PERAN HUMAN CAPITAL DALAM MENINGKATKAN
KINERJA PERUSAHAAN (Suatu Tinjauan Empiris dan Teoritis)
Penilaian kinerja perusahaan berbasis human
capital merupakan hal menarik yang perlu dikembangkan oleh perusahaan. Human
capital adalah salah satu komponen utama dari intellectual capital (intangible
asset) yang dimiliki perusahaan. Selama ini, penilaian terhadap kinerja
perusahaan lebih banyak menggunakan sumber daya yang bersifat fisik (tangible
asset). Menurut Mayo (2000:115), mengukur kinerja perusahaan dari
perspektif keuangan sangatlah akurat, tetapi sebenarnya, dasar penggerak nilai
dari keuangan tersebut adalah sumber daya manusia (human capital) dengan
segala pengetahuan, ide, dan inovasi yang dimilikinya. Selain itu, human
capital juga merupakan inti dari suatu perusahaan.
Penyebutan human capital untuk sumber daya
manusia (SDM) sepertinya belum banyak dianut oleh pelaku bisnis, sementara
peran SDM terhadap masa depan perusahaan sangat menentukan. SDM adalah capital
yang dapat terus berkembang seiring dengan waktu dan dinamika lingkungan
bisnis serta kemajuan dalam ilmu pengetahuan. Keunggulan SDM dibandingkan factor
produksi lainnya dalam strategi persaingan suatu perusahaan antara lain: kemampuan
inovasi dan entrepreneurship, kualitas yang unik, keahliaan yang khusus,
pelayanan yang berbeda dan kemampuan produktivitas yang dapat dikembangkan
sesuai kebutuhan. (Mathis, 2003: 76).
Perhatian terhadap sumber daya manusia atau human
capital sebagai salah faktor produksi utama bagi kebanyakan perusahaan
sering dinomorduakan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi yang
lain seperti modal, teknologi, dan uang. Banyak para pemimpin perusahaan
kurang menyadari bahwa sebenarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan berasal
dari human capital. Hal ini disebabkan karena aktivitas
perusahaan hanya dilihat dari perspektif bisnis semata. Para pemimpin
perusahaan tidak melihat perusahaan sebagai sebuah unit pengetahuan dan
keterampilan yang unik, atau seperangkat keunikan dari aset usahanya yang dapat
membedakan produk atau jasa dari para pesaingnya.
Menurut Mayo (2000:120), sumber daya
manusia atau human
capital memiliki
lima komponen yaitu individual
capability, individual motivation, leadership, the
organizational climate,
dan workgroup effectiveness. Setiap komponen memiliki peranan yang berbeda
dalam menciptakan human
capital perusahaan
yang akan menentukan nilai sebuah perusahaan. Oleh karena itu, mengingat peran SDM yang begitu besar
dalam perusahaan, maka, manajemen perusahaan
harus lebih proaktif menjadikan SDM-nya sebagai human capital yang perlu diberi perhatian dan
pengembangan secara terus menerus sesuai dengan
kedinamisan lingkungan bisnis. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan tinjauan ringkas, baik secara teoritis
maupun empiris terhadap peran SDM atau human capital dalam meningkatkan kinerja perusahaan.
Human Capital
OECD (1999:12) mendefinisikan intellectual capital sebagai nilai ekonomi dari dua kategori
intangible assets perusahaan, yaitu organizational and human capital. Wright et
al (2001:8) menyatakan bahwa intellectual capital adalah faktor yang terdiri dari human capital, social capital
and organizational capital.
Sementara Nahapiet dan Ghoshal (1998:20), intellectual capital berkaitan dengan “knowledge and knowing capability
of a social collectivity”,
sebagai suatu organisasi, komunitas intelektual, atau praktek profesional
(1998:245).
Menurut
Schermerhon (2005:33), human
capital diartikan
sebagai nilai ekonomi dari SDM yang terkait dengan kemampuan, pengetahuan,
ideide, inovasi, energi dan komitmennya. Human capital merupakan kombinasi dari pengetahuan, keterampilan, inovasi
dan kemampuan seseorang untuk menjalankan tugasnya, sehingga dapat menciptakan
suatu nilai untuk mencapai tujuan. Pembentukan nilai tambah yang
dikontribusikan oleh human
capital dalam
menjalankan tugas dan pekerjaannya akan memberikan sustainable revenue di masa mendatang bagi suatu organisasi (Malhotra dan Bontis
dalam Rachmawati dan Wulani 2004:17).
Menurut
Stewart (1998:45) dalam Sawarjuwono dan Kadir (2003:19) mengatakan bahwa human capital merupakan lifeblood dalam modal intelektual, sumber dari innovation dan improvement, tetapi komponen ini sulit untuk
diukur. Human
capital mencerminkan
kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki oleh orangorang yang ada dalam perusahaan tersebut
dan akan meningkat jika perusahaan mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki
oleh karyawannya.
Fitz-Enz
(2000:9) mendeskripsikan human
capital sebagai
kombinasi dari tiga faktor, yaitu: 1) karakter atau sifat yang dibawa ke
pekerjaan, misalnya intelegensi, energi, sikap positif, keandalan, dan
komitmen, 2) kemampuan seseorang untuk belajar, yaitu kecerdasan, imajinasi,
kreativitas dan bakat, dan 3) motivasi untuk berbagi informasi dan pengetahuan,
yaitu semangat tim dan orientasi tujuan.
Davemport
(1999:18) mendeskripsikan human
capital terdiri
atas empat hal: kemampuan, perilaku, usaha, dan waktu, yang dimiliki dan
dikendalikan sendiri oleh karyawan. Chen dan Lin (2003:45) menyatakan bahwa
pengeluaran perusahaan yang berhububungan dengan sumber daya manusia harus
dipandang sebagai investasi dalam human capital. Oleh karena itu, program training yang bertujuan untuk menambah value karyawan di masa depan harus dianggap
sebagai investasi.
Menurut
Wealtherly (2003:57), nilai perusahaan didasarkan atas tiga kelompok utama
aset, yaitu:
1. Financial asset, seperti kas surat-surat berharga yang
sering disebut
juga dengan financial capital
2. Physical asset, terdiri atas peralatan, gedung,
tanah, disebut juga
dengan tangible asset.
3. Intangible asset, yaitu organizational capital, seperti aliansi bisnis,
customer capital, merek, reputasi kualitas dan
pelayanan; dan intellectual
capital (paten,
desain produk, dan teknologi), goodwill,
dan human capital.
Edvinson,
Stewart, dan Sueby (dalam Burr dan Girardi, 2002:167) mengkategorikan Intellectual Capital terdiri dari dua elemen, yaitu human capital dan structural
capital. Namun,
yang terpenting adalah human
capital karena
aset inilah yang menentukan kesuksesan perusahaan dalam persaingan.
Pengukuran Human Capital
Pengukuran human capital bukan dimaksudkan untuk menentukan nilai
instrisik SDM, melainkan dampak perilaku SDM atas proses-proses organisasional.
Pengukuran ini penting dilakukan untuk mengetahui efektivitas strategi yang
dijalankan perusahaan terhadap seberapa besar kontribusi karyawan terhadap
peningkatan kinerja. Di samping itu, pengukuran SDM merupakan suatu manajemen
kinerja yang sangat penting dan alat untuk melakukan perbaikan. Menurut
Fitz-Enz (2000:267), bila tidak melakukan pengukuran SDM, maka, perusahaan
tersebut tidak akan dapat:
1. Mengkomunikasikan harapan kinerja
yang spesifik,
2. Mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi
dalam organisasi,
3. Mengidentifikasi gap kinerja yang harus dianalisis dan
dieliminasi,
4. Memberikan umpan balik dengan
membandingkan kinerja terhadap
standar,
5. Mengetahui kinerja yang harus diberi
reward,
6. Mendukung keputusan berkaitan dengan
alokasi sumber daya, proyeksi,
dan jadwal.
Dalam
lingkungan bisnis yang semakin maju, maka, perusahaan semakin banyak tergantung
pada intangible asset. Adanya pergeseran ini tercermin dalam
studi Brooking Instutution di Amerika Serikat yang meneliti 500 perusahaan
dalam kurun waktu 20 tahun terakhir (Wealtherly, 2003:71). Pada 1982, tangible asset merepresentasikan 62% nilai pasar perusahaan, turun menjadi
38% pada 1992. Studi terakhir yang dilakukan pada 2002 menunjukkan angka
penurunan yang semakin besar menjadi 15%, sementara 85% merupakan intangible asset yang menentukan nilai pasar
perusahaan.
Wealtherly
(2003:92) mengatakan terdapat dua kekuatan utama mengapa pengukuran human capital menjadi pusat perhatian utama di
komunitas bisnis. Pertama, kompetisi dalam lingkungan bisnis adalah akibat dari
globalisasi perdagangan dan perkembangan beberapa sektor kunci seperti
telekomunikasi, transportasi, dan jasa-jasa keuangan. Kedua, perkembangan
teknologi informasi yang sangat cepat terutama setelah kemunculan internet.
Kedua perkembangan ini secara dramatis telah merubah struktur bisnis dan
mendorong intangibles asset memegang peran yang kian penting bagi perusahaan.
Hubungan
Human Capital dengan Kinerja Perusahaan
Menurut Totanan (2004:245) sebuah perusahaan akan
menghasilkan kinerja yang berbeda jika dikelola oleh orang yang berbeda, oleh
karena itu, SDM yang berbeda dalam mengelola aset perusahaan yang sama akan menghasilkan
nilai tambah yang berbeda pula. Dapat disimpulkan bahwa tangible aset
yang dimiliki perusahaan bersifat pasif tanpa sumber daya manusia yang dapat
mengelola dan menciptakan nilai bagi suatu perusahaan. Beberapa penelitian
terakhir telah membuktikan keterkaitan antara kinerja perusahaan dengan proses
pengelolaan SDM di perusahaan.
Studi-studi empiris 1980-an memberikan hasil yang mixed
terhadap hubungan antara human capital dengan kinerja perusahaan.
Nkomo (1986, 1987:180) menguji hubungan antara perencanaan SDM dengan kinerja
bisnis, dan menemukan tidak ada korelasi di antaranya. Hasil ini juga didukung
oleh studi yang didasarkan atas survei (Delaney, Lewin and Ichniowski 1988, 1989:50)
yang menyimpulkan tidak ada hubungan antara praktek SDM dengan kinerja keuangan
perusahaan. Sementara studi-studi empiris 1990-an lebih banyak membuktikan
hubungan yang positif dan signifikan antara human capital dengan
kinerja perusahaan
Studi Guest
(2003:28), melakukan penelitian terhadap hubungan antara human capital dan kinerja perusahaan pada 366
perusahaan di Inggris. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan SDM lebih banyak
dikaitkan dengan tingkat turnover, maka, tenaga kerja yang rendah mampu
menghasilkan profit per tenaga kerja yang lebih tinggi, tapi produktivitasnya
rendah. Estimasi terhadap kinerja, memperlihatkan hubungan yang sangat kuat
antara SDM, kinerja produktivitas dan keuangan. Li dan Wu (2004:95) juga
membuktikan hubungan positif dan signifikan antara intellectual capital dengan kinerja perusahaan
Martina
(2008:269) melakukan penelitian pada kantor akuntan public untuk menguji apakah
individual capability dan the organizational climate – komponen dari human capital --- baik secara individual (parsial) maupun secara simultan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kinerja perusahaan kantor
akuntan publik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, individual capability berpengaruh signifikan terhadap kinerja
kantor akuntan publik. Kedua, the organizational climate berpengaruh signifikan terhadap kinerja
kantor
akuntan publik. Ketiga, individual capability dan the organizational climate berpengaruh signifikan terhadap kinerja
kantor akuntan publik. Pengujian juga membuktikan
bahwa individual
capability adalah
variabel yang mempengaruhi
kinerja kantor akuntan publik.
Secara individual, riset tentang SDM dan dikaitkan
dengan kinerja perusahaan telah dirintis sejak awal 1990-an. Bartel (1994:173)
menguji hubungan antara program pelatihan yang diadopsi dan pertumbuhan produktivitas,
sementara hubungan antara program pelatihan dan kinerja keuangan didukung oleh
Gerhart dan Milkovich (1992:384). Weitzman dan Kruse (1990:419)
mengidentifikasi hubungan antara skema kompensasi insentif dan produktivitas,
dan Terpstra dan Rozell (1993:62) menguji proses rekrutmen, seleksi uji
validasi dan penggunaan prosedur seleksi formal, juga menemukan hubungan dengan
profit perusahaan. Pada umumnya, penyeleksian dalam penyusunan staf mempunyai
hubungan positif dengan kinerja perusahaan (Becker dan Huselid 1992:20;
Schmidt, Hunter, McKenzie dan Muldrow, 1979:40). Evaluasi kinerja dan
keterkaitan dengan skema kompensasi telah diidentifikasi sebagai penyumbang
kenaikan dalam profitabilitas perusahaan
(Borman,
1991:294).
Studi
empiris yang terkait dengan hubungan intellectual capital dalam bentuk sumber daya pengetahuan (knowledge) dengan kinerja perusahaan antara lain
dilakukan oleh: Nonaka dan Takeuchi (1995:230), dan Zahra dan George (2002:23).
Nonaka dan Takeuchi (1995:230) menyatakan bahwa hanya perusahaan yang dapat
memproduksi pengetahuan baru secara berkelanjutan saja yang mampu mencapai
posisi lebih baik untuk memiliki competitive advantage.
Zahra dan George (2002:23) mengutarakan
model rekonseptualisasi yang menghubungkan antara sumber pengetahuan, absorptive capacity dan kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan keunggulan bersaing.
Keunggulan
kompetitif akan dicapai apabila sumber pengetahuan individu yang menjadi dasar
kekuatan dikelola dan dipelihara. Sebagaimana dikemukakan juga oleh Morling dan
Yakhlef (1999:89) bahwa yang akan menentukan kesuksesan perusahaan adalah
kemampuan perusahaan dalam mengelola aset pengetahuan. Perusahaan tidak dapat
menciptakan pengetahuan tanpa tindakan dan interaksi para karyawannya. Di
sinilah pentingnya perilaku para karyawan dalam melakukan knowledge sharing. Bollinger dan Smith (2001:146)
berpendapat bahwa perilaku manusia merupakan kunci kesuksesan atau kegagalan
sebuah strategi manajemen pengetahuan. Bagaimanapun, pengetahuan terletak pada
individu dan diciptakan oleh individu (Nonaka dan Takeuchi, 1995:240).
Pengetahuan akan memberi peran terhadap absorptive capacity apabila terjadi aktivitas pertukaran
pengetahuan di antara para karyawannya.
Hubungan
antara pelatihan dan pengembangan SDM dengan kinerja perusahaan antara lain
dilakukan oleh: Black dan Lynch, 1996; Garcia, 2005; dan Khatri, 2000.
Pengetahuan dan skill
karyawan dengan melalui aktivitas
pelatihan sangat penting dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Preffer
(1994:349) dan Upton (1995:78) menyatakan bahwa kesuksesan suatu perusahaan
dalam menghadapi persaingan pasar ditentukan oleh human capital, bukan physical capital, sehingga perusahaan dianjurkan untuk investasi dalam
berbagai pelatihan untuk meningkatkan sumber daya pengetahuan, keahliaan dan
kemampuan karyawan yang lebih baik dibanding dengan pesaing mereka. Oleh karena
itu, pengeluaran perusahaan dalam bidang pelatihan dan pengembangan SDM sangat
penting dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan keahlian dan
pengetahuan pekerja, agar mampu menciptakan keunggulan bersaing yang
berkelanjutan (Barney, 1991:24) dan memperbaiki kinerja perusahaan (Kozlowski
et al., 2000:91; Salas dan Cannon-Bowers, 2001:239).
Human Resource Management
Untuk
meningkatkan kinerja perusahaan, maka, diperlukan pengelolaan SDM yang lebih
efisien dan profesional. Di dalam menghadapi berbagai perubahan lingkungan
bisnis baik secara internal maupun eksternal, manajer SDM perusahaan dituntut
untuk dapat mengembangkan human
capital. Terdapat
enam elemen penting dalam pengelolaan SDM yang dapat memberikan dampak terhadap
kinerja bisnis dan sekaligus meningkatkan daya saing perusahaan secara
menyeluruh.
Rekrutmen dan Penempatan
Rekrutmen dan penempatan karyawan
adalah proses fundamental yang sangat penting bagi perusahaan. Langkah awal
adalah bagaimana perusahaan melakukan rekrutmen SDM dan penempatan yang tepat
pada bidangnya untuk mendapatkan orang-orang yang dapat membawa perusahaan
mencapai tujuan secara optimal. Rekrutmen SDM adalah proses identifikasi dan
penarikan karyawan yang potensial dilakukan perusahaan dari waktu ke waktu
dalam kegiatan operasional. Program rekrutmen dilakukan untuk mencari
orang-orang yang tepat dan memiliki talenta yang dianggap mampu mengisi posisi
lowong dalam berbagai level organisasi. keberhasilan perusahaan di masa depan sangat
tergantung pada rekrutmen SDM. Tidak mudah untuk memilih SDM yang tepat pada
tempat yang tepat. Oleh karena itu, baik secara langsung maupun tidak perlu
dilakukan proses pengujian dan penyaringan secara bertahap. Proses penyeleksian
SDM membutuhkan alat dan metode yang tepat agar dapat mengestimasi kualitas
calon karyawan. Oleh karena itu, pengujian yang akan dilakukan sudah diuji
validitas dan realibilitasnya.
Pelatihan dan Pengembangan
Pelatihan dan pengembangan SDM penting
dilakukan perusahaan untuk mengantisipasi perubahan lingkungan yang berubah
dengan cepat. Menurut Wexley dan Yukl (1976:282) “training and development are
terms reffering to
planned efforts designed
facilitate the acquisition of relevant skills, knowledge, and attitudes by organizational members”. Selanjutnya Wexley dan Yukl (1976:375)
menjelaskan pula “development
focusses more on improving the decision
making and human relation skills of middle and upper level management, while training involves lower level employees and the
presentation of more
factual and narrow subject
matter”.
Pendapat
Wexley dan Yukl tersebut memperjelas penggunaan istilah pelatihan dan
pengembangan. Mereka berpendapat bahwa pelatihan dan pengembangan adalah
istilah yang berhubungan dengan usaha-usaha terencana untuk mencapai penguasaan
atau skill, pengetahuan, dan sikap-sikap pegawai
atau anggota organisasi. Pengembangan difokuskan pada peningkatan kemampuan
dalam pengambilan keputusan dan memperluas hubungan manusia (human relation) bagi manajemen tingkat atas dan
tingkat menengah, sedangkan pelatihan dimaksudkan untuk pegawai pada tingkat
bawah (pelaksana).
Sjafri
Mangkuprawira (2004:83) pelatihan bagi karyawan merupakan proses mengajarkan
pengetahuan dan keahlian tertentu, serta sikap agar karyawan semakin terampil
dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik dan sesuai dengan standar.
Sementara, pengembangan memiliki ruang lingkup lebih luas. Salah satunya adalah
upaya meningkatkan pengetahuan untuk kepentingan di masa depan. Pengembangan
sering dikategorikan secara eksplisit dalam pengembangan manajemen, organisasi,
dan pengembangan individu karyawan. Penekanan lebih pokok adalah pada
pengembangan manajemen. Dengan kata lain, fokusnya tidak pada pekerjaan kini
dan mendatang, tetapi pada pemenuhan kebutuhan organisasi jangka panjang.
Manajemen Kerja
Biasanya,
perusahaan yang mampu menghasilkan kinerja yang tinggi memiliki SDM yang dapat
diandalkan dengan motivasi kerja yang kuat serta memiliki komitmen tinggi
terhadap pencapaian tujuan dan misi perusahaan. Dalam struktur organisasi
perusahaan, di semua lini, Manajemen kerja SDM dapat dilakukan untuk
meningkatkan kinerja perusahaan secara optimal. Tujuan yang diharapkan
perusahaan antara lain untuk mendapatkan informasi yang tepat terkait dengan
keputusan promosi ataupun kompensasi, dan evaluasi terhadap kinerja karyawan,
baik di tingkat bawah maupun manajerial. Oleh karena itu, diperlukan
keefektifan para manajer dalam menilai, mengatur, mengembangkan dan menghargai
kinerja karyawan, serta memberi umpan balik dan coaching yang berkesinambungan dalam menilai
kinerja dan mengelola konsekuensi dari kinerja buruk.
Bagi
perusahaan, keberadaan manajemen kerja memungkinkan terciptanya keterkaitan antara
tujuan perusahaan dan tujuan pekerjaan karyawan. Selain itu, manajemen kerja
memberikan argumentasi hukum yang relatif kuat untuk setiap keputusan yang
menyangkut SDM . Secara umum, implementasi manajemen kinerja yang efektif
mampu:
a. Mengkoordianasikan unit-unit kerja
yang ada dalam organisasi,
b. Mengidentifikasi dan
mendokumentasikan berbagai hambatan dan
permasalahan kinerja,
c. Menjadi landasan pengambilan
keputusan di bidang SDM,
d. Menjadi alat untuk mengefektifkan
manajemen SDM,
e. Menumbuhkembangkan kerjasama antara
atasan dengan bawahan,
f. Menjadi wahana penyampaian umpan
balik secara reguler kepada
bawahan,
g. Meminimalkan kesalahan dan
meniadakan kesalahan berulang.
Pengembangan Karir
Karir adalah serangkaian posisi jabatan
yang dimiliki seseorang sepanjang kehidupan kerjanya. Pengembangan karir adalah
usaha yang dilakukan secara formal dan berkelanjutan dengan fokus pada
peningkatan kemampuan manajerial seorang pekerja. Terdapat dua mekanisme untuk
memahami pengembangan karir dalam suatu perusahaan:
a. Carrer Management
Merupakan suatu mekanisme untuk
mewujudkan suatu kebutuhan SDM masa kini dan masa datang. Prosesnya mengarah
kepada bagaimana perusahaan mendesain dan melaksanakan program pengembangan
karir. Proses ini merupakan usaha formal yang terorganisir dan terencana untuk
mencapai keseimbangan antara keinginan karir individu dengan persyaratan tenaga
kerja perusahaan
b. Carrer Planning
Perencanaan seseorang untuk mencapai
tujuan-tujuan karirnya, hal ini merupakan usaha yang dilakukan seseorang dengan
sadar akan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya terhadap berbagai
peluang dan hambatan yang dihadapi.
Kompensasi dan Penghargaan
Untuk
mempertahankan dan meningkatkan kualitas SDM yang dimiliki, maka, perusahaan
dituntut untuk memberikan kompensasi dan penghargaan yang layak kepada
karyawannya. Sasaran yang diharapkan adalah mendorong daya saing perusahaan,
menyelaraskan sasaran kerja individu atau kelompok dengan sasaran perusahaan,
dan memperkuat perilaku positif terhadap para pelanggan. Bagi perusahaan,
keterlibatan karyawan dalam desain program kompensasi dan penghargaan,
penjelasan terhadap cara kerja sistem kompensasi dan penghargaan yang diberikan
perusahaan, penggunaan kombinasi imbalan finansial dan non-finansial serta komponen
kompensasi yang membedakan antara gaji pokok, insentif dengan gaji variabel
merupakan hal yang positif untuk meningkatkan partisipasi karyawannya.
Perencanaan
kompensasi perusahaan merupakan strategi yang terkait dengan suatu perusahaan
dalam memposisikan tingkat kompensasi yang diberikan dibandingkan dengan
pesaingnya. Selain itu, kompensasi juga menggambarkan bagaimana perusahaan
memberikan reward
kepada karyawan. Dengan perencanaan
kompensasi yang baik, diharapkan, karyawan akan dapat dipertahankan terutama
terhadap karyawan yang memiliki kinerja baik.
Budaya dan Lingkungan Kerja
Manajemen
perusahaan dituntut untuk memperbaiki budaya ataupun lingkungan kerja di dalam
perusahaan serta kemampuan perusahaan dalam mengelola perubahan. Kotter dan Heskett
(1997:678) menempatkan budaya organisasi sebagai faktor utama yang
mengondisikan faktor-faktor lainnya sehingga dapat dikatakan bahwa budaya
organisasi memiliki keterkaitan yang erat terhadap keberhasilan suatu
organisasi. Harvey dan Bowin (1996:508) dalam bukunya mengungkapkan, semakin
jelas terbukti bahwa hanya perusahaanperusahaan dengan budaya perusahaan
efektif saja yang dapat menciptakan peningkatan produktivitas, meningkatkan
rasa ikut memiliki dari karyawan, dan pada akhirnya meningkatkan keuntungan
perusahaan. Lebih jauh Robbins (1998:801) memerinci fungsi budaya organisasi
sebagai berikut: Pertama, budaya mempunyai suatu peran pembeda. Hal itu berarti
bahwa budaya organisasi menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi
dengan yang lain. Kedua, budaya organisasi membayar suatu rasa identitas bagi
anggota-anggota organisasi. Ketiga, budaya organisasi mempermudah timbul
pertumbuhan komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri
individual. Keempat, budaya organisasi itu meningkatkan kemantapan sistem
sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar