Flag Counter

Kamis, 10 Desember 2015

Cerpen Tentang Lingkungan Hidup ( Stand by me Hutan), tema asap.

Stand by me "Hutan"
Aku tersenyum kecil melihat semburat surya menerpa dedaunan pohon akasia yang tumbuh berjejer di sepanjang jalan kota, dahan dahan rapuh mereka meliuk dipermainkan deru kendaraan yang lalu lalang. Daun daun kering bertebaran dan tak sempat beberapa jam sudah habis disapu bersih oleh petugas kebersihan berseragam kuning orange, ibu ibu berkerudung dengan topi daun lebar menutup wajah mereka. Senyum atau merengutkah mereka saat bekerja tidak terlihat karena terhalang oleh masker penutup mulut mereka. Di persimpangan play over beberapa polantas sedang bertugas, berdiri menertibkan lalu lintas meskipun di sana sudah ada lampu merah, kuning, hijau. Penjual koran, pengemis, penjual pernak pernik maupun pengamen serta penyebar pamplet sibuk pada aktivitas mereka. Bocah lelaki berwajah tirus, mata memelas, bibirnya kering bergetar, tangan terangkat mengulurkan menengadah mendekati para pengendara sepeda motor yang acuh tak acuh. Lampu kuning menyala, mereka yang sibuk pada mulanya kembali ke tepi jalan menunggu lampu merah berikutnya bekerja, petugas terlihat memacu sepeda motor ptrolinya mengejar pengendara yang nakal tanpa menggunakan helm. Kota yang sangat sibuk, meskipun kota ini bukan kota besar.

Aku merentangkan kedua tanganku, aku tantang silaunya matahari pagi ini. Pemandangan langit cerah, matahari menerpa kaca kaca mobil yang lalu lalang menyilaukan mata, persis tak terlihat beberapa bulan yang lalu tepatnya lebih kurang 3 bulan matahari tak kuasa menampakan diri. Warga harus menambah aksesoris ketika keluar rumah, pengendara sepeda motor, mobil maupun pejalan kaki harus mengenakan aksesoris yang sedang trend, yaitu masker. Lucu sekali ketika melihat pemandangan ini, seperti berada di konser Bigbang, dimana para personil boyband asal negeri ginseng itu menyukai masker dengan beragam stiker ataupun motif, namun kali ini beda kasus dimana bukan mengikut trend Bigbag namun suatu kebutuhan. Bukan sesuatu yang lucu, tetapi ini adalah suatu cara melindungi alat pernafasan dari kontak langsung menghirup gas beracun asap. Langit yang biasanya cerah,  terik, kini berwarna kelam kemerahan, jalanan kota terasa sulit membedakan siang atau malam, kendaraan tetap menyalakan lampunya. Ironis memang, di sudut jalan tak jarang terpampang spanduk ukuran cukup besar bertuliska "Melawan Asap" namun tak punya senjata.
Sangat jelas di benak ku kala itu, siaran berita di TV lokal maupun nasional tidak jarang lepas dari sorotan bencana tahunan negeri kami, istilah lelucon Negeri di atas awan dengan karikatur lucu pesawat dipakaikan masker. Korban korban penyakit pernafasan telah berjatuhan, sakit ringan, parah hingga meninggal dunia. Suatu kenyataan yang sungguh bukan isapan jempol belaka, mengapa hal serupa terjadi setiap tahun?mengapa tamu tak diundang berupa asap ini tak pernah ada solusi agar tidak berkunjung lagi di tiap tiap tahun?
Sesak dada melihat rumah sakit, puskemas dipenuhi penderita hispa yang mayoritas adalah anak anak dan balita. Tak kuasa melihat balita mungil hanya beberapa bulan melihat dunia harus merasakan sakit ketika bernafas melalui selang menjepit hidung, tatapan mata mereka yang tak berdosa ingin mengatakan pada orangtua mereka "Ibu,mengapa dadaku sesak sekali?ibu..apakah oksigen cuma ada di tabung sekecil ini?ibu..berapa banyak mengeluarkan uang untuk beli satu tabung oksigen ini?ibu, apakah tidak ke kedai berjualan seperti biasa?ibu...tadi aku lihat di luar gelap, kenapa aku tak pernah melihat matahari?.

Pembakaran hutan, ekploitasi besar besaran yang dilakukan pihak tak bertanggung jawab, membabat habis hutan dengan menyulutkan korek api, menciftakan hantu si jago merah untuk menyantap habis hutan agar tersedia lahan subur. Menghukum para pelaku pembakar tidak akan membuat asap tak aka datang lagi, tepatnya hanya menimbulkan sebuah situasi tunjuk menunjuk pelaku, saling menyalahkan. Suatu pemandangan yang sangat disayangkan disetiap rapat umum atau apalah namanya tema melawan asap, debat saling menyalahkan, mencari pelaku dan berkoar koar sana sini yang membuat pelaku sebenarnya tertawa terbahak bahak menonton acara yang lebih lucu dari Stand Up Comedy.

Kesadaran pada setiap diri masyarakat untuk hidup berkelanjutan bersama sama menikmati udara segar, O2 yang masuk ke paru paru secara gratis tanpa ada ketakutan asap hadir di setiap tahun. Mengapa kita tak pernah sadar?bahkan jika dikatakan bodoh tidak juga, semua orang bahkan orang gila pun tahu bahwa menghirup asap itu tidak enak alias menyakitkan. Tapi, mengapa masih ada saja yang membakar lahan, hutan untuk kepentingan pribadi?lucu sekali ada sebuah komentar Áku bakar lahan ku sendiri,tak mengganggu lahan orang,setelah itu api padam. Apa tidak waraskah itu orang?dia apakah tidak tahu atau pura pura gila?asap sisa pembakaran itu menyebar diudara, mencemari oksigen yang tak lagi tercifta karena hutan telah lenyap. Satu orang membakar lahan, satu orang berpikir gila seperti di atas di sebuah desa, bayangkan jika ada 10 orang gila berpikir begitu?10 lahan terbakar?itu hanya di sebuah desa, lebih luas lagi kecamatan, kabupaten dan provinsi. Wah...sungguh kiamat kehabisan oksigen bisa saja terjadi, ujungnya orang yang tak punya uanglah yang kesusahan karena mahalnya harga oksigen di rumah sakit.

Stop pembakaran lahan, hutan. Stop membuka lahan dengan cara membakar. Sisakan hutan untuk anak cucu kita. Tunjukan pada mereka bahwa alam kita indah dan segar, katakan pada mereka bencana asap di tahun tahun dulu hanya kenangan hitam yang membuat kita lebih cerdas dan ramah pada lingkungan. Beri contoh pada mereka bahwa kita tak bisa hidup tanpa alam yang seimbang, katakan dengan lantang bahwa hutan adalah paru paru dunia. Ingatlah nenek moyang kita, mereka hidup di alam, berkawan dengan alam, bukan membuat alam menangis.

Kota yang bising, meskipun terik dan debu debu jalanan mencemari udara namun ini lebih baik dari asap beberapa bulan yang lalu. Warga tidak lagi harus repot membeli masker, mengenakan masker, para pelajar tidak harus lagi bermain dengan mulut terbungkus masker. Sekolah tidak mesti lagi meliburkan siswa terus menerus dan menimbulkan kekacauan pada jadwal kalender pendidikan perihal pelaksanaan ujian di sekolah sekolah. Biarlah kenangan memilukan Kota Kami di serbu asap menjadi kenganan pilu, yang terpenting bencana ini tak lagi mengganggu dan hutan bisa hidup tenang dan Tuhan tidak murka. 

BY Salasiah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar