SISTEM HUKUM YANG ADA DI DUNIA
1. SISTEM HUKUM EROPA KONTINENTAL
Sistem hukum ini berkembang di negar
Eropa - eropa Barat seperti Prancis, dapat disebut sebagi negara yang paling
terdahulu mengembangkan sistem hukum Kontinental tersebut. Dalam sistem hukum Kontinental diutamakan
hukum tertullis yaitu peraturan perundang -undangan sebagai sendi utama system hukumnya.
Sistem hukum continental disebut pula sistem hukum kodifikasi ( codified law)
lazim juga disebut sistem hukum sipil (the
civil law system).
Sistem hukum continental tersebar
keluar dari Eropa melalui penjajahan oleh Prancis di Negara Afrika, Indonesia,
Cina dan Lousiana. Sebenarnya semula hukum continental berasal dari kodifikasi
hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Justinianus abad ke VI sebelum
masehi. Peraturan – peraturan hukumnya merupakan kumpulan dari berabagai kaidah
hukum yang ada sebelum masa Justinianus yang kemdaian disebut “Corpus Juris Civilis” dalam
perkembangannya, prinsip – prinsip hukum yang terdapat pada Corpus Juris
Civilis itu dijadikan dasar perumasan dan kodifikasi hukum di Negara- Negara
Eropa daratan, seperti Jerman, Belanda, Perancis, Italia, Amerika Latin dan
Asia.
Prinsip utama yang menjadi dasar system hukum Eropa
kontinental itu ialah “ hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena mewujudkan
dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara
sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu”. Prinsip dasar ini
dianut mengungat bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah
“kepastian hukum”. dan kepastian hukum hanya dapat diwujudkan kalau tindakan –
tndakan hukum manusia dalampergaulan hidup diatur dengan peraturan – peraturan hukum
yang tertulis. Dengan tujuan hukum itu dan berdasarkan sistem hukum yang
dianut, maka hakim tidak dapat leluasa untuk menciptakan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat umum. Hakum hanya berfungsi “ menetapkan dan menafsirkan
peraturan – peraturan dalam batas wewenangya”. Putusan seorang hakim dalam
suatu perkara hanya mengikat para pihak yang berperkara saja ( doktrin Res Ajudicata).
Sejalan dengan pertumbuhan Negara –
Negara nasional di Eropa, yanag bertitik tolak kepada unsur kedaulatan (
sovereignty ) nasional termasuk kedaulatan untuk menetapkan hukum, maka yang
menjadi sumber hukum di dalam sistem hukum Eropa continental adalah “ undang –
undang “ yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif. Selain itu juga
diakui “ peraturan – peraturan” yang dibuat pegangan kekuasaan eksekutif berdasarkan
wewenang yang telah ditetapkan oleh undang – undang ( peraturan – peraturan
hukum Administrasi Negara) dan “ kebiasaan – kebiasaan “ yang hidup dan
diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang
– undang. Berdasarkan sumber - sumber
hukum itu, maka sistem hukum Eropa continental, pemggolongannya ada 2 yaitu
penggolongan ke dalam bidang :
-
hukum public
-
hukum privat
Hukum publik mencakup peraturan – peraturan
hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenagn penguasa/Negara serta hubungan –
hubungan antara masyarakat dan Negara. Termasuk dalam hukum public ini ialah :
1. Hukum
tatanegara
2. Hukum
Administraasi Negara
3. Hukum
P idana
Hukum privat
mencakup aturan – aturan hukum yang mengatur
tentang hubungan antara individu – individu dalam memenuhi kebutuhan demi
hidupnya. Termasuk dalamhukum privat adalah :
1. Hukum
sipil
2. Hukum
dagang
Sejalan dengan perkembangan peradaban
manusia sekarang, maka batas – batas yang jelas antara hukum public dan hukum
privat itu semakin sulit ditentukan, karena :
a.
Terjadinya proses sosialisai di dalam hukum sebagai akibat dari makin banyaknya
bidang – bidang kehidupan masyarakat yang walaupun pada dasarnya memperlihatkan
adanya unsur – unsur “ kepentingan umum/masyarakat” yang perlu dilindungi dan
dijamin. Misalnya bidang hukum perburuhan dan agraria.
b.
Makin banyaknya ikut campur Negara di dalam bidang kehidupan yang sebelumnya
hanya menyangkut hubungan perorangan. Misalnya bidang perdagangan, bidang
perjanjian dsb.
2.
SISTEM COMMON LAW
a.
Sejarah Perkembangan
Sistem common law secara orisinil berkembag di
bawah pengaruh sistem yang bersifat adversarial dalam sejarah England
berdasarkan keputusan pengadilan yang berdasarkan tradisi, custom dan preseden.
Bentuk reasoning yang digunakan dalam
Comnon Law dikenal dengan Casuistry atau case
based reasoning. Comon law dapat juga berbentuk hukum tak tertulis ataupun
hukum tertulis seperti tertuang dalam statutes
maupun codes. Common law ditetapkan
pada kasus – kasus sipil ( sebagai lawan dari kasus criminal) yang dirancang
untuk kompensasi seseorang dari pelanggaran yang dikenal dengan tortes. Tort tersebut dapat berupa
tindakan yang dengan sengaja (intentional torts) maupun karena kelalaian
seseorang (torts caused by negligence). Saat ini persoalan telah mencakup
masalah hukum kontrak termasuk juga hukum pidana yang bersifat penal.
Sebelum
adanya stabilitas institusional yang diterapkan oleh William sang penakhluk
tahun 1066, warga Negara Inggris tunduk dan diatur oleh kebiasaan local yang
tidak tertulis yang bervariasi dari satu komunitas ke komunitas lainnya dan
diterapkan dengan sewenang – wenang. Sebagai contoh, pengadilan terdiri dari
majelis public informal yang menentukan konflik atas suatu kasus, apabila tidak
mampu memutuskannya, tersangka akan tergugat dibuktikan bersalah atau tidaknya
dengan membawa besi merah panas atau menangkap batu panas dari caldron yang
berisi air mendidih. Apabila luka – luka terdakwa sembuh pada periode tertentu
ia berarti tidak bersalah, tetapi jika sebaliknya hukuman akan ditetapkan.
Pada
tahun 1154 Raja Hendry II merupakan
raja pertama yang melakukan pencapaian signifikan berupa melembagakan common
law dengan menciptakan unified system of
law common to the country dengan melalui penggabungan dan elevasi kebiasaan
lokal menjadi nasional, mengakhiri control lokal dan kejanggalan - kejanggalan, mengeliminasi aturan yang
sewenang – wenang dan membentuk suatu sistem juri yang disumpah untuk
menginvestigasi perkara sipil maupun criminal.
Kreasi dan pencapaian Hendry II yang begitu
berkuasa dalam mengunifikasi hukum yang mengekang kekuasaan hukum kanonik (
hukum gereja) membawanya pada suatu konflik dengan gereja. Seorang arbishop
Canterbury yang bernama Thomas Becket
terbunuh oleh pengikut Raja Hendry II dan ketika itu gereja manobatkan Becket
sebagai seorang “saint”
Pada
awal abad ke 15 praktik-praktik litigasi menjadi populer dan mereka yang merasa
dirugikan dapat mengajukan petisi pada raja. Untuk kebutuhan ini, dibentuklah
system equity yang diadministrasikan oleh Lord Chancellor pada pengadilan
Chancery. Di Inggris cour of law and equity dikombinasi melalui judicatore ACTS
of 1873 dan 1875, dimana equity menjadi lebih tinggi dalam penyelesaian
konflik.
Sistem
common law merupakan sistem hukum yang memakai logika berfikir induktif dan
analogi hal ini berlawanan dengan system cipil law yang memakai metode deduktif
3. SISTEM HUKUM ISLAM
Pengertian Islam
Islam mengandung
arti ketundukan ketaatan yang sepenuhnya kepada Allah. Islam berasal dari kata
salm yang berarti damai ( peace). Apabila seseorang menghendaki kedamaian,
kesejahteraan, keselamatan yang hakiki dari rasa dan pemikirannya hanya melalui
penyerahan diri dan ketundukan serta ketaatan kepada Allah.
Untuk
memahami karakteristik Islam, Fazlul Rahman menyebutkan beberapa karakter dalam
islam :
a. Sederhana,
diterima akal sehat dan praktis
b. Kesatuan
antara materi dan spiritual
c. Suatu
jalan hidup yang lengkap a complete way of life
d. Keseimbangan
antar individu dan masyarakat
e. Peniversalitas
dan humanism
f. Permanen
dan berubah
g. Ajaran
yang terekam dengan lengkap tersedia
Dalam Islam,
hukum adalah salah satu pilar utama masyarakat, dan hukum
sendiri diperuntukkan
untuk masyarakat. Dimanapun mereka berada selalu memerlukan hukum dan undang –
undang untuk mengatur hubungan diantara mereka. Dengan kata lain, hukum selalu
ada dan tumbuh dari dan untuk masyarakat ; tidak ada masyarakat tanpa hukum.
Sistem hukum ini semula dianut oleh masyarakat
Arab sebagai awal dari timbulnya dan penyebara agama Islam. Kemudian berkembang
ke Negara – Negara lain di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika secara individual
dan kelompok. sedangkan untuk beberapa Negara di Afrika dan Asia
perkembangannya sesuai dengan perkembangan Negara itu yang berasaskan ajaran Islam.
Bagi Negara Indonesia walaupun mayoritas warga negaranya beragama Islam,
pengaruh agama itu tidak besar dala bernegara, karena asas pembentukan Negara bukanlah
menganut ajaran Islam.
Sistem
hukum Islam bersumber hukum pada :
1. Al-Qur’an
yaitu kitab suci dari kaum muslimin yang diwahyukan oleh Allah kepada nabi
rasul Allah Muhammad dengan perantara malaikat Jibril.
2. Sunnah
Nabi, ialah cari hidup dari nabi Muhammad atau cerita – cerita ( hadits)
mengenai nabi Muhammad.
3. Ijma’,
kesepakatan para ulama besar tentang suatu hal dalam cara bekerja (
berorganisasi ).
4. Qiyas,
merupakan analogi dalam mencari sebanyak mungkin persmaan antara dua kejadian
cara ini dapat dijelmakan melalui metode hukum berdasarkan deduksi dengan
menciptakan atau menarik suatu garis hukum baru dari garis hukum lama dengan
maksud memberlakukan yang baru itu kepada suatu keadaan karena persamaan yang
ada di dalamnya.
Agama islam dengan sengaja diturunkan oleh
Allah melalui malaikat Jibril kepada
nabi Muhammad dengan maksud menyusun ketertiban dan keamanan serta keselamatan
umat manusia. Karenna itu dasar – dasar hukumnya mengatur mengenai segi – segi
pembangunan, politik, sosial ekonomi dan budaya disamping hukum – hukum pokok
tentang kepercayaan dak ketaatan atau ibadah kepada Allah SWT. Karen atu
berdasarkan sumber – sumber hukumnya, system hukum islam dalam hukum fiqih
terdiri dari 2 hukum pokok, adalah :
1. Hukum
rohaniah, lazim disebut ibadah, yaitu cara – dara menjalankan ibadah tentang
ketaatan kepada Allah SWT, seperti Sholat, puasa, zakat dan menjalankan ibadah
haji. Kelima kegiatan menjalankan ibadah kepada Allah SWT itu lazim disebut al arkanul islam al hamzah
2. Hukum
duniawi, terdiri dari :
a. Muamalah,
yaitu tata tertib hukumdan peraturan mengenai hubungan antar manusia dalam
bidang jual beli, sewa menyewa, perburuhan, hukum tanah, hukum perikatan, hak
milik, hak kebendaan dan hubungan ekonomi pada umumnya.
b. Nikah,
yaitu perkawinan dalam arti membentuk sebuah keluarga yang terdiri dari syarat
– syarat dan rukunnya hak dan kewajiban, dasar – dasar perkawinan, monogamy dan
akibat – akibat hukum perkawinan.
c. Jinayah,
yaitu hukum pidana yang meliputi ancapan hukuman terhadap hukum Allah SWT dan
tindak pidana kejahatan.
Dalam perkembangan
hukum islam lahir lapangan hukum lainnbya, yaitu :
1. Aqdiyah,
ialah peraturan hukum pengadilan, meliputi kesopanan hakim, saksi, beberapa hak
peradilan, dan cara – cara memerdekakan budak belian.
2. Alkhilafah,
ialah mengatur mengenai kehidupan bernegara, melliputi bentuj Negara dan dasar
– dasar pemerintahan, hak dan kewajiban
warga Negara, kepemimpinan dan pandangan islam terhadap pemeluk agama
lain.
Sistem hukum
islam ini menganut suatu keyakinan dari ajaran agama islam dengan keimanan
lahir bathin secara individual. bagi Negara – Negara yang amenganut asas hukum
islam dalam bernegara melaksanakan peraturan – peraturan hukumnya secara taat
sesuai yang dianggap adil berdasarkan peraturanperundangan Negara yang dibuat
dan tidak bertentangan dengan ajaran islam.
4.SISTEM HUKUM GEREJA
Untuk berbagai hal, seperti
perkawinan, harta benda gereja, penghukuman kejahatan - kejahatan,larangan
riba, hukum acara gereja, dll gereja katolik mengadakan hukumnya sendiri yang
disebut hukum kanonik.
Gereja Luther dan beberapa geraja
protestan lainnya juga memiliki suatu disiplin peraturan – peraturan masing –
masing. Bedanya adalah bahwa bagi gereja katolik hukum kanonik itu sangat berkuasa, pernah didalam sejarah membawahi
hukum umum, lambat laun berubah sehingga menjadi dibawahi oleh hukum umum hukum
negara sekarang. Bagi gereja Luther dan lain-lain
hukum gereja itu tetap dari semula tidak menyaingi hukum Negara.
Berikut adalah beberapa ketentuan umum
dari hukum Gereja katolik, yang kiranya pantas diketahui oleh semua umat
beriman.
A. Kedudukan Orang Beriman (kanon 96-112)
1. Seseorang
mulai menjadi warga Gereja segera setelah ia dibaptis. Sejak itu ia mempunyai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam Gereja, sesuai dengan kedudukannya.
2. Seorang
warga Gereja yang dewasa memperoleh domisili dengan bertempat tinggal di wilayah
suatu paroki, dengan maksud untuk tinggal secara tetap di sana, atau sudah
berada di sana selama genap lima tahun. Seorang warga Gereja yang dewasa
memperoleh kuasi-domisili dengan bertempat tinggal di wilayah suatu paroki
dengan maksud untuk tinggal di sana sekurang-kurangnya selama tiga bulan, atau
ternyata sudah berada di sana selama tiga bulan.
3. Berdasarkan domisili maupun
kuasi-domisili-nya, setiap warga Gereja berada di bawah kepemimpinan
pastor-paroki maupun Ordinaris (misalnya : Uskup) setempat.
SAKRAMEN
BAPTIS
Berikut adalah beberapa ketentuan hukum
Gereja katolik tentang sakramen baptis, terutama yang pantas diketahui oleh
umat beriman pada umumnya.
A. Penerimaan
Sakramen Baptis (kanon 849-860)
1. Sakramen
baptis hanya dapat diterimakan secara sah dengan pembasuhan air sungguh,
disertai rumus kata-kata yang diwajibkan oleh Gereja.
2. Sakramen
baptis hendaknya diterimakan menurut tata-perayaan dalam buku-buku liturgi yang
disetujui, kecuali dalam keadaan darurat, di mana harus ditepati hanya hal-hal
yang dituntut untuk sahnya sakramen.
3. Penerimaan
sakramen baptis haruslah disiapkan dengan semestinya. Karena itu, orang dewasa
yang bermaksud menerima sakramen baptis hendaknya diterima dalam katekumenat
dan sejauh mungkin dibimbing lewat pelbagai tahap, menurut tata-perayaan
inisiasi yang telah disesuaikan oleh Konferensi Para Uskup. Orang tua dari
kanak-kanak yang akan dibaptis, demikian pula mereka yang akan menerima tugas
sebagai wali-baptis, hendaknya diberitahu dengan baik tentang makna sakramen
ini dan tentang kewajiban-kewajiban yang melekat padanya.
4. Air yang
harus digunakan dalam menerimakan sakramen baptis, di luar keadaan terpaksa,
haruslah air yang sudah diberkati menurut ketentuan-ketentuan buku liturgi.
5. Meskipun
sakramen baptis dapat diterimakan pada hari apa pun, namun dianjurkan agar pada
umumnya diterimakan pada hari Minggu, atau, jika dapat, pada malam Paskah.
6. Di luar
keadaan darurat, tempat yang biasa untuk baptis adalah gereja atau ruang doa.
Pada umumnya orang dewasa hendaknya dibaptis di gereja parokinya sendiri,
sedangkan kanak-kanak di gereja paroki orang-tuanya, kecuali bila alasan wajar
menganjurkan lain.
7. Jika calon
baptis, karena jarak jauh atau keadaan lain, tidak dapat datang atau dibawa
tanpa kesulitan besar ke gereja paroki, pembaptisan dapat dan harus
dilaksanakan di gereja atau ruang doa lain yang lebih dekat, atau di tempat
lain, yang layak.
8. Di luar
keadaan darurat, atau karena ada alasan yang berat, sakramen baptis jangan
diterimakan di rumah pribadi.
9. Di luar
keadaan darurat, atau karena ada alasan yang berat, sakramen baptis juga jangan
diterimakan di rumah sakit.
5. SISTEM HUKUM CHINA
Sistem hukum China, berkembang menurut alur
sejarahnya sendiri, “terlepas” dari perkembangan sistem hukum anglo-saxon
(anglo-american), maupun sistem civil law (Eropha continental). Meskipun pada titik
tertentu terlihat adanya persinggungan diantara sistem-sistem hukum tersebut,
akan tetapi sistem hukum China terbangun dengan pondasi sumber hukum, asas,
lembaga dan pranata yang berbeda dengan sistem hukum lain didunia, sehingga
tampil sebagai sebuah sistem hukum tersendiri.
1. Sistem Hukum China di Masa Kerajaan : Sebuah sistem dikotomis yang Diskrimanatif
Sejak
awal pembentukannya, sistem hukum China terbangun oleh dua tradisi besar, yaitu
tatanan hukum yang bersumber dari ajaran filsafat confusionisme , yang bertumpu
pada pengabdian aturan-aturan hukum moral (yang disebut li), dan tatanan hukum
yang didasarkan atas undang-undang (yang disebut fa) terutama undang-undang
pidana, sebagai produk hukum yang diupayakan oleh para raja dengan bantuan
ahli-ahli hukum. Munculnya konsep Li
dalam sistem hukum China, didasarkan pada struktur kemasyarakatan China pada
era kerajaan yang bertumpu pada etika yang bersumber dari tiga buah aliran
pemikiran, yaitu: Confusianisme, Taoisme dan Budhisme .
Li adalah kata kunci paling dekat pada
pengertian “hukum“ menurut konsepsi hukum di negara-negara barat, meskipun
terkadang Li diterjemahkan pula dengan ritual, moral, etiket, kepastian. Li
merupakan seperangkat aturan-aturan kepatutan dan kesopanan yang harus diindahkan
oleh manusia yang jujur. Dengan demikian Li lebih menampakan dirinya sebagi
sebuah kode etika dalam pergaulan (aturan-aturan moral). Aturan-aturan hidup
yang disebut Li bukanlah sebuah ketentuan yang berlaku umum, Li memiliki
substansi yang berbeda-beda mengikuti bentuk hubungan dan golongan dari
orang-orang yang harus menerapkannya.
Meskipun demikian terdapat satu ketentuan yang
berlaku umum di dalam Li, yaitu adanya penetapan, bahwa manusia pada dasarnya
tidak mempunyai hak-hak subyektif, akan tetapi hanya memiliki
kewajiban-kewajiban, baik kewajiban terhadap atasan-atasan mereka, maupun
terhadap masyarakat.
Penetapan kewajiban yang bersifat subordinasi tersebut, diperlukan, sebagai bagian dari upaya untuk menjamin terselenggaranya “kelima hubungan dan perimbangan yang telah dikemukakan Konfusius dan terutama Mensius”, yaitu : (a) kaum muda terhadap kaum tua;
Penetapan kewajiban yang bersifat subordinasi tersebut, diperlukan, sebagai bagian dari upaya untuk menjamin terselenggaranya “kelima hubungan dan perimbangan yang telah dikemukakan Konfusius dan terutama Mensius”, yaitu : (a) kaum muda terhadap kaum tua;
(b)
kaum laki-laki terhadap ayahnya;
(c)
istri terhadap suami;
(d)
sahabat terhadap sahabatnya;
(e)
kaula negara terhadap raja
Adanya
kewajiban yang bersifat subordinasi ini, tidak dapat diepaskan dari bentuk
dasar organisasi kemasyarakatan, yaitu keluarga, dalam arti yang luas. Kepala
keluarga adalah orang yang tertua dari generasi tertua, dan ia melakukan kekuasaan
yang tak terbatas atas semua anggota-anggota keluarga. Keluarga-keluarga
tersebut dikelompokkan kedalam keturunan-keturunan dan yang disebut terakhir
ini pada gilirannya bertumpu pada domein feodal, dan berada dibawah pimpinan
raja-raja. Hierarki feodal seperti itulah yang ada pada era Confusius, tetap
bertahan.
Kondisi
sebagai terdeskripsi di atas yang kemudan menjadi dasar diterapkannya Li oleh
kepala keluarga didalam keluarga, oleh kepala suku-bangsa terhadap
kepala-kepala keluarga, oleh raja-raja atau pejabat-pejabat tinggi terhadaap
kepada kepala-kepala suku. Dalam konteks ini setiap orang harus berikhtiar
untuk menghindari adanya sengketa, oleh karena adanya sengketa dapat merusak
kehormatan dan sekaligus mengganggu ketertiban masyarakat. Dengan demikian
setiap anggota masyarakat harus senantiasa berupaya untuk melakukan
rekonsiliasi, dan mencari solusi yang mendamaikan. Bilamana proses rekonsiliasi
tidak menghasilkan sesuatu, maka barulah sengketa tersebut diselesaikan dengan
hukum, sebagai alat pamungkas . Adanya pandangan yang demikian mendasarkan pada
pendapat Confucius, yang menyatakan bahwa manusia akan menjadi benar, jika
manusia menjunjung tinggi moral (Li) dalam setiap kehidupannya. Dengan
menjunjung tinggi moral, maka manusia akan berada dalam kesempurnaan sehingga
manusia tidak perlu lagi berpedoman pada hukum. Menurutnya hukum tertulis yang
dibuat oleh para pembentuk hukum (kaum legalis) menjadikan manusia memiliki
perilaku yang buruk. Hukum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang jahat,
hukum menjadikan manusia bersikap tamak dan serakah. Manusia yang telah
mencapai kesempurnaan moralitas tidak akan membutuhkan hukum dalam hidupnya.
Pemikiran Confucius tersebut dilandasi oleh sebuah keyakinan bahwa pada
dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan baik, sehingga ia karena terdapatnya
atau telah tertanamnya moral dalam dirinya sejak manusia itu lahir
Pada abad III M, terutama di zaman Dinasti
Tsyin (256-207), ajaran Confusionisme, terutama ajaran li ini diserang
habis-habisan oleh kaum ahli-ahli hukum atau para legis, yang mendasarkan pada
pandangan bahwa fa — artinya undang-undang, terutama undang-undang hukum pidana
— sangat diperlukan bagi rakyat. Apa yang dikenal dengan fa-cia (madzab
undang-undang/madzab kaum legis) berkembang pesat terutama pada pemerintahan
Kaisar Ch’in Shih Huang-Ti, yang pada tahun 221 SM mewujudkan persatuan dan
kesatuan semua wilayah China, dan kemudian diteruskan oleh mao tse Tung serta
pimpinan partai komunis.
Tentangan
terhadap Confucius tersebut, mendasarkan pada pemahaman Kaum Legalis, yang
melihat bahwa sesungguhnya manusia dilahirkan dengan membawa watak dan sifat
jahat. Manusia cenderung untuk senang sendiri, ia akan menjadi serigala bagi
manusia yang lain. Pada keadaan yang demikian manusia harus diatur oleh hukum
yang keras. Menurut kaum Legalis Raja memperoleh legitimasi kekuasaan dari
Thian (Tuhan), dan ketika ia berkuasa maka ia dibekali dengan hukum untuk
menundukkan sifat watak keras manusia, sehingga tidak ada satupun manusia yang
akan menentangnya . Oleh karena itu untuk menjaga ketertiban, maka manusia
perlu ditundukan pada undang-undang, bahkan para pelanggar aturan-aturan ini
harus diancam dengan hukuman-hukuman berat yang menakutkan . Fa adalah hukum
yang lekat pada negara, secara mutlak dan umum serta berlaku sama dan setara
bagi setiap orang.
Sejalan dengan anjuran dari fa-cia, di China
pun kemudian dibentuk berbagai peraturan perundang-undangan. Paling sedikit
dijumpai setidak-tidaknya delapan belas kitab undang-undang China . Peraturan
perundang-undangan yang tertua berasal dari abad IV SM, setelah itu hampir
disetiap dinasti mengeluarkan sebuah kitab undang-undang baru (meskipun
biasanya berasal dari naskah lama yang diambil alih begitu saja dengan atau
tanpa tambahan-tambahan).
Akan tetapi pandangan legalistis fa-cia tersebut nampaknya tidak dapat dipaksakan begitu saja. Sejak era Dinasti Han (abad II SM) telah dapat dipastikan terjadi sebuah proses “ konfussianisasi” undang-undang, dimana beberapa peraturan perundang-undangan secara substansi merujuk pada Li sebagai sumber hukumnya.
Akan tetapi pandangan legalistis fa-cia tersebut nampaknya tidak dapat dipaksakan begitu saja. Sejak era Dinasti Han (abad II SM) telah dapat dipastikan terjadi sebuah proses “ konfussianisasi” undang-undang, dimana beberapa peraturan perundang-undangan secara substansi merujuk pada Li sebagai sumber hukumnya.
Sekalipun
demikian legisme ini masih tetap berpengaruh dan telah menjadi tradisi bagi
setiap kaisar untuk membentuk perundang-undangan, terutama perundang-undangan
di bidang hukum pidana dan hukum tata-uasaha negara. Hanya saja proses legisme
tersebut tidaklah pernah menyentuh bidang hukum privat . Dalam bidang hukum
privat, kebiasaan tetap memainkan peranan penting, dan kebiasaan tersebut masih
tetap berlaku sekalipun bertentangan dengan undang-undang.
Sub sistem
hukum Li dan Fa dalam sistem hukum China, tidaklah berlaku secara unifikasi
untuk semua golongan masyarakat. Permberlakuan Li dan Fa disesuaikan dengan
struktur masyarakat China terdiri dari empat kelas, yaitu : kelas pertama yang
terdiri dari pejabat-negara/ kerajaan dan kaum yang terpelajar; kelas kedua
kaum petani; kelas ketiga kaum pekerja dan kelas keempat kaum pedagang .
Orang-orang yang berada di kelas yang lebih rendah tunduk pada orang-orang
kelas yang lebih tinggi; didalam kelas tiap kelas keluarga dan kelompok
keluarga tetap merupakan dasar organisasi kemasyarakataan dan yuridis
Li sebagai suatu tatanan umum, hanyalah diberlakukan bagi golongan masyarakat kelas atas, sedangkan bagi kelas-kelas terendah, tidak dapat diterapkan dan oleh karenanya bagi mereka diberlakukan Fa. Dalam konteks yang demikian, maka bagi para pejabat negara dan kaum terpelajar terhindar dari undang-undang pidana, bahkan jika mereka harus dihukum, mereka senantiasa dapat “menembus” pidana mereka dengan sejumlah uang.
Li sebagai suatu tatanan umum, hanyalah diberlakukan bagi golongan masyarakat kelas atas, sedangkan bagi kelas-kelas terendah, tidak dapat diterapkan dan oleh karenanya bagi mereka diberlakukan Fa. Dalam konteks yang demikian, maka bagi para pejabat negara dan kaum terpelajar terhindar dari undang-undang pidana, bahkan jika mereka harus dihukum, mereka senantiasa dapat “menembus” pidana mereka dengan sejumlah uang.
Munculnya perbedaan tersebut didasarkan pada
alasan karena anggota-anggota kelas tertinggi —- kaum elit orang-orang
terpelajar, para pejabat negara, pemilik-pemilik tanah —- karena pengetahuan
dan pendidikan mereka dapat memahami cara hidup yang ditentukan oleh Li,
sedangkan “rakyat biasa” —- yang tidak terpelajar dan hidup sederhana— tidak
dapat berbuat seperti itu, sehingga mereka harus diatur dengan peraturan
perundang-undangan, khususnya hukum pidana.
Hukum China
tradisional dengan demikian diwarnai dan ditandai oleh adanya ketidasetaraan
dimuka hukum dan kesewanang-wenangan putusan hakim. Kelas-kelas tertinggi dapat
menolak pemberlakukan undang-undang terhadap mereka, dengan alasan bahwa
pemberlakuan sebuah undang-undang merupakan bukti kelemahan.
2. Sistem Hukum China di Masa
Republik : Dominasi Sistem Fa berbasis Marxisme Versi Mao Tse-Tung
Ketertutupan China dari pengaruh asing dalam
berbagai bidang (temasuk hukum), sepertinya tidak dapat dipertahankan secara
terus menerus. Seiring dengan jatuhnya rezim kekaisaran dan terbentuknya
pemerintahan Republik pada tahun 1912, mulai terjadilah perembesan
tatanan-tatanan hukum Barat ke China. Hal ini terutama terjadi setelah Tsiang
Kai Tsyek mengungguli kelompok-kelompok yang berhaluan partai kiri dari partai
Kuo Min Tang selama tahun-tahun 1925-1928. Pada saat itu mulai disusunlah
Undang-undang Dasar (yang bersifat sementara pada tahun 1931, dan kemudian
menjadi definitif pada tahun 1936), maupun sejumlah kodeks menurut pola Barat .
Pada tahun 1949 telah terjadi perubahan
mendasar sebagai akibat kemenangan partai Komunis dibawah pimpinan Mao Tse-Tung.
Rezim baru Republik Rakyat China ini telah menghapus semua undang-undang yang
ada untuk melenyapkan pengaruh feodalisme dan kaum kelas menengah, dan sebagai
gantinya dibentuk tatanan hukum baru berbasiskan undang-undang. Pembentukan
tatanan hukum baru berbasis undang-undang ini, tidaklah semata-mata
memperlihatkan kemenangan Fa, (kaum ahli hukum / legisten), akan tetapi lebih
menunjukan adanya keinginan kuat dari penguasa untuk menerapkan paham
Marxisme-lenimisme. Pemberlakukan undang-undang di Republik Rakyat China, pada
dasarnya ingin mengukuhkan kekuasaan diktator (yang untuk sementara dianggap
sebagai suatu keadaan yang terpaksa ditolelir). Pemberlakukan undang-undang
yang keras dan ketat, semata-mata untuk menegakkan komunisme.
Oleh karena itulah dari tahun 1950 sampai dengan tahun 1958 telah dikeluarkan undang-undang dalam jumlah yang besar, yang lazimnya menurut pola hukum Sovyet, namun dengan kekhususan-kekhususan China.
Oleh karena itulah dari tahun 1950 sampai dengan tahun 1958 telah dikeluarkan undang-undang dalam jumlah yang besar, yang lazimnya menurut pola hukum Sovyet, namun dengan kekhususan-kekhususan China.
Akan tetapi
pada sekitar tahun 1958 terjadilah suatu reaksi terhadap hegemoni perundang-undangan.
Pemerintah China menentang pengaruh Rusia dan kembali ke cara pendekatan
tradisional China. Dominasi kedaulatan undang-undang mulai dihapuskan, dan
kemudian digantikan dengan sebuah model penataan yang berbasis pada
kepemimpinan kenegaraan yang dipengaruhi oleh sebuah etika umum, yang
ditafsirkan oleh kader-kader partai dan negara. Pada titik ini, di Republik
Rakyan China, terbentuk kembali sebuah li yang baru, sesuai dengan
pandangan-pandangan partai politik komunis, yang diturunkan oleh
gagasan-gagasan Mao Tse Tung (yang kemudian dikenal dengan “buku merah“). Li
ini diterapkan atas diri “orang-orang yang jujur“, yakni orang-orang komunis,
sedangkan yang kejam itu (undang-undang hukum pidana) tetap dipertahankan dan
diberlakukan bagi orang-orang “kontra-revolusioner“ dan bagi orang-orang
“Baarbar“, yakni yang bukan China.
Terjadinya
Revolusi kebudayaan kaum Proletar pada tahun 1966-1968 telah mempercepat proses
perubahan tersebut. Proses untuk membentuk komunisme menimbulkan keinginan yang
kuat disebagian kalangan untuk memasukkan didalamnya keadaan “non-hukum“,
dengan sama sekali tidak ada sanksi apa pun. Ideologi harus mampu menjalankan
kekuasaan negara, sementara rakyat harus menerima dan mengikuti dengan penuh
gairah gagasan-gagasan partai dan pimpinannya. Ideologi ini harus diterima
bukan karena menyetujuinya, melainkan agar tercipta persatuan dan kesatuan.
Setiap orang diharapkan dapat menerapkan gagasan-gagasan tersebut, kalau perlu
dengan jalan paksa. Dengan demikian bentuk tatanan hukum yang kemudian
terbentuk bukan lagi semata-mata berdasarkan undang-undang, akan tetapi segala
sesuatunya kemudian bertumpu pada slogan-slogan dan semboyan-semboyan yang
bersifat ideologis.
Pada tahun 1970, dan terutama setelah wafatnya
Mao (1976), nampaknya pandangan mengenai hukum dan negara yang diberlakukan
oleh Revolusi Kebudayaan secara berangsur-angsur ditarik kembali. Pada tahun
1973 munculnya perlawanan terhadap Lin Piao, yang dipadukan dengan penyerangan
terhadap konfusionisme serta pemujaan terhadap fa-chia, Hua Kuo Feng
bersama-sama dengan Feng Hsiao-Ping (pemimpin yang dilengserkan oleh Revolusi
Kebudayaan), telah membawa kembali China untuk menganut legalisme, suatu bentuk
fa, namun tanpa mengingkari ideologi Mao.
Pada masa ini Undang Undang Dasar yang dibuat
sejak tahun 1954, kemudian diganti dengan sebuah Undang-undang Dasar baru yang
telah dipersiapkan sejak tahun 1970 dan dirampungkan serta dikeluarkan pada
tahun 1975. UUD ini lebih ringkas dibandingkan dengan yang dikeluarkan pertama
(hanya 30 pasal, sedangkan UUD yang lama berisi 106 pasal). UUD baru ini di
satu sisi berupaya untuk menyederhanakan struktur kenegaaraan, sedangkan di
sisi lain meletakan dasar konstitusional bagi partai komunis. Dengan demikian
Republik Rakyat China menjadi negara sosialis dengan nama ”diktatur
ploretariat“, yang didalamnya kekuasaan negara diletakkan dibawah pimpinan
partai komunis.
Undang-undang
Dasar tahun 1975 ini, kemudian diamandemen pada bulan Maret tahun 1975 (60
pasal), yang kemudian diganti lagi oleh UUD 1982, namun perubahan-perubahan
yang diadakan relatif sedikit.
Dianutnya kembali sub sitem fa di China,
tidaklah menyebabkan hukum (undang-undang) berperan sebagai panglima. Sekitar
tahun-tahun 1972-1976 hukum justru ditempatkan secara subordinatif dan hanya
menjadi alat tujuan-tujuan politik. Demikian pula di bidang hukum privat.
Meskipun telah diakui adanya kepemilikian tanah, akan tetapi struktur
kepemlikian tersebut mendasarkan pada hak milik marxisme, dengan tekanan pada
hak milik negara sosialis dan kolektif.
Peradilan pun sepenuhnya berada di bawaah
pengawasan badan-badan partai, yang hanya mempunyai satu tujuan: penyelesaian
pertentangan-pertentangan yang timbul dalam masyarakat. Didalam kebanyakan
bidang hukum ini diupayakan adanya penyelesaian perselisihan secara damai
melalui jasa-jasa perantara. Untuk menunjang maksud tersebut maka dibentuklah
Komisi Perantaraan Masyarakat, yang pada hakikatnya mengesampingkan peranan
peradilan. Mekanisme ini dipandang sebagai pengganti tolak ukur yang lama,
yakni kewajiban menjamin kehidupan, harmonis, yang kemudian berubah menjadi
persyarataan kesetiaan terhadap paham marxisme versi Mao Tse-Tung.
Hukum perundang-undangan di China bersumber
dari dua badan pembuat undang-undang, yaitu: badan legeslatif negara dan badan
kekuasaan partai. Dalam hal ini Partai menetapkan isinya, sedangkan negara
menentukan bentuk undang-undang. Begitulah sejak tahun 1979 telah diterbitkan
ratusan undang-undang, terutama yang berhubungan dengan institusi-institusi
negara dan khususnya yang menyangkut hukum ekonomi. Selain itu dikeluarkan pula
kitab-kitab undang-undang dalam bidang cabang-cabang hukum lainnya seperti
hukum perdata dan hukum acara perdata, hukum pidana dan hukum acara pidana.
Adapun Pembagian bidang hukum di negara China pada masa kini adalah:
a. Hukum partai yang dimuat dalam statuta partai dan revolusi-revolusi partai. Dalam hal ini setiap individu harus tunduk pada ketentuan-ketentuan ini. Instansi partai tertinggi adalah Komite Sentral, yang mengendalikan negara dan masyarakat.
b. Hukum Tata Negara. Pengaturan bidang ini terdapat didalam Undang-undang Dasar dan didalam undang-undang pelaksanaannya. Undang-undang Dasar tahun 1982, yang diterima oleh Musyawarah Nasional, menguraikan asas-asas umum tatanan kenegaraan dan ekonomi, mengandung hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara, yang sama dimuka hukum dan mengatur struktur kenegaraan. Kekuasaan tertinggi berada di tangan Musyawarah Rakyat Nasional; dan
c. Hukum pemerintahan yang antara lain menetapkan statuta komite-komite penduduk.
d. Di dalam bidang hukum privat, hukum China ini membedakan antara orang-orang pribadi dan badan-badan hukum. Orang asing dilindungi dalam hak-hak dan kepentingan-kepentingan hukumnya. Didalam hukum keluarga suami-istri mempunyai hak-hak yang sama; undang-undang perkawinan tahun 1980 mengatur persyaratan-persyaratan pelaksanaan perkawinan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mengalir dari hal tersebut berikut syarat-syarat untuk perceraian. Anak-anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hak yang sama dengan anak-anak sah. Khusus untuk hukum perkawinan pada tahun 1950 pembuat undang-undang membuat suatu ketentuan yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan tradisional. Dalam hal ini perkawinan yang dipandanga sebagai permasalahan yang diatur oleh kepala-kepala keluarga. Kemudian diganti dengan ketentuan bahwa perkawinan haruslah didasarkan pada kehendak bebas para pihak dan hal itu harus diselenggarakan di hadapan pejabat catatan sipil. Suami dan istri mempunyai hak-hak yang sama dan berdasarkan alasan-alasan demogratif kepada para mitrakawaan ini diwajibkan mengikuti program keluarga berencana.
e. Di dalam pengaturan tentang eigendom UUD membedakan tiga bentuk eigendom, yaitu: hak milik negara, hak milik kolektif dan hak milik pribadi. Yang disebut pertama dan kedua meliputi tanah, sumber-sumber daya alam dan sebagian dari alat-alat produksi, sedangkan eigendom individual meliputi barang-barang kosumsi (rumah, perabot alat-alat rumah tangga, uang tabungan) dan alat-alat produksi seperti hewan penarik dan pengangkut beban. Hanya hak milik publik “sosialistis“ adalah barang suci dan tidak dapat diganggu gugat.
f. Kendatipun Undang-undang Dasar tidak menyebut-nyebutkan hak milik intelektual, namun pada tanggal 1 April 1985, bagaimanapun juga tampil ke permukaan dan diberlakukan suatu hak oktroi baru.
Adapun Pembagian bidang hukum di negara China pada masa kini adalah:
a. Hukum partai yang dimuat dalam statuta partai dan revolusi-revolusi partai. Dalam hal ini setiap individu harus tunduk pada ketentuan-ketentuan ini. Instansi partai tertinggi adalah Komite Sentral, yang mengendalikan negara dan masyarakat.
b. Hukum Tata Negara. Pengaturan bidang ini terdapat didalam Undang-undang Dasar dan didalam undang-undang pelaksanaannya. Undang-undang Dasar tahun 1982, yang diterima oleh Musyawarah Nasional, menguraikan asas-asas umum tatanan kenegaraan dan ekonomi, mengandung hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara, yang sama dimuka hukum dan mengatur struktur kenegaraan. Kekuasaan tertinggi berada di tangan Musyawarah Rakyat Nasional; dan
c. Hukum pemerintahan yang antara lain menetapkan statuta komite-komite penduduk.
d. Di dalam bidang hukum privat, hukum China ini membedakan antara orang-orang pribadi dan badan-badan hukum. Orang asing dilindungi dalam hak-hak dan kepentingan-kepentingan hukumnya. Didalam hukum keluarga suami-istri mempunyai hak-hak yang sama; undang-undang perkawinan tahun 1980 mengatur persyaratan-persyaratan pelaksanaan perkawinan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mengalir dari hal tersebut berikut syarat-syarat untuk perceraian. Anak-anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hak yang sama dengan anak-anak sah. Khusus untuk hukum perkawinan pada tahun 1950 pembuat undang-undang membuat suatu ketentuan yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan tradisional. Dalam hal ini perkawinan yang dipandanga sebagai permasalahan yang diatur oleh kepala-kepala keluarga. Kemudian diganti dengan ketentuan bahwa perkawinan haruslah didasarkan pada kehendak bebas para pihak dan hal itu harus diselenggarakan di hadapan pejabat catatan sipil. Suami dan istri mempunyai hak-hak yang sama dan berdasarkan alasan-alasan demogratif kepada para mitrakawaan ini diwajibkan mengikuti program keluarga berencana.
e. Di dalam pengaturan tentang eigendom UUD membedakan tiga bentuk eigendom, yaitu: hak milik negara, hak milik kolektif dan hak milik pribadi. Yang disebut pertama dan kedua meliputi tanah, sumber-sumber daya alam dan sebagian dari alat-alat produksi, sedangkan eigendom individual meliputi barang-barang kosumsi (rumah, perabot alat-alat rumah tangga, uang tabungan) dan alat-alat produksi seperti hewan penarik dan pengangkut beban. Hanya hak milik publik “sosialistis“ adalah barang suci dan tidak dapat diganggu gugat.
f. Kendatipun Undang-undang Dasar tidak menyebut-nyebutkan hak milik intelektual, namun pada tanggal 1 April 1985, bagaimanapun juga tampil ke permukaan dan diberlakukan suatu hak oktroi baru.
g. Di dalam bidang ekonomi
dijumpai perusahaan-perusahaan negara, kolektif dan individual, disamping
perusahaan-perusahaan campuran China dan mancanegara (perusahaan patungan) yang
diatur oleh sebuah perundang-undangan yang serba luas. Sejak tahun 1980
diadakan empat buah “Zone Ekonomi Khusus“ di bagian Selatan China, dimana
investor-investor asing memperoleh perlakuan istimewa berupa hak-hak privilese
yang berhubungan dengan perpajakan, impor-ekspor valuta asing, dan seebagainya.
h. Dalam bidang peradilan
dijumpai:
1) Komite-komite perantaraan
masyarakat, yang dibentuk oleh komite-komite penduduk, yang didalamnya duduk
hakim-hakim awam dan yang kurang menangani perkara perdata dan pidana;
2) Pengadilan-pengadilan rakyat
biasa maupun khusus dan pada puncak piramida peradilan, sebuah Mahkamah Agung
Rakyat;
3) Komisi-komisi arbitrase yang
terutama menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi;
4) Parket, yang mengawasi
pelaksanaan undaang-undang;
5) Ruang tempat pembela (balie),
yang terdiri dari advokat-advokat yang bekerja dibawah pengawasaan negara dan
wajib memberikan bantuan hukum.
6) Kekuasaan kehakiman meliputi hakim-hakim profesional, hakim-hakim awam dan hakim-hakim pembantu.
6) Kekuasaan kehakiman meliputi hakim-hakim profesional, hakim-hakim awam dan hakim-hakim pembantu.
7) Hukum acara di sidang
pengadilan berlangsung melalui dua instansi: pemeriksaan dan pemutusan perkara
dalam tingkat pertama dan dalam tingkat banding. Dan persidangan pengadilan
terbuka untuk umum. Namun, jumlah perkara tidak banyak: kebanyakan perkara
diselenggarakan terhadap apa yang disebut musuh-musuh rakyat dan
“residivis-residivis“, maupun dalam bidang hukum perkawinan.
6. SISTEM HUKUM JEPANG
Jepang merupakan salah satu Negara yang
menerapkan system Hukum Eropa Kontinental meskipun tidak keseluruhan. Prinsip
utama yang menjadi dasar system hukum
Eropa kontinental itu ialah “ hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena
mewujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun
secara sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu”. Prinsip dasar
ini dianut mengungat bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah
“kepastian hukum”. dan kepastian hukum hanya dapat diwujudkan kalau tindakan –
tndakan hukum manusia dalampergaulan hidup diatur dengan peraturan – peraturan
hukum yang tertulis. Dengan tujuan hukum itu dan berdasarkan sistem hukum yang
dianut, maka hakim tidak dapat leluasa untuk menciptakan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat umum. Hakum hanya berfungsi “ menetapkan dan menafsirkan
peraturan – peraturan dalam batas wewenangya”. Putusan seorang hakim dalam
suatu perkara hanya mengikat para pihak yang berperkara saja ( doktrin Res Ajudicata).
Jepang
merupakan sebuah negara yang telah berhasil melembagakan upaya perdamaian ke
dalam sistem peradilan negara. Pengalaman Jepang ini memberikan inspirasi bagi
Kelompok Kerja untuk mengadopsi beberapa konsep atau pendekatan upaya
perdamaian dalam sistem hukum Jepang untuk dituangkan ke dalam PERMA No. 1
Tahun 2008 setelah memperhatikan secara mendalam peluang-peluang yang
dimungkinkan oleh sistem hukum Indonesia.
Dalam PERMA, para pihak dibolehkan untuk
menggunakan jasa mediator lebih dari satu orang yang terdiri atas hakim dan
profesi lainnya yang dianggap memahami masalah pokok sengketa. Konsep ini
menyerupai dengan konsep Chotei dalam sistem hukum Jepang. Jika dalam PERMA No.
2 Tahun 2003, hakim pemeriksa perkara tidak dibolehkan menjadi mediator perkara
yang diperiksanya, sebaliknya dalam PERMA No. 1 Tahun 2008, hakim pemeriksa
perkara tidak dibolehkan menjadi mediator perkara yang diperiksanya jika
dikehendaki oleh para pihak atau atas dasar ketentuan Pasal 12 ayat (6).
Hakim
pemeriksa perkara boleh menjadi mediator dalam perkara yang diperiksanya
menyerupai dengan konsep Wakai dalam sistem hukum Jepang. Selanjutnya, dalam
sistem hukum Jepang dikenal konsep Sokketsu Wakai, yaitu perdamaian di luar
pengadilan dapat dimintakan pengesahannya kepada pengadilan. Konsep Sokketsu
Wakai memberikan inspirasi bagi Kelompok Kerja untuk mengadopsinya ke dalam
PERMA seperti yang dirumuskan dalam Pasal 24.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifin,Pipin.1999.Pengantar
Ilmu Hukum.Bandung:CV.Pustaka Setia
Tobing,M.L.2005.Sekitar
Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta:Erlangga
Arianto,Satya.2002.Pengantar
Perbandingan Sistem Hukum.Jakarta:RajaGrafindo Persada.
http://imankeluarga.blogspot.com/2007/03/kk03-memahami-hukum-gereja.html
http://www.pn-yogyakota.go.id/pnyk/component/content/article/39/596-inspirasi-prosedur-mediasi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar