SARANA TATA USAHA
NEGARA LAINNYA
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT,
berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah yang berjudul “SARANA
TATA USAHA NEGARA LAINNYA.
Dalam
makalah yang kami
susun ini membahas tentang Sarana
Tata Usaha Negara (sarana hukum lainnya), peraturan-peraturan kebijaksanaan dan
bentuk perbuatan materil (ferilijke handelingen).
Dan
tidak lupa ucapan terima kasih kami sampaikan kepada segala pihak yang telah membantu kami
menyelesaikan makalah ini.
“Tidak ada
gading yang tak
retak”. Begitu pula dengan
kami, sehingga besar
harapan kami kritik dan
saran dari para
pembaca yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah yang
kami susun ini.
Semoga laporan ini
dapat bermanfaat bagi
para pembaca. Amiin ya
robbal alamiin.
Pekanbaru,
5
Mei 2013
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Administrasi
adalah sebuah istilah yang bersifat generik, yang mencakup semua bidang
kehidupan. Karena itu, banyak sekali definisi mengenai administrasi. Sekalipun
demikian, ada tiga unsur pokok dari administrasi. Tiga unsur ini pula yang
merupakan pembeda apakah sesuatu kegiatan merupakan kegiatan administrasi atau
tidak. Dari definisi administrasi yang ada, kita dapat mengelompokkan
administrasi dalam pengertian proses, tata usaha dan pemerintahan atau
administrasi negara.
Sebagai
ilmu, administrasi mempunyai berbagai cabang, yang salah satu di antaranya
adalah administrasi negara. Administrasi
negara juga mempunyai banyak sekali definisi, yang secara umum dapat dibagi
dalam dua kategori. Pertama, definisi yang melihat administrasi negara hanya
dalam lingkungan lembaga eksekutif saja. Dan kedua, definisi yang melihat
cakupan administrasi negara meliputi semua cabang pemerintahan dan hal-hal yang
berkaitan dengan publik. Terdapat
hubungan interaktif antara administrasi negara dengan lingkungan sosialnya. Di
antara berbagai unsur lingkungan sosial, unsur budaya merupakan unsur yang
paling banyak mempengaruhi penampilan (performance) administrasi negara.
Di dalam kehidupan sehari-hari orang
sudah mengetahui bahwa yang menjadi tujuan negara ialah: "Menciptakan
masyarakat adil dan makmur." Apa pun yang dilakukan oleh pemerintah dalam
rangka mencapai tujuan negara tersebut dikenal dengan istilah
"administrasi negara". Drs. Sukarna mengutip pendapat Prof. Leonard
D. White mengatakan bahwa secara definitif administrasi negara ialah:
"Segala pekerjaan yang bertalian dengan pencapaian tujuan atau pelaksanaan
kebijaksanaan negara." (Sukarna, 1974).
Penyelenggaraan
aktivitas administrasi negara sangat tergantung pada sarana administrasi
negara(sarana manajemen) yang tersedia. Ini berarti bahwa kelancaran
penyelenggaraan aktivitas administrasi negara ditentukan oleh jumlah dan
kualitas sarana administrasi negara yang diperlukan dalam pembangunan. Apabila
jumlah sarana administrasi negara tidak memadai dan apalagi kualitasnya rendah,
maka hal ini akan mengorbankan kepentingan pembangunan.
Tidak
dapat disangkal bahwa pada negara-negara yang sedang berkembang seperti negara
kita, pemanfaatan sarana administrasi negara dalam aktivitas pembangunan masih
merupakan masalah pokok yang harus dicari jalan pemecahannya.
Pemerintahan merupakan organ untuk menjalankan wewenang
yang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap rakyat. Meskipun jabatan
pemerintahan memiliki hak dan kewajiban/diberikan hak untuk melakukan kegiatan
hukum, pemerintah tidak dapat bertindak sendiri. Oleh karena itu diperlukan
suatu peraturan-peraturan dan sarana-sarana agar pemerintahan bisa menjalankan
hak dan kewajibannya dengan baik.
Dalam urusan usaha negara, pemerintahan merupakan tombak
utama dalam kegiatan tersebut, karena keputusan yang akan diambil atau
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu disini akan dijelaskan apa itu
peraturan perundang-undangan dan keputusan-keputusan tata usaha negara yang
memuat pengaturan yang bersifat umum. Agar kita mengetahui kenapa setiap
keputusan itu harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan. Kemudian di
dalamnya diperlukan sarana-sarana lain untuk menjalankan pemerintahan tersebut,
yaitu peraturan kebijaksanaan, rencana (het plan) untuk suatu tujuan yang baik,
perbuatan materiel sebagai pekerjaan pemerintah yang sebagian besar ditunjukkan
kepada usaha memenuhi kebutuhan nyata.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
masalah yang akan dibahas sebagai berikut : handelingen
1. Apa saja yang menjadi sarana Tata Usaha Negara ( sarana
hukum lainnya ) ?
2. Apa saja peraturan-peraturan kebijaksanaan?
3. Bagaimana bentuk perbuatan materil ( ferilijke handelingen
) ?
1.3
Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.
Untuk mengetahui apa
saja yang menjadi sarana Tata Usaha Negara yang lainnya.
2.
Untuk mengetahui apa
saja yang menjadi peraturan kebijaksanaan.
3.
Untuk mengetahui
bagaimana bentuk perbuatan materil ( ferilijke handelingen ).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Peraturan
Perundang-Undangan (Algemeen Verbindende Voorschriften) Dan Keputusan-Keputusan
Tata Usaha Negara Yang Memuat Pengaturan Bersifat Umum (Besluiten Van Algemene
Strekking)
Secara teoritis, istilah
perundang-undangan mempunyai dua pengertian, yaitu:
a) Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
b) Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
a) Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
b) Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Namun secara umum, Peraturan
Perundangan dapat didefinisikan sebagai sumber tata tertib hukum Republik
Indonesia. Menurut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) RI
Nomor XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR GR mengenai sumber Tata tertib hukum
Republik Indonesia dibuatlah tata urutan perundangan RI dengan istilah
peraturan perundangan. Sementara itu, beberapa produk undang-undang menggunakan
istilah Peraturan Perundang-Undangan selaku penamaan bagi semua hukum tertulis
yang dibuat dan diberlakukan dengan dasar UUD 1945. Namun dalam prosesnya
pengertian ini disempurnakan dengan apa yang tercantum dalam Pasal 1 Ketetapan
MPR Nomor III/MPR/2000 sehingga yang dimaksud dengan Sumber Hukum adalah sumber
yang dijadikan bahan untuk penyusunan perundang-undangan yang terdiri atas
sumber hukum tertulis dan sumber hukum tak tertulis, dimana Pancasila adalah
sumber hukum dasar nasional.
Selain itu Peraturan
Perundang-Undangan memiliki ciri-ciri berikut ini:
a) Bersifat umum dan komprehensif.
b) Bersifat universal.
c) Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki
dirinya sendiri.
Peraturan perundang-undangan itu
juga bersifat umum-abstrak, yang dicirikan oleh unsur-unsur diantaranya:
a) Waktu; tidak hanya berlaku pada saat tertentu.
b) Tempat; tidak hanya berlaku pada tempat tertentu.
c) Orang; tidak hanya berlaku pada orang tertentu.
TAP MPRS RI Nomor XX/MPRS/1966
mengemukakan berbagai bentuk peraturan perundangan menurut UUD 1945 (sebelum
amandemen) adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945
1. UUD 1945
3. UU dan Perpu
4. Peraturan Pemerintah
5. Keppres
6. Peratutan Pelaksana Lainnya Seperti Peraturan
Menteri, Instruksi Menteri, Dan Lain-Lain
Dimana Tap MPRS tersebut telah
diubah dengan Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang tata urutan
peraturan perundangan yang merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum
antara lain :
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Ketetapan MPR RI
3. UU
4. Perpu
5. Perpres
6. Kepres
7. Perda
Sehingga ketika Tap MPR Nomor
III/MPR/2000 disahkan maka Tap MPR Nomor XX/MPRS/1966 dianggap tidak berlaku
lagi. Dalam perkembangannya lahirlah UU Nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan
peraturan perundangan, berdasarkan jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan yang berisi tata urutan perundangan sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. UU atau Perpu
3. PP
4. Perpres
5. Perda (yang terdiri dari pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten dan peraturan desa/setingkat)
Dari pernyataan diatas dapat
disimpulkan bahwa tidak semua perundang-undangan dibuat badan legislatif. Pada
pasal 1 angka 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
9 Tahun 2004 merumuskan bahwa Peraturan Perundang-Undangan adalah semua
peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh badan
perwakilan rakyat bersama pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah, serta semua keputusan pejabat tata usaha negara dan atau badan baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang juga bersifat secara umum. Dari
rumusan pasal di atas dapat disimpulkaan bahwa keputusan dari badan atau
pejabat tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum (Besluit
Van Algemene Strekking) termasuk ke dalam Peraturan Perundang-Undangan
(Algemeen Verbindende Voorscriften). Bentuk Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
atau Besluit Van Algemene Strekking demikian tidak merupakan bagian dari
perbuatan keputusan dalam arti Beschickkingsdaad Van De Administratie tetapi
diklasifikasikan dalam perbuatan tata usaha di bidang pembuatan peraturan
(Regelend Daad Van De Administratie). Dalam Pasal 2 Huruf g Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 2004 secara tegas
menentukan bahwa keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang
bersifat umum (Besluit Van Algemene Strekking ) tidak termasuk Keputusan Tata
Usaha Negara dalam arti Beschikking yang mempunyai konsekuensi logis perbuatan
badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan yang merupakan
pengaturan yang bersifat umum tidak dapat diganggu gugat di hadapan hakim
Peradilan Tata Usaha Negara.
Pada umumnya pemerintah menetapkan
adanya deferensiasi bentuk untuk membedakan peraturan yang bersifat umum dan
peraturan yang bersifat Keputusan Tata Usaha Negara Beschikking. Dalam
implementasi di lapangan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat umum disebut
dengan judul Keputusan, seperti halnya keputtusan menteri, keputusan direktur
jenderal, keputusan gubernur. Sementara keputusan tata usaha negara yang
bersifat Beschikking diberi judul Surat Keputusan, seperti halnya surat
keputusan menteri, surat keputusan gubernur. Keputusan Tata Usaha Negara yang
bersifat Beschikking harus didasari dan selaras dengan peraturan perundangan
yang mendasarinya.
Pasal 53 Ayat 2 Huruf a dari UU
Nomor 5 tahun 1986 menentukan bahwa salah satu dasar pengujian (Toetsinggrond)
yang dapat digunakan seseorang atau badan hukum perdata untuk menggugat badan
atau pejabat negara di hadapan hakim Peradilan Tata Usaha Negara ketika
keputusan (Beschikking) yang dikeluarkan itu bertentangan dengan Peraturan
Perundangan yang berlaku. Peraturan perundangan-undangan yang dimaksud pada
Pasal 53 Ayat 2 Huruf b UU Nomor 5 Tahun 1986 termasuk pula keputusan tata
usaha yang bersifat umum (Besluit Van Algemene Strekking). Seperti halnya
dengan peraturan perundangan lainnya maka Keputusan Tata Usaha Negara yang
merupakan pengaturan yang bersifat umum dapat dijadikan sebagai salah satu
dasar hukum bagi dikeluarkannya surat keputusan.
2.2 Peraturan – Peraturan Kebijaksanaan (
Beleidsregels, Policy Rulers )
Peraturan
kebijaksanaan adalah peraturan umum yang dikeluarkan oleh instansi pemerintahan
berkenaan dengan pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara atau
terhadap instansi pemerintahan lainnya dan pembuatan peraturan tersebut tidak
memiliki dasar yang tegas dalam UUD dan undang-undang formal baik langsung
maupun tidak langsung.
Ciri-ciri peraturan
kebijaksanaan adalah sebagai berikut:
1. Peraturan kebijaksanaan bukan merupakan
peraturan perundang-undangan.
2. Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijaksanaan.
2. Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijaksanaan.
3. Peraturan kebijaksanaan tidak dapat
diuji secara wetmatigheid, karena memang tidak ada dasar peraturan
perundang-undangan untuk membuat keputusan peraturan kebijaksanaan tersebut.
4. Peraturan kebijaksanaan dibuat
berdasarkan freies Ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan
membuat peraturan perundang-undangan.
5. Pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diserahkan pada doelmatigheid sehingga batu ujinya adalah asas-asas umum pemerintahan yang layak.
6. Dalam praktik diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan.
5. Pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diserahkan pada doelmatigheid sehingga batu ujinya adalah asas-asas umum pemerintahan yang layak.
6. Dalam praktik diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan.
Peraturan kebijaksanaan dapat difungsikan secara tepat guna dan berdaya
guna, yang berarti:
1. Sebagai sarana pengaturan yang
melengkapi, menyempurnakan, dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada peraturan
perundang-undangan.
2. Sebagai sarana pengaturan bagi keadaan vakum peraturan perundang-undangan.
3. Sebagai sarana pengaturan bagi kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara patut, layak, benar, dan adil dalam peraturan perundang-undangan.
4. Sebagai sarana pengaturan untuk mengatasi kondisi peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan zaman.
2. Sebagai sarana pengaturan bagi keadaan vakum peraturan perundang-undangan.
3. Sebagai sarana pengaturan bagi kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara patut, layak, benar, dan adil dalam peraturan perundang-undangan.
4. Sebagai sarana pengaturan untuk mengatasi kondisi peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan zaman.
5.Tepat guna dan berdaya guna bagi kelancaran
pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi di bidang pemerintahan dan
pembangunan yang bersifat cepat berubah atau memerlukan pembaruan sesuai dengan
situasi dan kondisi yang dihadapi.
Sementara itu, penerapan atau
penggunaan peraturan kebijaksanaan harus memperhatikan hal-hal di antaranya:
1. Harus sesuai dan serasi dengan tujuan
undang-undang yang memberikan ruang kebebasan bertindak.
2. Serasi dengan asas-asas hukum umum yang
berlaku.
3. Sesuai dan tepat guna dengan tujuan
yang hendak dicapai.
2.3 Perbuatan Materil ( Fertelejke
Handelingen ; Factual Action ).
Van
Vollenhoven ( sebagaimana dikutip oleh W.F Prins, 1950:14) mengemukakan bahwa
suatu pekerjaan pemerintahan untuk sebagian besar ditujukan kepada usaha
memenuhi kebutuhan nyata, untuk sebagian bergerak di luar bidang hokum (
“bestuurwerkzaamheid” untuk sebagian besar merupakan “gericht ofde onmiddelijke
voorziening in concrete behoeften en spelt zich ten dele af sfeer van het
recht”) seperti halnya “materiele daden” berupa pemasangan jembatan atau
penyisihan rintangan-rintangan lalu lintas ( het upruimen van een
verkeersobstakel).
Perbuatan
materil dari badan Tata Usaha Negara dimaksud dikenal dengan nama feitelijke handeling. Belum terdapat
keseragaman istilah di kalangan pakar Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum
Administrasi di Indonesia berkenaan terjemahan dari “feitelijke handeling van
de overhead” itu.
Menurut
E. Utrect (1963:80) menggunakan
istilah “perbuatan yang bukan perbuatan hukum”
bagi penamaan feitelijke handeling dimaksud. Sedangkan menurut Kuntjoro Purbopranoto (1975:44, 1981 : 8) menterjemahkan
istilah feitelijke handeling dengan istilah “tindakan pemerintahan yang
berdasarkan fakta”. Sedangkan menurut Djenal Hoesen Koesoemahatmadja ( 1979 : 44)
menggunakan istilah “tindakan yang
bukan tindakan hukum” bagi fetelijke handeling.
Berarti
jelaslah bahwa feitelijke handeling yang dilakukan oleh badan tata usaha negara
atau pejabat tata usaha negara tidak termasuk “ recthshandeling van de
administratie”. Pada umumnya feitelijke handeling selalu dikemukakan sebagai
jenis perbuatan pemerintah yang berdiri sendiri dan ditempatkan secara terpisah
dari jenis pengelompokan perbuatan hokum (rechtshandeling) pemerintahan.
Van Wijk
et.al.(1984:160) secara garis besar membagi
overheidsbesluiten dalam dua kelompok besluiten, yakni : “m.b.t feitelijke handelingen”
dengan “rechtshandelingen”. Seadangkan Van Wijk.et.al (1984:201) mengkaji
beberapa putusan pengadilan tata usaha negara di Negeri Belanda berkenaan
dengan “besluiten gricht of feilijk handelin” itu. Disimpulkan bahwa “Volgens
constante jurispundentie is een besluit tot het verichten een feilijke
handeling of de weigering daarvan, niet gericht op rechtgevolg, tenjij er bijzondere,
bijkomende omstandigheden zijn”. Dikemukakannya beberapa contoh feitelijke yang
dipetik dari berbagai putusan pengadilan tata usaha negara di Belanda,a.l. Perbutan-perbuatan
tata usaha negara seperti halnya pemasangan suatu tegelpad (putusan Apdeling
Rechtspraak van de Raad van State, bertanggal 12 Juli 1978, Administratief
restelijke beslissing 433), perubahan banenstelsel dari Bandar udara Teuge
(putusan A.R bertanggal 26 Agustus 1977,A.B 421), penutupan jalanan lalu lintas
mobil berkenaan dengan pemasangan tiang-tiang beton (putusan A.R., bertanggal
26 Maret 1981, De Gemeenstem 6666).
Forsthoff
(sebagaimana dikutif oleh P.M Hadjon, 1987:2,3) membedakannya pula dalam dua
kelompok perbuatan, yakni : feitelijke en rechtshandeling”. Pembedaan yang
diberikan terhadap kedua kelompok perbuatan pemerintahan itu mengikuti
pembedaan oleh Waline atas
“operations purement materielles” dan acte jurideques” (Perancis).
Pada
umumnya pembedaan yang diberikan terhadap kedua perbuatan pemerintah itu
didasarkan pada terdapat atau tidaknya akibat hukum (rechtsgevolg) dari
perbuatan pemerintah yang bersangkutan. Dikemukakan bahwa feitelijke handeling
tidak melahirkan akibat hukum, sedangkan rechtshandeling justru dimaksudkan
untuk melahirkan akibat hukum.
P.de
Han et al (1986:113) menjelaskan pembedaan dari kedua bestuurhandelingen,
dimaksud berikut :
“
Kategori terakhir dari tindakan pemerintah adalah perbuatan materil dari penguasa.
Perbuatan ini dibedakan dari perbuatan, hukum bukan karena sifatnya yang “
fleitelijk” oleh karena dalam perbuatan hukum pun “fleitelijk” yaitu
“rechtsfeiten” . Perbedaan antara keduanya ialah bahwa dalam perbuatan hukum
ada maksud untuk untuk melahirkan akibat hukum. Sedangkan perbuatan materil
tidak punya maksud itu.
Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara maka terdapat kesan bahwa tidak mungkin
membawa suatu kasus feitelijke handeling ke hadapan Pengadilan Tata Usaha
Negara karena keputusan (beschikking) yang dimaksud pada ketentuan
Undanng-Undang Peradila Tata Usaha Negara itu memuat perbuatan hukum Tata Usaha Negara dan mensyaratkan timbulnya sifat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (pasal1
butir 3).
A.M Donner (1987: ) berpendapat bahwa beberapa feitelijke
handeling dari tata usasa negara seperti halnya pemasangan papan nama jalanan,
pengukuran tanah swasta guna pembangunan gedung-gedung pemerintah merupakan
perbuatan yang secara langsung menimbulkan akibat-akibat hukum rechtsgevolgen). Bukan tidak mungkin,
seseorang warga atau badan hukum swasta mengalami kerugian berkenaan feitelijke
handeling dari suatu upaya pembangunan yang dilakukan oleh tata usaha negara.
Ada kalanya feitelijke handeling merupakan onrectmatige overheidsdaad
(perbuatan penguasa yang melanggar hukum).
B.de Goede (seperti
dikutip oleh P.M Hadjon, 1987 : 3) memandang bahwa pembangunan jembatan
penyeberangan yang dilakukan pemerintah merupakan feitelijke handeling. Dalam
pelaksanaan pembangunan jembatan tersebut mungkin saja suatu perbuatan yang
onsrechtmatig.
De Haan
et al (1986 :113) menggarisbawahi
kemungkinan tersebut, seperti yang dikemukakannya sebagai berikut : kemungkinan
lain bahwa suatu perbuatan materil itu “rechtmatig” namun dapat menjadi dasar
pemberian ganti rugi. Berbeda dengan ganti rugi berhubungan dengan OOD, ganti
rugi berkenaan “rechtmatige overheidsdaad” belum ada peraturannya, hanya saja
secara secara insidental seperti pasal 49 Wet op de Ruimtelijke Ordening.
Maka
tidak dapat disangkal bahwa feitelijke handeling yang dilakukan berkenaan
dengan suatu upaya pembangunan tidak terlepas dari wewenang publik yang melekat
pada jabatan aparat pemerintahan/badan tata usaha negara. Wewenang public
dimaksud diadakan berdasar peraturan perundang-undangan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemerintahan merupakan organ untuk menjalankan wewenang
yang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap rakyat. Meskipun jabatan
pemerintahan memiliki hak dan kewajiban/diberikan hak untuk melakukan kegiatan
hukum, pemerintah tidak dapat bertindak sendiri. Oleh karena itu diperlukan
suatu peraturan-peraturan dan sarana-sarana agar pemerintahan bisa menjalankan
hak dan kewajibannya dengan baik.
Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara maka terdapat kesan bahwa tidak mungkin
membawa suatu kasus feitelijke handeling ke hadapan Pengadilan Tata Usaha
Negara karena keputusan (beschikking) yang dimaksud pada ketentuan
Undanng-Undang Peradila Tata Usaha Negara itu memuat perbuatan hukum Tata Usaha Negara dan mensyaratkan timbulnya sifat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
(pasal1 butir 3).
DAFTAR PUSTAKA
A.Siti
Soetami, 2005 .Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara.Aditama:Bandung
Boetomi.1994.Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara
Dalam Teori dan Praktek.Alumni:Bandung
Irfan
Fachruddin.2004.Pengawasan Peradilan
Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah.Alumni:Bandung
Hadjon,Philipus
M. 1994.Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia.Surabaya : Gadjah Mada University Press.
Goggle
Search :
http://jumaidi-eljumeid.blogspot.com/2009/09/sarana-sarana-tata-usaha-negara-lainnya.html
http://kerandamimpi.blogspot.com/2012/11/sarana-administrasi-negara.html
http://websiteayu.com/artikel/sistematika-hukum-perdata-materiil/
http://sukatulis.wordpress.com/2012/04/07/peraturan-kebijaksanaan-beleidsregels/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar