaan yang satu sama lainnya tidak sama.
Adat istiadat adalah “ adat sebagai aturan oleh nenek moyang yang mengandung arti bahwa kaidah-kaidah, aturan-aturan dan kebiasaan yang berlaku sejak zaman dahulu hingga sekarang”. ( Ismail Hamkaz, 1999 : 51 dalam Helen,2007 : 18 ).
Di dalam setiap  masyarakat adat memiliki sistem nilai yang dipedomani dan dihargai oleh masyarakat dalam interaksi sosial, nilai tersebut secara fungsional akan tetap hidup dan menjadi tradisi di dalam masyarakat itu sendiri. Nilai yang telah menjadi tradisi itu dinamakan adat istiadat. Karena nilai-nilai itu mencakup berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan diyakini kebenarannya.
Soerjono Soekanto menyebutkan adat istiadat merupakan salah satu norma di dalam masyarakat yang mempunyai tingkat kekuatan yang mengikat yang lebih besar setelah cara, kebiasaan, dan tata cara kelakuan. Tetapi pengertian itu mempunyai dasar yang sama, yaitu sama-sam merupakan norma-norma kemasyarakatn yang memberi petunjuk bagi tingkah laku seseorang yang hidup dalam suatu masyarakat tertentu. ( Soerjono Soekanto, 1982 dalam Helen, 2007 : 19 ).

2.2.Pengertian Perkawinan
Di dalam sosiologi mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu pola sosial  yang disetujui dengan cara mana dua orang atau lebih membentuk individu. Perkawinan tidak hanya mencakup hak untuk melahirkan dan membesarkan anak, tetapi juga seperangkat kewajiban dan hak istemewa yang mempengaruhi banyak orang ( masyarakat ). Arti sesungguhnya dari perkawinan adalah penerimaan status oleh orang lain. ( Paul B. Honton & Chester L. Hunt, 1987 dalam Helen, 2007 :19 ).
Sedangkan menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974, perkawinan
adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. ( Mawardi, 2007 : 69 ).
Seadangkan Koentjaraningrat memeberikan pandangan tentang defenisi perkawinan ada peralihan terpenting yang terpenting dari tingkat remaja ke tingkat hidup keluarga. ( Koentjaraningrat, 1981 : 90 ).
Kemudian ahli lainnya seperti Djaran Seragih mendefenisikan perkawinan adalah suatu ikatan dua orang berlainan jenis kelamin, atau antar seorang laki-laki dengan wanita, dimana mereka mengikat untuk bersatu dalam kehidupan bersama. ( Djaran Seragih, 1980 dalam Helen, 2007 : 20).
Pada hakikatnya perkawinan merupakan hal yang paling penting dan sakral bagi laki-laki dan wanita dalam lintasan hidupnya. Melalui perkawinan seseorang akan berkeluarga dan diperlukan sebagai anggota peuh oleh masyarakat seperti yang dikatakan Ter Haar.
“ Perkawinan adalah peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita, bukanlah suatu peristiwa mengenai mereka yang bersangkutan saja, perempuan dan laki-laki akan tetapi juga orangtua saudara-saura dan keluarga. ( Ter Haar, 1980 : 158 ).
Dalam kehidupan masyarakat dalam mencapai kehidupan yang harmonis setiap anggota masyarakat tidak terlepas dari apa yang  serta mengatur kehidupan merekan yakni adanya nilai-nilai serta norma-norma sosial yang hidup dan tumbuh di tengah-tengah kehidupan masyarakat tertentu.
Sastro Amijoyo mengatakan bahwa, perkawinan dapat dikatakan atau diartikan sebagai suatu gabungan dari bathin dan pergaulan, singkatnya yaitu hidup bersama dalam arti seorang pria dan wanita atas dasar keyakinan tertentu yang mengikat kuat penggabungan diri ini menimbulkan dan menguasai perkawinan timbal balik yang dilindungi hukum tertentu. ( Sastro Amijoyo, 1965 dalam Skripsi Helen ,2007 : 20 ).
Perkawinan adalah sebagai interaksi yang menerus berubah, terus menerus bertambah antar sepasang pria dan wanitayang mencari kehangatan dan kekayaan hidup bersama. Dan mereka menggambarkan seperti kerjasama yang indah antara dua penari yang saling menyerasikan gerakan dan suasana hati seiring musik yang diiringi.
( David & Vera Maca dalam Skripsi Helen, 2007 : 21 ).
Di dalam agama Islam disebut dengan istilah nikah. Maka nikah itu didefenisikan sebagai suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seoarang laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim sehingga menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. ( Nurhasanah Bakhtiar, 2011 : 61 ).
Jadi, perkawinan merupakan suatu sistem sosial dalam kehidupan manusia. Aturan untuk pelaksanaan perkawinan itulah diatur menurut adat istiadat dalam masyarakat tertentu. Dengan semakin majunya masyarakat, maka adat istiadat perkawinan semakin mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.

2.3 Tujuan Perkawinan
Perkawinan itu dianjurkan sebagaimana tertera dalam perintah agama. Dalam konsep Islam perkawinan itu mempunyai fungsi dan tujuan  yang amat penting dan bernilai bagi kehidupan manusia, baik bagi kehidupan pribadinya maupun masyarakat. ( Mawardi, 2007 : 71 ).
Dalam agama Islam, perkawinan memiliki tujuan yang antara lain sebagai berikut :
a. Menyalurkan nafsu syahwat menurut jalan yang benar.
b. Mewujudkan ketenangan jiwa.
c. Menghindarkan diri dari perbuatan keji dan munkar.
d. Memperkuat hubungan sosial.
e. Memperoleh keturunan yang syah.
f. Menyusun rumah tangga yan damai dan teratur. ( Mawardi, 2007 : 71-79 ).
Sedangkan menurut UU No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
 Pembentukan keluarga erat hubungannya dengan keturunan, pemeliharaan anak dan pendidikan anak yang menjadi tanggung jawab orangtua. Maka tujuan perkawinan itu meliputi kebahagiaan pasangan suami isrti dalam menciftakan kabahagiaan bagi seluruh anggota keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. 4. Tata Cara Adat Perkawinan Suku Banjar
Dalam masyarakat Suku Banjar, perkawinan dilakukan menurut adat istiadat yang berlaku dan mentaati aturan serta norma-norma agama. Dalam sistem perkawinan, unsur kekeluargaan memegang peranan penting dan pelaksanaan adat perkawinan terlebih dahulu dimusyawarahkan. Perkawinan dalam masyarakat Suku Banjar didasarkan pada adat-istiadat atau kebiasaan-kebiasaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat Banjar. Adapun tahap-tahap perkawinan dalam masyarakat Suku Banjar adalah sebagai berikut :

2.4.1. Tahap Pra Perkawinan
2.4.1.1 Basasuluh (Mencari Informasi).
Basusuluh berasal dari kata “suluh”, yaitu sejenis obor yang terbuat dari daun kelapa yang sudah kering, filosofinya karena dengan oborlah hal-hal yang gelap menjadi terang . Oleh sebab itu, Basusuluh di sini diartikan sebagai suatu proses mencari informasi secara diam-diam oleh pihak laki-laki mengenai riwayat keluarga calon mempelai ( gadis yang diinginkan ). Proses mencari informasi atau keterangan tersebut bisa melalui teman, kenalan dan kerabat, tetangga dan lain sebagainya. Pada akhirnya apabila data-data yang diinginkan telah didapat dan orangtua pihak laki-laki tidak keberatan, maka mulailah utusan dikirim ke pihak wanita untuk bertemu dan mencari keterangan dari pihak keluarga tersebut. Hal ini untuk memastikan apakah wanita yang dimaksud masih lajang atau telah memiliki ikatan dengan laki-laki lain. ( Depdikbud, 1978 : 157 ).
Pada masa lalu, perkawinan lazimnya atas perjodohan atau pilihan orangtua, sehingga tradisi semacam ini merupakan keharusan. Biasanya dilanjutkan dengan “Batatakun”. Yaitu pencarian informasi secara terbuka melalui kedua pihak keluarga. Beberapa hal yang ingin diketahui diantaranya:
1. Tentang agamanya
2. Tentang keturunannya
3. Tentang kemampuan rumah tangganya
4. Tentang kecantikan wajahnya
Dari empat hal tersebut di atas yang menjadi titik tumpu perhatian itu adalah pada dua hal yaitu agama dan keturunannya. Sebaliknya, bagi keluarga calon isteri di samping hal di atas, akan diperhatikan pula apakah lapangan pekerjaan calon suaminya tersebut. Hal itu sangat penting karena akan turut menentukan nilai rumah tangga mereka kelak.

2.4.1.2. Bapara/Badatang (Melamar/meminang).
Bapara merupakan tahapan lanjutan apabila proses basusuluh selesai, kemudian utusan pihak laki-laki tersebut akan datang kembali kepada pihak wanita. Dalam tahap Bapara ini, pihak laki-laki biasanya mencari orang yang pandai bicara dan berpengaruh yang bisa mewakili untuk melamar. Sebelum utusan yang mewakili ini berangkat, maka terlebih dahulu dicarilah hari, jam dan waktu yang baik. Untuk mencari waktu yang baik ini maka digunakan bilangan tiga-tiga  : dengan menyesuaikan penanggalan Qamariyah, yaitu hari kamis, hari kurung, hari berjalan. Maka yang dipilih adalah hari kamis, sebab menurut kepercayaan masyarakat banjar hari inilah yang baik dan tepat.
( Depdikbud, 1978 : 157-158 ).
Bapara ini cukup menanggung resiko, sebab jika gagal maka utusan pihak laki-laki tersebut turut menanggung malu keluarga. Oleh karena itu, maka si pelamar harus hati-hati dalam mengucapkan atau menyusun kata-kata maupun kalimat dalam pembicaraan tersebut. Pihak wanita biasanya meminta waktu beberapa hari untuk berpikir dan membicarakan pada anggota keluarga yang lain. Biasanya hasil keputusan diterima atau tidak akan disampaikan pada Bapara yang kedua, tentunya kedua belah pihak membuat kesepakatan untuk menentukan waktunya. Setelah hari yang ditentukan tiba, maka utusan pihak laki-laki akan datang kembali untuk mendengar keputusan dari pihak keluarga wanita. Lazimnya, pada Bapara kedua ini pihak wanita mengumpulkan lebih banyak sanak keluarga untuk menyambut kedatangan utusan laki-laki tersebut.
Setelah pembicaraan Bapara ternyata diterima dan tinggal lagi menentukan berapa jujurannya. Ini biasanya dilakukan dengan tawar-menawar, kalau memang penawarannya terlampau tinggi. Apabila perihal jujuran telah rampung disepakati oleh kedua belah pihak, biasanya pihak laki-laki akan langsung memberi tanda pengikat kepada pihak wanita yang disebut “Pananali”. Istilah “Pananali” berasal dari kata “ tali” yaitu alat pengikat yang dimaksudkan sebagai tanda setuju atas segala hal yang telah disepakati bersama. Pananali itu misalnya : Cincin emas, pakaian, alat-alat kosmetik sendal dan lai-lainnya. Lazimnya ketika proses bapara tersebut, kedua belah pihak akan sepakat menentukan hari pertunangan. Proses bapara formal ini akan diakhiri dengan pembacaan doa selamat dan pihak wanita juga menyediakan makan atau makanan kecil sebagai jamuan. ( Sela Melisa, 2008 : 35 ).

2.4.1.3. Maantar Jujuran (Mengantar Jujuran).
Maantar Jujuran dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita sebagai pengikat atau bukti bertunangan. Jujuran ini biasanya berupa uang yang besarnya telah disepakati kedua belah pihak keluarga ketika Bapara. Biasanya, apabila si wanita memiliki saudara perempuan yang lebih tua tetapi belum menikah, maka menurut tradisi masyarakat banjar pihak laki-laki harus membayar palangkahan yaitu “Manyilihi Saikungan” (mengganti seluruh badan). Biasanya palangkahan ini berupa pakaian lengkap dan seekor ayam jantan. Tetapi pelangkahan ini tidak bersifat “harus” tergantung dari kesepakatan antara pihak keluarga wanita dengan calon pria.
 Uang jujuran yang diberikan pihak laki-laki tersebut biasanya digunakan oleh pihak wanita untuk membeli segala keperluan upacara perkawinan nantinya. Benda yang wajib dibeli pihak wanita seperti “pakakas kalambu dan maisi kamar” yaitu seperangkat perkakas yang terdiri dari ranjang, kasur, kelambu, lemari pakaian, dan lemari rias.
Menurut tradisi masyarakat banjar, Maantar  Jujuran tersebut dilakukan sebelum proses akad nikah dilaksanakan, misalnya satu atau dua minggu sebelum akad nikah. Tujuannya agar pihak keluarga wanita bisa mempersiapkan keperluan untuk upacara perkawinan tersebut. ( Sela Melisa, 2008:35 )

2.4.1.4. Bapingit (Berkurung).
Bapingit merupakan salah satu tahap yang harus dilewati oleh seorang wanita suku banjar menjelang hari pernikahannya. Proses bapingit ini dilakukan dengan “mengurung” calon pengantin wanita selama satu minggu dengan tujuan untuk menghindarkan dari hal-hal yang tidak diinginkan. Sesuai perkembangan zaman, tahap bapingit ini dipersingkat antara dua sampai tiga hari saja. Pada masa bapingit, calon mempelai wanita ini tidak diperkenankan dikunjunngi oleh calon mempelai laki-laki atau pemuda lainnya.
Selama masa bapingit calon mempelai wanita harus benar-benar mempersiapkan diri lahir dan bathin untuk mengarungi mahligai rumah tangga. Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam masa bapingit antara lain :
1. Bakasai dan Batimung
Pada tahap inilah calon mempelai wanita melakukan perawatan secara intensif dan menyeluruh untuk membersihkan diri agar terlihat cantik dan segar. Sesuai tradisi masyarakat suku banjar, ritual perawatan menggunakan ramuan khusus berupa “kasai” yaitu berupa cairan pembersih yang terbuat dari beras ketan yang telah digongseng secara berulang-ulang. Kemudian mempelai wanita juga melakukan ritual “batimung”, yaitu mandi uap air wewangian tujuannya agar pada hari pernikahan tubuh menjadi bersih, wangi dan tidak mengeluarkan keringat berlebihan atau bau yang tidak sedap.
2. Bapacar atau Bainai.
Bapacar atau bainai merupakan ritual menghias atau mengecat kuku mempelai dengan “daun pacar” (daun inai) yang ditumbuk halus, yang nantinya meninggalkan warna merah. Prosesi bainai ini juga menjadi tradisi suku lainnya, seperti melayu, jawa, bugis dan lainnya.

2.4.2 Tahap Perkawinan
2.4.2.1. Nikah
Menurut istilah (terminologis), nikah berarti akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dengan berbagai konsekuensi yang ditimbulkan, baik yang menyangkut kewajiban dan tanggung jawab maupun hak keduanya. Sedangkan dalam Undang-undang perkawinan, nikah diartikan sebagai ikatan lahir bathin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
( Mawardi, 2007 : 69 ).
Berdasarkan hukum syari’at agama Islam, untuk melaksanakan upacara akad nikah maka seorang calon pengantin laki-laki harus membayar mahar atau mas kawin kepada calon pengantin wanita. Mahar itu bisa berupa seperangkat alat shalat, perhiasan, uang ataupun barang berharga lainnya.
Dalam masyarakat suku banjar umumnya dan di kecamatan Tempuling khususnya, nikah biasanya dilakukan beberapa hari sebelum upacara perkawinan yang biasanya dilakukan pada malam hari. Kedua Calon pengantin dibawa ke tempat penghulu untuk melangsungkan akad nikah, kemudian calon pengantin laki-laki menyerahkan mas kawin. Uang dari mas kawin ini tidak boleh dibelanjakan oleh mempelai wanita, maka uang ini akan disimpan yang disebut “Pipikat”. Apabila mas kawin ini terpaksa dijual dan digunakan, menurut tradisi masyarakat suku banjar tidak boleh dinikmati atau diberikan kepada orang lain.
( Sela Melisa, 2009 : 38 ).
Dalam masyarakat suku banjar, nikah dan kawin itu memiliki pengertian yang berbeda. Nikah dilakukan di depan penghulu sesuai syari’at agama, sedangkan kawin dilakukan setelah adanya akad nikah, pada saat pengantin laki-laki secara resmi diantar ke rumah mempelai wanita.
( Sela Melisa, 38 ).


2.4.2.2. Mandi Badudus.
Mandi Badudus merupakan ritual adat masyarakat suku banjar untuk mensucikan diri calon pengantin. Ritual mandi badudus dilakukan pada waktu pagi hari menjelang acara persandingan siang, pengantin wanita melangsungkan acara mandi – mandi pengantin dengan air yang ditaburi macam – macam bunga dan air jeruk yang dilengkapi dengan mayang pinang dan air kelapa gading. Prosesi badudus dilakukan setelah bapingit dua atau tiga hari sebelum upacara perkawinan. Upacara tersebut dilaksanakan boleh serentak oleh kedua mempelai atau di rumah mereka masing- masing. Jumlah bunga – bunga yang diperlukan lebih banyak dan lebih berkesan sebagai salah satu upacara. Acara mandi badudus dilakukan oleh lima atau tujuh orang orang wanita tua yang telah berpengalaman, yang umumnya dipimpin oleh seorang bidan kampung atau wanita tua lainnya dari keluarga dekat. ( Sela Melisa, 2008 : 38 ).
Rangkaian prosesi ini diwarnai dengan beragam detail perlengkapan dan dekorasi berwarna kuning, seperti : Pada “lalangitan” berupa kain kuning yang dibentangkan pada bagian atas lokasi berlangsungnya prosesi. Warna kuning menurut kepercayaan masyarakat suku banjar selain sebagai simbol kebesaran dan keluhuran juga dipercaya dapat menjadi “alat” untuk pagar dari roh jahat. Dengan demikian mempelai juga memakai kain sarung yang juga berwarna kuning.
Kemudian dibentang selembar permadani atau tikar yang mana di atasnya ditaruh empat puluh satu kue tradisional khas banjar, antara lain : bubur habang, bubur putih, apam habang, apam putih, cucur, wajik, gegeplak, kukuleh (mirip bubur sum-sum), kue cincin, laketan (jadah), gayam, wadai gincil dan lain-lain. Sedangkan untuk air mandi terdiri dari air yasin, air kembang dan air kelapa gading muda. Kue-kue dan air kelapa tersebut sebelum dihadapi oleh pengantin terlebih dahulu disembahyangkan oleh tetuha  secara khusuk.
Selanjutnya pengantin dengan diiringi para tamu dihantar ke tempat “Balairung Padudusan” ( rumah-rumahan segi empat berukuran 2x2 m ) yang dihiasi  dengan pagar mayang, hiasan janur di setiap empat sudutnya. Sebelum memasuki Balairung Padudusan, pengantin terlebih dahulu harus mengelilingi Balairung tersebut dengan diiringi para tetuha yang akan menaburi beras kuning ke arah mempelai. Setelah itu barulah mempelai memasuki balairung padudusan, dan disuruh duduk yang kemudian dimulai ritual mandi-mandi. Diawali oleh yang tertua satu demi demi satu air diguyur ke tubuh mempelai yang kemudian diakhiri dengan guyuran air kelapa perlahan dimulai dari kepala. Apabila air kelapa tersebut meluncur melewati mulut, maka pengantin harus bisa menelannya. Menurut kepercayaan orang-orang tua masyarakat suku banjar, kelak kehidupan mempelai semanis seperti air kelapa muda tersebut.
Setelah selesai mandi, kemudian mempelai segera mengganti basahan dengan sarung kering.Selanjutnnya mempelai kembali ke tikar yang dipenuhi kueh-mueh. Salah seorang tetuha secara simbolis menyisir rambut, memberi bedak, dan diakhiri dengan memegang cermin disertai lilin yang menyala untuk diputar beberapa kali disekeliling pengantin. Harapannya supaya perjalanan kehidupan pengantin kelak seterang cahaya lilin.
 Sebagai ritual penutup, nenek mempelai ( boleh diwakilkan tetuha lain dari keluarga dekat ) secara simbolis akan memotong rambut mempelai. Pengantin wanita disuruh “manjajak hantalu” ( menginjak telur ayam ) sampai pecah dengan ujung tumit. Ketika itu juga pengantin wanita tersebut dicukur yaitu dengan istilah ‘Balarap’, membuat cecantung pada kiri kanan wajahnya. Kemudian pengantin mencicipi “wadai-wadai” (kue-kue) bersama para tamu yang hadir pada saat itu.
Ritual adat mandi badudus juga disertai oleh perlengkapan yang sarat akan makna-makna, seperti tebu kuning yang melambangkan agar kehidupan rumah tangga selalu manis dan teguh, daun beringin sebagai lambang pengayoman, daun kambat sebagai penolak bala, daun linjuang sebagai penolak setan atau hantu, ketupat berbentuk burung agar pengantin bisa terbang tinggi mencapai harapan rumah tangga. Pagar mayang melambangkan sebagai pembawa keberuntungan dan penangkal segala yang buruk.

2.4.2.3. Batamat Qur’an
Masyarakat suku banjar mayoritas beraga Islam, maka ketaatan calon mempelai wanita dalam menjalankan ibadahnya akan “diuji” melalui prosesi Batamat Qur’an. Yaitu menamatkan membaca Al-Qur’an dengan disaksikan oleh guru mengaji dan kaum kerabat. Biasanya Batamat Qur’an ini dilengkapi dengan Pulut Batamak ( nasi ketan yang dipadatkan ), wajik ( kue terbuat dari nasi ketan ) yang dihiasi dengan beraneka bentuk hiasan yang kemudian di atasnya diletakan “hintalu bajarang”( telur rebus ) yang diberi warna kemudian ditancapkan “babandira’an” ( hiasan bendera dari kertas minyak ). Suatu kebiasaan yang unik dan lucu, ialah apabila pengantin telah sampai pada bacaan surah ke 105
( Al-Fiil ) biasanya ramailah anak-anak dan remaja di sekitar itu memperebutkan telur masak sekaligus memakannya. Sebab menurut cerita konon yang mendapatkan telur masak itu akan menjadi terang hatinya, cepat menjadi pandai membaca kitab suci Al-Qur’an, sedangkan lidi babandira’an nantinya dijadikan “tutunjuk ngaji”.

2.4.2.4  Batatai atau Basanding
Perkawinan merupakan salah satu hal terpenting dalam hidup, maka keluarga kedua mempelai berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan kesan dan keistimewaan serta fasilitas kepada kedua mempelai, mereka dilayani bagai seorang raja dan ratu sehingga sering diberi julukan Raja Sahari ( raja satu hari ).
Puncak dari acara perkawinan menurut adat banjar ini adalah pada upacara betataian ( bersanding ) pada tempat petataian. Acara ini yang dianggap paling bahagia oleh kedua pengantin ataupun keluarga mereka.
Proses-proses yang dilakukan sebelum batatai pengantin, yaitu:
1. Manurunakan Pangantin Laki-Laki.
Upacara akan dimulai saat pengantin laki-laki mulai turun dari rumahnya menuju pelaminan di rumah mempelai wanita. Proses ini memang terlihat mudah, tetapi sering pada acara inilah terjadi hal-hal yang berakibat fatal bahkan mengakibatkan batalnya seluruh acara perkawinan.
Di masa lalu, tidak jarang laki-laki saingan yang gagal memperoleh hati wanita yang akan segera menikah melakukan segala cara untuk menggagalkan pernikahan yang akan segera berlangsung. Mereka berusaha menggagalkan dengan cara halus ( gaib ) terutama saat ijab kabul tiba.
( Depdikbud, 1978 : 160 ).
Mempelai laki-laki akan muntah-muntah dan sakit, ada juga yang tidak dapat menggerakkan kakinya untuk melangkah padahal rumah wanitanya sudah didepan mata. Untuk mengantipasi hal ini biasanya para tetuha keluarga memberikan sangu dengan doa-doa khusus. Selain itu saat kaki calon pengantin laki-laki melangkah pertama kali akan didendangkan shalawat nabi dan ditaburi baras kuning.
2. Maarak Pengantin Laki-laki
Pada saat tidak ada lagi gangguan terjadi rombongan pengantar akan bergerak menuju rumah mempelai wanita  Kira-kira beberapa puluh meter di depan rumah mempelai, saat inilah berbagai macam kesenian akan ditampilkan. Diantaranya, Sinoman Hadrah, Kuda Gipang, bahkan ada musik Bamban (sejenis Tanjidor Betawi), pencak silat Kuntaw. Mempelai laki-laki yang melewati barisan Sinoman Hadrah akan dilindungi oleh Payung Ubur-Ubur, payung ini akan terus berputar-putar melindungi pengantin sambil rombongan bergerak menuju rumah mempelai wanita.
3. Batatai Pengantin.
Setelah rombongan pengantin laki-laki sampai, saatnya pengantin laki-laki itu dibawa naik ke rumah pengantin wanita. Si penganti laki-laki diapit oleh dua orang wanita yang muda tetapi sudah bersuami untuk menjemput pengantin wanita yang sudah siap dipersandingkan
Biasanya pengantin perempuan ini didudukan terlebih dahulu di belakang kelambu atau tempat tidur mereka dan kesinilah pengantin laki-laki dibawa. Kemudian pengantin laki-laki bangkit dari duduknya yang dituntun oleh seorang wanita muda yang telah ditentukan. Setelah dipertemukan,  kedua pengantin dibawa keluar rumah, biasanya sampai pintu.
Pada sebagian masyarakat Suku Banjar, pada kesempatan ini dimeriahkan dengan atraksi pencak silat Kuntaw. Biasanya pemandu akan memanggil anggota keluarga dari kedua mempelai untuk menyumbangkan atraksi silat mereka. Maka, riuh lah pengunjung yang hadir ketika salah satu anggota dari dua keluarga tampil di tengah-tengah penonton, mereka beradu silat persembahan kepada mempelai. Akhir dari atraksi ini lebih meriah karena adanya acara “bausung” Yaitu si pensilat akan mengusung ( menggendong pengantin yang didudukan di pundak) pengantin pria dan pengantin wanita. Mereka akan akan melakukan atraksi menari dengan gerakan silat.
Setelah atraksi silat dan bausung selesai, maka kedua pengantin dibawa dan dipertontonkan di atas mahligai pelaminan disaksikan seluruh undangan yang hadir.

2.4.2.5 Serah Terima
Setelah upacara persandingan selesai, maka kedua pengantin akan melaksanakan upacara makan sirih atau makan nasi hahadap-hadapan. Nasi hahadapan ( terbuat dari ketan ) yang dikepal secukupnya diberikan kepada mempelai laki-laki dan diserahkan kepada mempelai wanita yang disambut dengan sapu tangan. Nasi hahadapan sebagai simbol bagi laki-laki yang memberikan nafkah kepada istrinya. Kemudian setelah upacara makan nasi hahadapan ini selesai, maka akan dilanjutkan dengan upacara serah terima.
Biasanya masing-masing keluarga akan menunjuk orang-orang yang diangggap terpandang untuk memimpin upacara ini. Tujuan upacara serah terima ini dilakukan agar kedua pengantin mengetahui akan tanggung jawabnya bahwasa mereka tidak lagi bergantung pada orangtua. Penyerahan ini didahului oleh pihak keluarga pengantin laki-laki yang berbunyi :
“ Kami atas nama seluruh keluarga pihak mempelai laki-laki menyerahkan anak kami kepada bapak dan ibu sekalian untuk dididik, disuruh bekerja kalau dia malas, dimarahi kalau dia bersalah, dan hendaknya dianggap seperti anak bapak dan ibu sendiri”
Dan pihak wanita akan menerima penyerahan itu dengan kalimat seperti berikut :
“ Penyerahan ini kami terima dengan baik, dengan tangan terbuka, dada yang lapang, dengan rasa senang dan gembira dan kamipun mengharapkan agar anak kami kalau tidak bias memasak supaya diajari, kalau tidak mau ke dapur supaya disuru atau dimarahi”.
Setelah upacara serah terima selesai, maka kedua mempelai sujud yaitu menyalami yakni mencium tangan kepada orangtua mereka dan kepada orang orang yang dituakan. ( Depdikbud, 1978 : 161 ).

2.4.3 Tahap Pasca Perkawinan
2.4.3.1. Naik Mentuhak ( Naik Mertua ).
Setelah upacara perkawinan selesai, maka dilanjutkan dengan upacara yang dilakasanakan selama tiga hari berturut-turut yang disebut “ Manjaga Pangantin”. Pada malam pertama dan sampai malam  ketiga biasanya diadakan keramaian seperti : bawayang, mamanda, madihin, balamut, dan sebagainya. Setelah tiga hari, maka kedua pengantin dibawa ke tempat orangtua pngantin laki-laki untuk bermalam beberapa hari, upacara inilah yang dinamakan “naik mentuhak”. Dalam kesempatan ini, maka mertua akan lebih dapat mengenal dan menilai menantunya. Setelah itu kedua mempelai akan bersembah sujud kepada kedua orangtua mempelai laki-laki dan keluarga lainnya serta semua yang hadir.

2.4.3.2 Bailangan ( Berkunjung ).
Bailangan merupakan kegiatan yang mana dilakukan untuk  mengunjungi rumah para kerabat dan tetangga untuk mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah membantu terselenggaranya acara pernikahan dari awal sampai akhir. Rumah dikunjungi atau diilangi wajib memberikan bingkisan atau uang kepada pengantin terseebut, biasanya bingkisan itu disertai dengan kapur makan.
Orangtua memepelai laki-laki akan menyediakan perkakas untuk kehidupan anaknya yang memulai berumahtangga, seperti peralatan makan, bahan-bahan dapur seperti beras, ikan serta rempah-rempah dan lain-lainnya. Hal ini ini dimaksudkan agar kedua mempelai yang baru berkeluarga tersebut kelak “ruhui rahayu” (rukun bahagia). Setelah selesai waktu yang ditentukan, maka kedua pengantin pulang ke rumah pengantin wanita.
Acara bailangan ini juga dilakukan di lingkungan keluarga pihak pengantin wanita, para kerabat dan tetangga. Hal ini harus dilakukan sesuai ketentuan adat, menurut mitos di kalangan masyarakat banjar apabila bailangan tidak dilakukan maka pihak pengantin maupun rumah yang akan diilangi akan mengalami kesialan dalam kehidupannya dan bagi mereka yang punya anak gadis atau bujang akan sulit mendapatkan jodoh.
Untuk sementara, mempelai akan tinggal dan menetap di rumah orangtua mempelai wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri. Jika suami sudah memiliki rumah sendiri, maka setelah mengikuti semua rangkaian adat, maka mereka boleh menempati rumahnya sendiri untuk memulai kehidupan baru. ( Sela Melisa, 2008 : 44 ).

2.5 Faktor-faktor Perubahan Sosial
Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan suatu bangsa pun akan mengalami perkembangan dan perubahan. Dimulai dari kebudayaan tradisional, kebudayaan peralihan, hingga kebudayaan modern. Perubahan kebudayaan merupakan suatu kejadian yang terjadi dalam kehidupan di dunia ini.
Pengertian perubahan kebudayaan sendiri adalah adanya ketidak sesuaian di antara unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda, sehingga terjadilah keadaan yang tidak sesuai dengan fungsinya bagi kehidupan.
Perubahan kebudayaan yang terjadi dalam suatu bangsa tidak luput dari faktor-faktor yang mempengaruhi. Menurut Soerjono Soekanto faktor-faktor tersebut terbagi menjadi 2, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.

2.5.1. Faktor Intern
Faktor intern merupakan faktor yang berasal dari masyarakat itu sendiri yang menyebabkan perubahan kebudayaan, yang diantaranya:
  1. Bertambah atau berkurangnya penduduk, seperti: Kelahiran, Kematian, dan Migrasi. 
  2. Penemuan-penemuan baru, seperti: Adanya ide atau alat baru yang sebelumnya belum pernah ada (Discovery), Penyempurnaan penemuan baru (Invention), dan Proses pembaharuan atau melengkapi atau mengganti yang telah ada (Innovation).
  3. Pertentangan atau ( conflik ) yang terjadi di dalam masyarakat. Konflik dapat merubah kepribadian orang-orang yang terlibat di dalamnya, misalnya menjadi pendiam, murung, tidak mau bergaul, atau bahkan berusaha memperbaiki keadaan tersebut supaya menjadi lebih baik.
  4. Pemberontakan atau revolusi. Hal ini menyebabkan perubahan pada struktur pemerintahan pada suatu negara.
   b.   Faktor Ekstern 
Faktor ektern merupakan faktor yang berasal dari luar masyarakat melalui interaksi sosial yang mendorong terjadinya suatu perubahan kebudayaan, yang diantaranya:
1. Sebab-sebab yang berasal dari ingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia.
Pada zaman sekarang sebagian besar hal ini disebabkan oleh tindakan manusia sendiri yang menyebabkan kerusakan alam, seperti mebuang sampah sembarangan, penebangan liar, pembangunan terus menerus di lahan pertanian, dan masih banyak lagi. Hal ini dapat merugikan manusia sendiri seperti kehilangan keluarga, tempat tinggal, harta benda, dan sarana umum lainnya.
  1. Peperangan. Hal ini dapat menyebabkan perubahan yang mendasar pada suatu negara baik seluruh wujud budaya (sistem budaya, sistem sosial, dan unsur-unsur budaya fisik) maupun seluruh unsur budaya (sistem pengetahuan, teknologi, ekonomi, bahasa, kesenian, sistem religi, dan kemasyarakatan). Biasanya akibat ini lebih berpengaruh kepada negara yang kalah.
  2. Pengaruh budaya lain, seperti: Penyebaran kebudayaan (Difusi), Pembauran antar budaya yang masih terlihat masing-masing sifat khasnya (Akulturasi), dan Pembauran antar budaya yang menghasilkan budaya yang baru tanpa terlihat budaya yang lama sama sekali (Asimilasi). ( Soerjono Soekanto, 1990 :318-526 ).
Sedangkan menurutHartomo dan Arnicun Aziz, perkembangan akal budi dan daya kreasi anggota masyarakat dapat membawa perubahan dalam masyarakat itu. Terjadinya pembaharuan sebagai faktor pengembangan yang berasal dari dalam masyarakat didukung oleh hal-hal sebagai berikut :
a. Faktor dari dalam
1.      Adanya kesadaran anggota-anggota masyarakat terhadap ketinggalan oleh kemajuan yang dialami masyarakat lain. Inividu-individu yang memiliki rasa tidak puas terhadap apa yang telah dicapainya oleh David. C. Mc. Clelland dikatakan memiliki nAch ( Need for achiement ) yaitu suatu dorongan kebutuhan mencapai prestasi yang lebih baik.
2.      Adannya kualitas anggota-anggota masyarakat yang kreatif. Anggota yang kreatif ini merupakan pembaharuan dan modernisasi kebudayaan masyarakat.
3.      Adanya suatu kebiasaan yang  memberikan penghargaan atau insentif dari masyarakat kepada anggota-anggota yang mencapai prestasi atau mendapat inovasi untuk kemajuan masyarakatnya.
4.      Adanya suasana persaingan yang sehat diantara anggota-anggota masyarakat untuk mencapai prestasi tinggi demi kemajuan masyarakatnya.
b. Faktor dari luar
1. Akulturasi. Akulturas merupakan proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian rupa sehingga unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri yang menyebabkan hilangnya kebudayaan sendiri.
2. Asimilasi. Yaitu percampuran antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain dan dari percampuran beberapa kebudayaan tersebut membentuk kebudayaan baru.
3. Difusi. Yaitu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari suatu daerah ke daerah lain atau dari suatu negara ke negara lain.

2.6 Modernisasi
Modernisasi merupakan suatu bentuk perubahan Sosial. Biasanya merupakan perubahan sosial yang terarah ( dirrected change  ) yang didasarkan pada perencanaan yang biasa dinamakan social planing. ( Soerjono Soekanto, 1990 : 346 ). Sedangkan menurut Koentjaraningrat, modernisasi adalah usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang. ( Koentjaraningrat, 1990 : 140 ).
Menurut Smith, modernisasi adalah proses yang dilandasi oleh seperangkat rencana dan kebijakan yang disadari untuk mengubah masyarakat ke arah kehidupan masyarakat kontemporer yang menurut pemikiran para pemimpin lebih maju dalam kehormatan tertentu. ( Anthony D. Smith, 1973 dalam skripsi Helen, 2007 : 6 ).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
3.1.1 Tempat
Penelitian ini direncanakan akan dilakukan di Kecamatan Tempuling Kabupaten Indragiri Hilir
3.1.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini direncanakan mulai dilaksanakan pada bulan Januari tahun 2013.

3.2 Populasi dan Sampel
3.2.1 Populasi
Adapun akan direncakan yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Suku Banjar yang telah menikah di Kecamatan Tempuling. Dikarenakan jumlah KK sulit diketahui secara pasti maka populasi diambil dengan cara purposive yang diperoleh dari Kantor Urusan Agama ( KUA ) yaitu data pernikahan 5 tahun terakhir.  
3.2.2 Sampel
Untuk mendapatkan informasi, penulis akan memilih siapa-siapa yang bisa dimintai keterangan tentang data yang diperlukan dalam penelitian ini sebagai informaman kunci.
Mengingat objek penelitian ini adalah anggota masyarakat Suku Banjar yang berdomisili di Kecamatan Tempuling, maka dalam sampel teknik yang digunakan adalah Penyampelan Proposif ( proposive sampling ).
Menurut Muhammad Ali, Penyampelan Proposif yaitu penentuan sampel berdasarkan pertimbangan atau perhitungan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat – sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. ( Mohammad Ali, 1992 : 57 ).
Teknik penyampelan proposif digunakan apabila anggota sampel yang dipilih secara khusus berdasrkan tujuan penelitian. ( Husaini Usman dkk, 2008 : 45 ).
Dengan demikian, direncakan yang akan dijadikan sampel adalah beberapa pasangan masyarakat Suku Banjar yang telah menikah yaitu sebagai berikut :
Tabel 3.1
No
Keterangan
Populasi
Sampel
Persentase
1
Pasangan yang menikah dalam 5 tahun terakhir (2007-2012)
60
16
26,7%
Sumber : Data November 2012

3.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data peneliti merencanakan akan menggunakan beberapa teknik yang digunakan untuk memperoleh data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber utama penelitian, dalam hal ini melakukan :

3.3.1 Teknik Studi Kepustakaan
Teknik studi kepustakaan yaitu teknik yang dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

3.3.2 Teknik Partisipasi
Partisipasi yang dalam istilah lain terlibat atau keterlibatan, merupakan kegiatan yang wajib dilakukan oleh peneliti dalam kaitannya dengan penelitian kualitatif dan dalam rangka pengumpulan data. Kegiatan ini dimaksudkan untuk melihat secara langsung aspek-aspek dan hal-hal dalam konteks penelitian. ( Maryaeni, 2005 : 68 ).
Dalam teknik partisipasi ini, direncanakan peneliti akan mengikuti prosesi perkawinan yang dilakukan masyarakat Suku Banjar.

3.3.3 Teknik Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada si peneliti. ( Ahmad Eddison, 2007 : 35 ).
Dalam teknik wawancara yang direncanakan, peneliti akan terlibat langsung dengan kata lain bukan melalui angket. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat yang ingin peneliti olah nantinya.

3.3.4 Teknik Dokumentasi
Teknik dokumentasi direncanakan akan dilakukan peneliti dengan cara mengumpulkan bukti – bukti dan data – data yang diperlukan dalam penelitian ini, misalnya berupa foto-foto dan data-data serta laporan  yang berkaitan dengan penelitian ini.

3.4 Teknik Analisi Data
Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif atau pengolahan data kualitatif. Data yang berupa kata-kata, gambar, dan bukn angka. Laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan  data untuk memberikan gambaran penyajian laporan. Data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, videotafe, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya. Pertanyaan dengan kata tanya “ mengapa, alasan apa dan bagaimana terjadinya” senantiasa dimanfaatkan oleh peneliti. (Lexy J.Meleong, 2006 : 11 ).
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, analisis data pada penelitian ini direncanakan menggunakan analisis kualitatif yang berupa tabel. Sedangkan data-data angka yang digunakan hanya untuk memperkuat analisis kualitatif.

3.5 Instrumen Penelitian
Untuk memudahkan penulisan dalam penelitian ini, maka dibuat instrument penelitian yang berfungsi sebagai pedoman dalam penyusunan wawancara.
Tabel 3.2
Variabel
Indikator
            Sub Indikator
1. Tata Cara Adat Perkawinan Masyarakat Suku Banjar di Kecamatan Tempuling

           
1. Tahap Pra Perkawinan
a. Basusuluh
b. Bapara/Badatang
c. Ma antar Jujuran


c. Bapingit :
 - Bakasai dan batimung
- Bapacar
2. Tahap Perkawinan
a. Nikah
b. Mandi Badudus
c. Batamat Qur’an
d. Batatai
e. Serah Terima

3. Tahap Pasca Perkawinan
a. Naik Mentuhak
b. Bailangan
2. Faktor Penyebab Terjadinya Perubahan Dalam Tata Cara Adat Perkawinan Masyarakat Suku Banjar di Kecamatan Tempuling
1. Perubahan lingkungan alam.
2. Perubahan yag disebabkan oleh adanya kontak dengan suatu kelompok masyarakat lain.
3. Perubahan yang terjadi karena discovery (penemuan) dan invention (penciftaan karya bentuk baru).
4. Perubahan yang terrjadi karena suatu masyarakat atau suatu bangsa mengadopsi beberapa elemen kebudayaan material yang telah dikembangkan oleh bangsa lain di tempat lain.
5. Kontak dengan kebudayaan lain.
6. Penduduk yang heterogen.
7. Sistem pendidikan formal
8. Ketidakpuasan terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
9.Orientasi masa depan.
10. Nilai budaya manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki kehidupan.
 ( Elly M. Setiadi dkk, 2007 : 44 )
                                                           


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad. 1992. Strategi Penelitian Pendidikan. Bandung : Angkasa
A.R, Novita. 2007. Skripsi UR. FKIP.
Bakhtiar, Nurhasanah. 2011. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi.
Pekanbaru : Universitas Riau.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978. Adat-istiadat Daerah
Kalimantan Selatan. Kalsel : Depdikbud
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa.Edisi ke 4.Jakarta : PT. Gramedia
Eddison, Ahmad. 2007. Metodologi Penelitian. Pekanbaru : Cendikia Insani
Hartomo & Aziz Arnicun. 1990. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta : Bumi Aksara
Helen. 2007. Sripsi Pergeseran Adat Perkawinan Masyarakat Melayu-Riau
Berkembang ke Arah Budaya Majemuk ( Multicultural )di Kecamatan
Bukit  Batu.Kab.Bengkalis Th.2007.
Haar, Teer. 2001. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta : Pratya Paramita
Koentjaraningrat. 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : Dian
Rakyat
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT.Rineka Cifta.
Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta : Bumi Aksara
Marzoeki, Sjamsir. 2002. Pengantar Antropologi. Pekanbaru : Aba Persada
Bunda
Mawardi. 2007. Hukum Islam. Pekanbaru : Cendikia Insani
Melisa, Sela. 2008. Skripsi Perubahan Tata Cara Perkawinan Masyarakat Banjar
di Kecamatan Tembilhan Kab.Inhil Prov.Riau
Moleong, Lexi. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rusdakarya
Parnia, Yuli. 2011. Skripsi Pergeseran Tata Cara Adat Perkawinan Pada Suku
Laut ( Mantang ) di Desa Panuba Kab.Lingga Prov.Kepri.
Setiadi.dkk. 2007. Ilmu Sosial Budaya dan Dasar. Jakarta : Kencana
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar