Kabut
Pucat
By Salasiah
Dari kejauhan ku lihat kabut menyelimuti
dataran basah itu dan matahari pagi memancarkan cahayanya yang berkilau menerpa
jendela dan gedung-gedung kaca, tanpa disadari aku melangkah bagai mimpi ke
tempat itu, lalu duduk dibawah pohon Akasia tua. Di sekelilingku tampak
bunga-bunga kecil yang tumbuh bagai sekumpulan peri-peri kecil dan kurcaci yang
bersinar, yang ditemani oleh beraneka dedaunan kering yang terbaring dengan
lekukan tak beraturan.
Lalu mataku menerka lebih jauh,
kulihat tempat di ujung sana sangat jauh berbeda, hiruk pikuk kendaraan yang
tiada hentinya melaju di jalan meninggalkan kepulan asap-asap karbondioksida membuat
polusi udara. Bisingnya suara-suara dari knalpot kendaraan bermotor memekakan
telinga. Aku melihat sekeliling, ternyata tempatku berada hanyalah taman kecil
diantara gedung-gedung pencakar langit.
Aku menghela nafas panjang,
wangi bunga-bunga melati yang tadinya terhendus hidung kini berganti dengan
aroma busuk menyengat. Aku bangkit dari tempat ku dan melangkah tapak demi
tapak menyusuri trotoar berharap dapat menghirup udara pagi, tetapi semakin
jauh aku melangkah semakin tajam aroma tak sedap menusuk hidungku.
“ Akh…sampah.” Aku bergumam.
Tepat di tepi trotoar aku
berdiri, ku lihat tumpukan sampah bertimbun dan membentuk gunung kecil bagai
rumah hunian hantu. Aku bergegas berlalu dari tempat itu, tetapi beberapa meter
aku melangkah ku lihat lagi tumpukan sampah. Kenapa sampah selalu jadi
permasalahan?apakah tidak ada penanganannya? Yah..itu hanya pertanyaan klasik,
eksploitasi lahan untuk pembangunan perumahan dan gedung-gedung. Lalu ke mana
membuang sampah? Solusi akhir adalah aliran air seperti sungai. Akibatnya,
banjir.
Aku termenung sejenak sembari
memperhatikan beberapa batang pohon akasia dari jendela. Sinar matahari yang
mulai panas menerawang di celah daun-daun itu. Tetapi seolah pohon akasia itu
bergumam :
“Mereka telah merampas
lingkungan kita yang asri, mengambilnya tanpa harus menggantinya itulah yang
mereka pikirkan”
Ya mereka memang tidak mengganti
dengan hal yang lebih baik, tapi mereka menggantinya dengan pagar-pagar beton,
tidakkah mereka sadari? Walau diam, tetapi sebenarnya tumbuh-tumbuhan dan bumi
kita sedang menangis, meratapi polusi-polusi yang datang untuk membunuh mereka.
Bahkan es di kutub telah mencair, tak
ada lagi tempat tinggal bagi pinguin dan beruang kutub pada saat ini. Tak
mengherankan mereka tinggal kenangan keragaman satwa di ensklopedia.
Berbagai bencana alam yang
datang adalah bukti kemurkaan mereka, untuk mengingatkan pada kita tentang anugerah
Yang Maha Kuasa, bukankah itu artinya kita berutang budi pada alam?
Ingatkah beberapa tahun
silam, ketika kampanye ketahanan iklim sedang digembar – gemborkan, ketika
pemborosan energi telah terjadi, ketika pemborosan tersebut sekaligus
memberikan efek rumah kaca pada langit akibat gas pembuangan yang mengapung di
atmosfir memberikan efek rumah kaca terhadap daratan sejuta umat manusia di
dunia.
“Bagaimana mengembalikan bumi
ini menjadi surga kembali, tanpa harus ada yang berubah tapi akan membuatnya
terasa berbeda?”.
Janganlah menjadi manusia yang
egois, alam ini bukan hanya milik generasi kita, masih ada generasi – generasi
selanjutnya yang ingin merasakan kesejukan pepohonan, jangan ditebang
sembarangan, masih akan ada generasi yang ingin merasakan udara pagi yang sejuk
nan teduh, jangan cemari dengan asap kendaraan. Masih ada generasi yang ingin
merasakan keramahan hujan disaat musim panas, Masih ada generasi yang ingin
menikmati iklim yang stabil, bukan panas yang tinggi yang bergantian dengan
badai serta banjir yang melanda, akibat curah hujan yang menggila.
ijin ngopy dong
BalasHapusOk.Silahkan copy ya...
BalasHapusga bisa copy??
BalasHapusKak boleh ijin copy ndak?..
BalasHapusAdinda.
BalasHapusSilahkan dek..copy aja. Cuma gk bsa dicopas tuh. Pandai2 adek ja gmna copas nya.
Mantap cerpennya kak...
BalasHapusArhy Lembang46.
BalasHapusTrims dek.