BAB
I
PENDAHULUAN
1.
1 Latar Belakang
Hukum Tata Negara pada dasarnya
adalah hukum yang mengatur organisasi kekuasaan suatu Negara beserta
segala aspek yang berkaitan dengan organisasi Negara tersebut. Setiap
negara di dunia ini memiliki hukum ketatanegaraan masing-masing.
Dalam hal ini, Negara-negara Timur
Tengah yang diketengahkan adalah Afghanistan, Arab Saudi, Armenia, Azerbaijan,
Bahrain, Iran, Iraq, Israil, Kuwait, Kyrgyzstan, Lebanon, Oman, Pakistan,
Palestina, Qatar, Syria, Tajikistan, Turki, Turkmenistan, Uni Emirat Arab,
Uzbekistan, Yaman, dan Yordania. Setiap dari negara-negara tersebut memiliki
bentuk ketatanegaraan yang berbeda-beda.
Renaisance yang terjadi di Eropa
membawa perubahan besar bagi konstelasi dunia. Perlahan bangsa-bangsa Eropa
mulai bersinar di kancah dunia. Portugis, Spanyol, Prancis, Inggris mulai
menjadi negara-negara yang berpengaruh dikancah politik dunia, menandingi
hegemoni dari khilafah Turki Utsmani, pewaris kekhilafahan Islam. Perlahan tapi
pasti terjadi penjelajahan dunia yang berujung kepada imperialisme dan
kolonialisme. Dan proses ini bersentuhan juga dengan kawasan Timur Tengah.
Di daratan Arab, wilayah Afrika
Utara merupakan wilayah yang pertama lepas dari kekhilafahan Turki Utsmani.
Aljazair merupakan negeri yang pertama kali lepas ketika tahun 1830, pasukan
Prancis mendarat dan 18 tahun kemudian negeri itu dideklarasikan sebagai bagian
dari wilayah Prancis. Tahun 1881, Prancis menguasai Tunisia, dan seperti
Aljazair diberikan status negara protektorat. Tahun 1901 Prancis menaklukan
Maroko. Tripolitania direbut oleh Italia dan menjadi negara Libya tahun 1934.
Kolonialisme tentunya melahirkan
pemikiran baru dalam khazanah perpolitikan negara jajahan. Sistem politik Islam
mendapatkan bandingan dari sistem politik yang dianut negara penjajahnya.
Setidaknya ada 2 respon yang muncul;
1. Menolak,
dengan anggapan sistem Islam sudah final. Dan sikap ini melahirkan perlawanan
secara total kepada negara penjajahnya.
2. Menerima,
tentunya berkat proses edukasi yang dilakukan negara penjajah terhadap warga
pribumi. Dan penerimaan ini bisa bersifat total, sampai mengadopsi penuh sistem
politik yang diterapkan negara penjajah. Juga dapat berupa penyesuaian dengan
sisa-sisa pemikiran Islam yang masih tinggal.
Lahirlah model sistem pemerintahan Republik, Kerajaan,
dengan berbagai variannya.
1.2 Pembatasan Masalah
Melihat luas dan banyaknya
negara-negara yang berada di Timur Tengah yang tidak mungkin penulis memuat
seluruhnya. Oleh sebab itu penulis membatasi masalah yang akan diuraikan dalam
makalah ini. Penulis mengambil salah satu negara Timur Tengah yaitu negara
Iran, alasannya karena penulis beranggapan bahwa Iran adalah salah satu negara
arab yang cukup kuat yang sepertinya telah di “ dicolek” oleh negara adikuasa.
Dari pembatasan masalah di atas maka penulis merumuskan masalah :
1. Bagaimana bentuk ketatanegaraan
negara Iran.
1.3
Tujuan dan Manfaat Penulisan
-
Mmemenuhi tugas UTS Hukum Tata Negara
- Sebagai bahan bacaan
bagi mahasiswa khususnya Prodi PPKn.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Gambaran Umum Negara Iran
Iran (atau Persia) (bahasa Persia: ایران) adalah sebuah negara Timur Tengah yang terletak di Asia Barat Daya. Meski di dalam negeri negara ini telah dikenal sebagai Iran sejak zaman
kuno, hingga tahun 1935 Iran masih dipanggil Persia di dunia Barat. Pada tahun 1959, Mohammad Reza
Shah Pahlavi mengumumkan
bahwa kedua istilah tersebut boleh digunakan. Nama Iran adalah sebuah kognat perkataan "Arya" yang berarti
"Tanah Bangsa Arya".
Iran berbatasan dengan Azerbaijan (500 km)
dan Armenia (35 km) di barat laut dan Laut Kaspia di utara, Turkmenistan (1000 km) di timur laut, Pakistan (909 km)
dan Afganistan (936 km) di timur, Turki (500 km) dan Irak (1.458 km) di
barat, dan perairan Teluk Persia dan Teluk Oman di selatan.
Nama resmi Iran yaitu Islamic
Republic of Iran ibukota Taheran dengan bentuk negara kesatuan yang terdiri
dari 31 provinsi.
Luas wilayah (km2) 1.648.000
dengan populasi Iran per tahun 2011adalah 78.868.711. Komposit
etnisnya 61% Persia, 16% Azeri, 10% Kurdi, 6% Lur, 2% Baloch, 2% Arab, 2%
Turkmen, dan 1% etnis lainnya. Bahasa yang dipraktekkan adalah Persia 53%
(bahasa resmi), dialek Azeri dan Turki 18%, Kurdi 10%, Gilaki dan Mazandarani
7%, Luri 6%, Balochi 2%, Arab 2%, dan lainnya 2%. Agama mayoritas Iran adalah
Islam yaitu 98%, sementara 2% nya adalah agama-agama lain seperti Zoroaster,
Yahudi, Kristen dan Baha'i.
2.2 Sistem Ketatanegaraan Iran
Sistem pemerintahan Iran adalah
Republik Islam yang telah disetujui oleh rakyat Iran, berdasarkan keyakinan
tradisional mereka dalam kaidah Tuhan dan keadilan Qur’an dan mengikuti
kemenangan revolusi mereka di bawah pimpinan marja’I taqlid agung
Ayatullah Imam Khomaini dengan mayoritas 98,2 % suara dari semua yang berhak
memilih dalam referendum yang diadakan pada tanggal 10 dan 11 Farvardin 1358
tahun Hijrah matahari (tanggal 1 dan 2 jumadilawal 1399 tahun Hijrah bulan; 30
dan 31 Maret 1979”. (UUD Republik Islam Iran, Bab I pasal 1)
Secara konstitusional Iran
adalah Negara yang berbentuk Republik Islam. Republik mengindikasikan sistem
pemerintahan, sedangkan Islam menjelaskan isi sistem tersebut. Artinya, sebagai
republik, Iran berarti memakai sistem demokrasi yang warga negara memiliki hak
untuk memilih pemimpinnya sejalan dengan konstitusi yang berlaku. Dan dengan
Islam, pemerintah mesti ditegakkan atas dasar ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip
islami dan digerakkan pada poros yang islami pula. Berdasarkan hal itu,
Republik Islam adalah sistem pemerintahan yang seluruh warga negaranya
mempunyai hak untuk memilih kepala Negara mereka untuk masa jabatan tertentu,
dan ajaran-ajaran serta prinsip-prinsip Islam menjadi inti dan dasarnya.
Republik Islam adalah istilah yang
mengandung arti nafi(penolakan) dan itsbat (penetapan) sekaligus.
Yang dimaksud nafi adalah meniadakan sistem penguasa yang menetapkan
masa jabatan untuk dirinya selama-lamanya, sedangkan itsbat berarti
menetapkan Islam dan tauhid sebagai isi republik tersebut.
Murtadha Muthahhari, salah satu
pioner penting Revolusi Iran, dengan keras mengkritik demokrasi ala
Barat sehingga baginya demokrasi atau sebuah Negara republik perlu ditegakkan
dengan panji dan nilai-nilai islami. Baginya, Republik Islam adalah khas dan berbeda
dengan demokrasi Barat, sebab demokrasi Barat abad ke-18 hanya berisi hak-hak
umat manusia untuk memperoleh penghasilan, makanan, dan pakaian, tetapi
melupakan hak-hak manusia yang berkaitan dengan akidah dan keimanan, serta
mengabaikan pula adanya inti kemanusiaan yang terdapat dalam keterbebasan
manusia dari belenggu naluri, lingkungan sosial dan alam sekitarnya, serta
berpegang pada prinsip, keimanan, dan tujuan hidup.
Dengan demikian Republik Islam Iran
(RII) merupakan Negara yang mengadaptasi sistem politik modern dan sistem
politik Islam sekaligus. Ini membuktikan bahwa Islam yang sempurna dan baku
bukanlah agama yang bisa usang hanya dimakan usia dan ketinggalan zaman
dikarenakan ide-ide yang senantiasa berubah dan berkembang. Hanya saja, yang
membuat unik dan khas bahkan asing, baik bagi sistem politik modern maupun
politik Islam, adalah konsep kepemimpinan ahli agama (ulama) dalam tata politik
Republik Islam Iran, yang disbut dengan konsep wilayah al-faqih.
Jadi, meskipun setelah revolusi pada
1979, para pengusung revolusi Islam di Iran dengan penuh kesadaran memilih
Negara Islam, akan tetapi tetap dengan mengadaptasi politik modern. Di satu
segi, hal ini jelas merupakan kenyataan bahwa para mullah di Iran, tidak
tertutup dari gagasan politik baru, dan sekaligus membantah tuduhan bahwa para
tokoh revolusi Iran bermaksud menarik Iran mundur kembali ke abad pertengahan.
Republik dipilih tentu karena bentuk pemerintahan ini dianggap bisa menjadi
wadah bagi pemahaman mereka tentang tata cara pengaturan negara modern yang
sejalan dengan konsep Islam mengenai masalah ini. Dengan
demikian, konstitusi Iran telah menciptakan negara dengan model Islam raja
filosof Plato, tetapi ia menempatkan pemimpinnya dalam sistem parlementer
modern.
Memang, pada awal revolusi, para mullah
lamban berpartisipasi dalam politik, dan sejumlah sarjana Amerika menyimpulkan
bahwa ulama “tidak pernah berpartisipasi secara langsung dalam struktur
pemerintahan “formal” karena mereka, dalam bahasa Mark Juergens Meyer, tidak
begitu cerdas untuk melakukannya atau memperjuangkan kepentingan itu.
Kebanyakan mullah puas dengan kembali kepada konstitusi demokratis tahun
1906 yang membolehkan peninjauan kembali untuk menjamin bahwa undang-undang
dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Tetapi Khomeini menghendaki
keterlibatan yang lebih aktif dari para ulama dan perubahan yang lebih
menyeluruh dari sistem politik lama. Beberapa politisi berpendidikan Barat yang
memimpin pemerintahan segera setelah revolusi, di antaranya Bani-Sadr, Mehdi
Bazargan, dan Sadeq Qotbzadeh, digantikan oleh ulama yang tidak terlalu
mengenal Barat. Tetapi sekalipun dengan keterlibatan mereka, menurut Meyer,
Iran bukanlah sebuah teokrasi.
Konsep republik, yang diterapkan
dalam Republik Islam Iran, telah dimodifikasi dengan konsep Wilayah
al-Faqih, atau pemerintahan para ulama. Modifikasi ini menyentuh tiga sendi
sistem republik, meliputi institusi-institusi yang biasa disebut sebagai Trias
Politika. Hal ini dirasa perlu, mengingat pada sistem ini konsep kepemimpinan
Islam – apakah itu namanya wilayah atau Imamah – tidak cukup
terwakili di dalamnya. Ada batas-batas, sebagaimana diatur menurut konsep Trias
Politika, yang di dalamnya kekuasaan eksekutif sepenuhnya ditundukkan terhadap
kekuasaan legislatif. Demikian pula, kekuasaan yudikatif mempunyai
batas-batasnya sendiri yang membuat mereka tidak leluasa menerapkan hukum Islam.
Mengenai dasar-dasar dan landasan
pemerintahan Iran dijelaskan secara detail dalam Undang-Undang dasar Iran,
terutama pasal 2 Konstitusi 1979 menyatakan :
“Republik
Islan Iran sebagai suatu sistem pemerintahan berdasarkan atas keyakinan
pada:[1] Tauhid, La ilaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah). Kemahakuasaan-Nya
dan Syari’at-Nya hanyalah milik-Nya semata-mata serta kewajiban menaati
perintahnya; [2] Wahyu ilahi dan peranan fundamentalnya dalam interpretasi
hukum; [3] Hari kebangkitan kembali dan peranan konstruktifnya dalam
penyempurnaan manusia terhadap Tuhan; [4] Keadilan Tuhan dalam menciptakan dan
menegakkan hokum agama; [5] Imamah dan kelanjutan kepemimpinan, serta
peranan fundamentalnya demi kelanggengan revolusi Islam; [6] Kemuliaan dan
nilai agung manusia serta pertanggungjawabanya dihadapan Tuhan yang menjamin
persamaan, keadilan dan kemerdekaan politik, ekonomi, dan kebudayaan maupun
persatuan dan solidaritas nasional melalui: a). Pelaksanaan lannggeng hukum
agama oleh ahli-ahli hukum agama yang memenuhi persyaratan atas dasar kitab
suci al-Quran dan hadits-hadits dari empat belas manusia suci, semoga Tuhan
memberkati mereka; b). Mengambil manfaat dari pengetahuan dan pengalaman
manusia yang sudah maju dan mengusahakan untuk lebih memajukannya lagi; c).
Menolak untuk menindas atau ditindas; mendominasi atau didominasi.” (UUD RII,
Bab I Pasal 2)
Dari isi pasal di atas telihat
pengaruh doktrin syiah dalam landasan konstitusional Negara Iran. Jika
dicermati dasar pertama sampai kelima yang disebutkan di atas adalah merupakan
lima dasar agama (ushuluddin) dari mazhab syiah yaitu, ketuhanan (tauhid),
kenabian sebagai penerima wahyu (an-Nubuwah), Kepemimpinan (Imamah),
keadilan (al-Adl), dan Hari Akhir (al-maad). Pasal tersebut di
atas juga memberikan indikasi pada kepemimpinan ulama yang memenuhi syarat yang
dalam tradisi fiqih syiah disebut marja’I taqlid, seorang mujtahid yang
telah mencapai gelar ayatullah, sedangkan dalam terminologi politik
disebut wali faqih atau wali al-amr muslimin.
Sebetulnya Wilayah al-Faqih
yang dijadikan sebagai konstitusi Iran dalam banyak segi mirip dengan
konstitusi negara-negara Barat yang termodern. Ia memuat jaminan terhadap
hak-hak sipil dan hak-hak minoritas, serta membagi tiga kekuasaan pemerintahan;
eksekutif, yudikatif dan legislatif, dan menentukan keseimbangan kekuasaan di
antara ketiga-tiganya. Presiden dan anggota-anggota dewan legislatif dipilih
oleh rakyat selama periode waktu terbatas.
Satu-satunya
ciri khas dari konstitusi ini, menurut sudut pandang Barat sekuler, adalah
desakan untuk menjadikan hukum Islam sebagai landasan yang menjadi sumber bagi
seluruh prinsip hukum dan peran ulama dalam membimbing para pembuat hukum agar
hukum yang dibuat mereka tidak melenceng. Konstiusi ini juga menentukan peran
yang luar biasa dari “pemimpin”. Pada awalnya, pasca Revolusi Iran, posisi ini
diamanahkan kepada Ayatullah Khomeini.
2.3 Lembaga-lembaga Tinggi Iran
Dalam sistem pemerintahan Iran,
kepemimpinan politik seperti juga pada Negara-negara lainnya berdasarkan pada
sistem trias politika, yaitu kepemimpinan eksekutif, legislative, dan
yudikatif. Hanya saja mendapat kodifikasi dan pengadaptasian melalui konsep wilayah
al-faqih yang menjadi dasar pemerintahan Iran. Dalam kesempatan ini akan di
bahas beberapa lembaga Negara yang menempati posisi-posisi penting dan
strategis di Iran.
2.3.1
Wali Faqih/Rahbar
Unik sekaligus khas, sesuai dengan
prinsip wilayah al-faqih, kepemimpinan tertinggi di Republik Islam Iran
berada di tangan seorang ulama yang disebut rahbar dan juga wali
fakih. Akan tetapi, dalam Wilayah
al-faqih bukanlah berarti bahwa yang berada di puncak pimpinan adalah
seorang faqih dan secara langsung menjalankan pemerintahan. Peran
seorang faqih dalam Negara Islam yang rakyatnya mengakui Islam sebagai
prinsip dan ideologinya adalah peran seorang ideolog dan bukan penguasa.
Kewajiban seorang ideolog adalah melakukan pengawasan terhadap sejauh mana
ideologi itu telah dilaksanakan secara benar.
Sepanjang revolusi konstitusi,
rakyat Iran tidak pernah memahami wilayat al-faqih sebagai penyerahan
kekuasaan dan pengaturan Negara nagara kepada para faqih. Sebab, selama
ini mereka memahami bahwa seorang faqih harus (bertugas) menentukan
tepat atau tidaknya seorang penguasa untuk dipilih, dan sejauh mana pula
kapasitasnya dalam melaksanakan undang-undang kenegaraan yang islami, karena
masyarakatnya adalah masyarakat Islam dan warga negaranya melaksanakan ajaran
Islam.
Sebagai pemegang mandat tertinggi
sebagai pemimpin religius dan politis, wali faqih memiliki peranan dan
wewenang besar dalam menjaga stabilitas politik dalam dan luar negeri Republik
Islam Iran. Besarnya wewenang faqih inilah, yang sering dijadikan sasaran
oleh para politikus Barat yang anti Islam (Iran) dan tidak memahami dengan
cermat sistem politik wilayat al-faqih untuk mengklaim Iran sebagai
Negara yang tidak demokratis, kasar, fundamentalis, tidak toleran, bahkan
sarangnya teroris. Mengenai kepemimpinan wilayat al-faqih, secara jelas
disebutkan dalam Pasal 5 Konstitusi Iran yang menyatakan :
“selama
gaibnya Hazrat Wali al-Asr (Shahib al-Zaman – yaitu
Imam Mahdi)– semoga Allah memeprcepat kedatangannya, wilayah dan
kepemimpinan umat berada di tangan faqih yang adil dan saleh, berakhlak
mulia, memahami benar keadan zamannya, berani, bijaksana, dan mampu memerintah;
serta diakui dan diterima sebagai pemimpin oleh mayoritas rakyat. Jika tidak
terdapat ahli-ahli agama atau ahli-ahli hokum agama yang memenangkan mayoritas
suara rakyat tersebut, pemimpin atau Dewan Pimpinan yang terdiri dari ahli-ahli
agama Islam dan ahli-ahli hokum agama Islam yang memenuhi persyaratan
sebagaimana tersebut di atas, akan diserahi tugas untuk memerintah atau
memimpin sebagaimana tercantum dalam pasal 107 Undang-Undang ini”. (UUD RII Bab
I Pasal 5)
Wali faqih diberi kekuasaan sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 110, sebagai komando kekuatan angkatan bersenjata
tertinggi, yang dilaksanakan dengan tindakan berikut ini: menunjuk dan memecat
Kepala dari seluruh staf, menunjuk dan memecat Komandan Staf Korps Pengawal
Revolusi Islam, membentuk sebuah Dewan Pertahanan Nasional Tertinggi, menunjuk
Komandan Tertinggi dari cabang-cabang Angkatan bersenjata dan mengumumkan
perang dan damai.
Supremasi faqih muncul pula
dalam kekuasaannya menyangkut pengangkatan dan pemecatan presiden. Ia
memberhentikan Presiden Republik demi kepentingan negara, setelah pengumuman
suatu penilaian/evaluasi oleh Mahkamah Agung yang membuktikan bahwa sang presiden
gagal memenuhi tugas-tugas legalnya, atau sebuah pemungutan suara dalam Majelis
Pertimbangan Nasional mengakui ketidakcakapan politis sang presiden.
Demikian juga, pemimpin mempunyai
kekuasaan untuk menunjuk dewan ulama yang mensahkan keputusan-keputusan dasar
hukum Islam, menujuk Mahkamah Agung, memberi pengampunan, menghukum atau
mengurangi hukuman, tetapi hanya setelah menerima rekomendasi dari Mahkamah
Agung.
Lebih
detil, dalam suatu referendum yang disetujui pada 1980 ada 10 tugas penting
Wali Faqih yakni :
- Mengangkat para fuqaha Dewan Perwalian, yang tugasnya adalah untuk mengawasi peraturan yang telah disepakati oleh majelis syura
- Mengangkat anggota Pengadilan Tinggi, yang merupakan otoritas pengadilan Negara yang paling tinggi
- Mengangkat dan memberhentikan komandan staf gabungan
- Mengangkat dan memberhentikan komandan Pengawal Revolusi
- Membentuk Dewan Pertahanan Tertinggi
- Mengangkat para komandan darat, laut, dan udara
- Mengumumkan perang dan damai serta memobilisasi kekuatan
- Menandatangani dekrit secara resmi pengangkatan mandataris setelah ia dipilih oleh rakyat
- Memberhentikan mandataris setelah pernyataan atas ketidaksanggupannya baik oleh pengadilan tinggi atau majelis syura
- Memaafkan para pelaku kejahatan atau mengurangi hukuman mereka atas rekomendasi pengadilan tinggi.
Tugas-tugas
diatas hanyalah sebagian, ada tugas-tugas yang tidak disebutkan dalam
konstitusi yang merupakan tugas wali faqih,diantaranya :
- Mengangkat para Imam Jumat
- Melaksanakan hudud dan takzirat
- Melakukan pengawasan atas orang-orang cacat, harta anak-anak yatim yang masih kecil, orang-orang gila dan orang-orang yang meninggal dunia tanpa ahli waris.
- Melaksanakan amr makruf dan nahi munkar
- Melakukan pengawasan terhadap harta rampasan
- Mengawasi khumus (Zakat 20%)
- Mengawasi tanah-tanah hasil rampasan perang
- Mengumpulkan pajak-pajak disamping pajak-pajak yang telah ditetapkan agama
- Mengumpulkan jizyah (pajak non muslim) dari orang-orang yang diwajibkan atasnya.
- Mengangkat bendahara untuk harta-harta yang dihibahkan untuk umum
- Mengumpulkan zakat dan membentuk panitia untuk mengurusnya
- Membuat persiapan untuk upacara pemakaman orang-orang meninggal tanpa ahli waris
- Mencegah penimbunan harta dan menetapkan harga-harga perdagangan
- Memanfaatkan barang-barang temuan (luqatahah)
- Mengeluarkan putusan-putusan kebangkrutan atas-atas orang-orang yang bangkrut (mencabut otoritas atas harta miliknya)
- Menceraikan istri yang suaminya menghilang atau gila
- Mendengar kata-kata l’ian dalam hal mula’anah
- Mengeluarkan putusan tentang rukyat hilal dan permulaan bulan yang dalam keraguan.
Meskipun hal-hal di atas
merupakan wewenang wali faqih (wali al-amr), namun tetap dapat
diwakilkan kepada yang lainnya untuk mengawasi agar tugas-tugas tersebut
dilaksanakan dengan tepat. Ia juga mendirikan kementrian secara terpisah untuk
memenuhi tugas-tugas tersebut, seperti membentuk biro wakaf, biro pengawasan
salat jumat, pengawasan anfal, dan sebagainya.
Jadi, Wali Faqih atau Rahbar
merupakan jabatan pemimpin tertinggi revolusi Islam Iran (Rahbar-e Enqelab-e
Jumhuri-e Islami-e Iran) yang membawahi semua institusi pemerintahan Islam
Iran termasuk presiden (eksekutif), parlemen (legislatif), pengadilan
(yudikatif), pasukan elit pengawal revolusi (IRGC), angkatan bersenjata, dan
pasukan relawan (basiij). Sejak meninggalnya Imam Khumaini pada tahun
1989 hingga saat ini, jabatan ini diduduki oleh Ayatullah al-Uzhma Sayid Ali
Khamenei, setelah dipilih oleh Dewan Ahli Rahbari (Majlise Khubregane
Rahbari) yang terdiri atas sejumlah ulama senior yang memahami masalah
kepemimpinan dalam Islam.
Wali faqih atau rahbar ini diangkat
oleh sebuah majelis ulama yang disebut Dewan Ahli (Majlis Khubregan; The
Assembly of Experts). Dewan ahli itu sendiri di angkat oleh rakyat melalui
pemilihan umum. Hal ini ditunjukkan oleh konstitusi Iran, di mana Pasal 107
menyebutkan, bahwa ahli-ahli yang dipilih rakyat akan menunjuk salah seorang faqih
yang memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin guna mengemban jabatan. Jika
tidak ada seseorang yang memenuhi persyaratan, Dewan Ahli yang sama akan
menunjuk tiga atau lima marja’’ yang memiliki persyaratan yang
diperlukan untuk membentuk Dewan Faqih. Dewan Ahli (Majlis-i
Khubregan) yang disebut-sebut dalam pasal ini beranggotakan 72 ahli hukum
Islam yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum yang khusus dipersiapkan
untuk tujuan ini.
“After the demise of the eminent
marji‘ of taqlīd, great Leader of the universal Islamic revolution, and the
founder of the Islamic Republic of Iran, Ayatollah al-’Uẓmā Imam Khomeini
(quddisa sirruh al-sharif) who was recognized and accepted as marji‘ and Leader
by a decisive majority of the people, the task of appointing the Leader shall
be vested with the experts elected by the people. The experts will review and
consult among themselves concerning all the faqīhs possessing the
qualifications specified in Articles 5 and 109. In the event they find one of
them better versed in Islamic regulations and the subjects of the fiqh, or
political and social issues, or possessing general popularity, or special
prominence for any of the qualifications mentioned in Article 109, they shall
elect him as the Leader. Otherwise, in the absence of such superiority, they
shall elect and declare one of them as the Leader. The Leader thus elected by
the Assembly of Experts shall assume the wilāyat-e-’amr and all the
responsibilities arising therefrom. The Leader is equal to the rest of the
people of the country before the law.” (UUD RII Pasal 107)
Kekuasaan Eksekutif : Presiden
The
functions of the executive, except in the matters that are directly placed
under the jurisdiction of the Leader by the Constitution, are to be exercised
by the president and the ministers (UUD RII Pasal 60).
2.3.2 Kekuasaan Eksekutive :
Presiden
Pemimpin yang menempati psosisi
tertinggi selanjutnya di Iran adalah presiden. Presiden memegang otoritas
tertinggi Negara yang bertanggungjawab untuk mengimplementasikan konstitusi dan
sebagai kepala pemerintahan untuk menjalankan kekuasaan eksekutif. Ia dipilih
setiap empat tahun sekali.Tugas-tugas pokoknya adalah menjadi kepala
pemerintahan, menjalankan konstitusi Negara, dan mengkoordinir lembaga tinggi
negara yakni eksekutif, legislative, dan yudikatif. Presiden merupakan pejabat
tertinggi Pemerintah Iran dalam hubungan dengan dunia internesional. Ia menandatangani
seluruh perjanjian. Dan ia juga berhak mengangkat Perdana Menteri setelah
Parlemen memberikan persetujuannya. Kapan saja ia meminta kabinet untuk
bersidang, langsung di bawah pimpinannya.
Secara teoritis, kandidat-kandidat
presiden yang dicalonkan di Iran haruslah terlebih dahulu disaring oleh rahbar
dan majelis mudarrisin sebelum nama mereka disiarkan oleh Dewan
Pelindung Konstitusi. Seorang kandidat presiden harus memenuhi beberapa
persyaratan yang ditetapkan oleh konstitusi Iran seperti asli Iran, warga
Negara Iran, memiliki kemampuan administrasi dan kepemimpinan, memiliki masa
lalu yang baik, beriman, dan teguh pada landasan Republik Islam Iran dan mazhab
reami Negara. Setelah lulus seleksi, maka diumumkanlah kandidat dan ditetapkan
sebagai calon presiden. Kemudian diadakanlah pemilihan umum yang diikuti oleh
seluruh rakyat Iran untuk memilih presiden dari calon-calon tersebut. Calon
yang mendapatkan suara mayoritas rakyat, maka ditetapkan sebagai presiden untuk
masa jabatan empat tahun. Dan jika masa jabatannya telah habis, ia
diperbolehkan mengikuti pemilihan presiden sekali lagi. Hal-hal tersebut di
atas disebutkan secara eksplisit di dalam UUD Iran :
“Presiden dipilih secara langsung
oleh rakyat untuk masa jabatan empat tahun. Dia secara berturut-turut
diperbolehkan mengikuti mengikuti pemilihan kembali sekali lagi.” (UUD RII
Pasal 114)
“Presiden harus dipilih di antara
tokoh agama dan politisi yang memiliki kualifikasi sebagai berikut: asli Iran,
warga negara Iran, memiliki kapasitas administrasi dan kepemimpinan, memiliki
masa lalu yang baik, jujur, bertakwa, beriman, dan berpegang teguh pada
landasan Republik Islam Iran dan mazhab resmi Negara.” (UUD RII Pasal 115)
“Kandidat presiden akan secara resmi
mengumumkan pencalonan mereka sebelum pergelaran pemilihan. Perlengkapan yang
berhubungan dengan kebutuhan pemilihan presiden ditetapkan sesuai peraturan
yang berlaku. (pasal 116)
Proses pemilihan umum yang
dilangsungkan untuk menetapkan presiden melalui suara terbanyak merupakan
elemen penting demokrasi. Jika dalam putaran pertama tidak ada kandidat yang
mendapatkan suara mayoritas, maka diadakan pemilihan putaran kedua. Hanya dua
kandidat yang memiliki suara terbanyak pada putaran pertama yang berhak
mengikuti pemilihan pada putaran kedua. Dan siapa yang memperoleh suara
mayoritas maka ialah yang terpilih dan ditetapkan sebagai presiden.
Dalam lembaga eksekutif, Presiden di
bantu oleh para menteri yang di seleksi dan diangkat oleh parlemen. Saat ini
ada sekitar 32 pembantu presiden dengan susunan sebagai berikut :
- Wakil Presiden (First Vice President)
- Wakil presiden dan Kepala Organisasi Pendidikan Fisika (Vice President & Head of the Physical Education Organization)
- Wakil Presiden dan Kepala Organisasi Energi Atom (Vice President & Head of Atomic Energy Organization)
- Wakil Presiden dan Kepala Organisasi Manajemen dan Perencanaan (Vice President & Head of Management and planning Organization)
- Wakil Presiden Bidang Pengesahan dan Urusan Perlementer (Vice President for Legal & Parliamentary Affairs)
- Wakil Presiden dan Kepala Organisasi Perlindungan Lingkungan (Vice President & Head of Environmental Protection Organization)
- Wakil Presiden dan Kepala Organisasi Kepemudaan (Vice President & Head of National Youth Organization)
- Wakil Presiden dan Kepala Warisan Budaya dan wisata (Vice President & Head of Cultural Heritage & Tourism Organization)
- Wakil Presiden dan Kepala Urusan Jihad dan Pengorbanan (Vice President & Head of Martyrs and self sacrifice’s Affairs Foundation)
- Wakil Presiden Bidang Urusan Eksekutif (Vice President for Executive Affairs)
- Kepala Kantor Kepresidenan
- Menteri Perdagangan (Minister of Commerce)
- Menteri Kehakiman (Minister of Justice)
- Menteri Dalam Negeri (Interior Minister)
- Menteri Perumahan dan Pengembangan Perkotaan (Minister of Housing & Urban Development)
- Menteri Komunikasi dan Informasi Teknologi (Minister of Communication & Information Technology)
- Menteri Energi (Minister of Energy)
- Menteri Kesehatan dan Pendidikan Medis (Minister of Health Medicine & Medical Education)
- Menteri Pertahanan dan Keamanan (Minister of Welfare and Social Security)
- Menteri Perhubungan dan Transportasi (Minister of Roads and Transportation)
- Menteri Industri dan Pertambangan (Minister of Industries & Mines)
- Menteri Agrikultural (Minister of Agricultural Jihad)
- Menteri Sosial (Minister of Labor and Social Affairs)
- Menteri Luar Negeri (Minister of Foreign Affairs)
- Menteri Kebudayaan dan Keagamaan (Minister of Culture & Islamic Guidance)
- Menteri Sains, Riset, dan Teknologi (Minister Of Science, Research & Technology)
- Menteri Pendidikan (Minister of Education)
- Menteri Ekonomi dan Keuangan (Minister of Economy and Finance)
- Menteri Intelegen (Minister of Intelligence)
- Menteri Perminyakan (Petroleum Minister)
- Menteri Pertahanan dan Logistik (Minister of Defense & Logistics)
- Menteri Koperasi (Minister of Cooperatives)
2.3.3 Kekuasaan Legislatif :
Parlemen
Parlemen merupakan pemegang
kekuasaan legislatif dalam sistem politik modern, dan menjadi syarat negara
demokratis. Kekuasaan ini terpisah dari eksekutif untuk menjaga keseimbangan
kekuasaan (balances of power), dan diberi tuga umumnya sebagai pembuat
undang-undang.
Begitu pula dalam pemerintahan RII.
Parlemen menjadi salah satu bagian integral dari Negara yang memiliki kedudukan
setingkat lembaga eksekutif dan bertanggung jawab atas ketetapan dan pembuatan
undang-undang di Iran. Hanya saja setiap produk undang-undang yang mereka
rumuskan haruslah diuji oleh Dewan Pelindung Konstitusi untuk mendapatkan
legalitas tentang kesesuaiannya dengan syariat Islam. Jadi, selain parlemen
yang memang memiliki tugas berkenaan dengan undang-undang Negara, maka ada
beberapa lembaga penting yang terkait dengan pembuatan dan pengujian
undang-undang, diantaranya :
1. Dewan Pelindung Konstitusi (Guardian Council)
“With
a view to safeguard the Islamic ordinances and the Constitution concerning the
compatibility of the legislation passed by the Islamic Consultative Assembly
with Islam, a council to be known as the Guardian Council is to be constituted
with the following composition: 1). six just faqīhs aware of the present needs
and the issues of the day to be selected by the Leader, and 2). six jurists,
specializing in different areas of law, to be elected by the Islamic
Consultative Assembly from among the Muslim jurists nominated by the Head of
the Judiciary.” (UUD RII Pasal 91)
Menurut buku panduan yang
dikeluarkan Kementerian Kebudayaan dan Panduan Islam Iran (2005), Dewan
Pelindung merupakan salah satu lembaga negara yang paling penting dan berada di
bawah pengawasan langsung dari pemimpin tertinggi. Lembaga Dewan Pelindung
dibentuk dengan tujuan untuk melindungi aturan-aturan Islam dan konstitusi.
Dewan terdiri dari 12 anggota; enam di antaranya adalah para ahli hukum (Islam)
yang telah mencapai gelar ayatullah dan enam lainnya adalah ahli hukum
biasa yang diusulkan oleh Dewan Pengadilan Tinggi dan disetujui parlemen.
Otoritas tertinggi dalam lembaga ini berada di tangan para ayatullah,
yang ditunjuk oleh Pemimpin Tertinggi, kini adalah Ayatullah Khamenei, untuk
masa bakti selama enam tahun.
Dewan Pelindung konstitusi ini
memiliki posisi penting dan menentukan dalam pembuatan undang-undang Negara.
Tanpa persetujuan Dewan ini, seluruh kegiatan parlemen tidaklah sah.
Saran-saran dari Dewan ini harus dituruti dan bila tidak dilaksanakan, maka
seluruh keputusan parlemen akan batal. Selain itu, tugas utama Dewan Pelindung
Konstitusi adalah melindungi Islam, melaksanakan referendum-referendum,
pemilihan presiden dan pemilihan anggota parlemen.
Sebagai lembaga yang bertugas
mengawasi konstitusi, pembuatan dan pelaksanaan undang-undang, maka
interpretasi Dewan Pelindung Konstitusi terhadap undang-undang menjadi acuan
penting, sebab, dalam kondisi apapun, kehormatan konstitusi dan undang-undang
mesti dijaga. Jika terjadi masalah dalam interpretasi undang-undang sehingga
menimbulkan perselisihan yang akan terkait dengan kemaslahatan publik, maka hal
itu akan diselesaikan dengan intervensi pemimpin revolusi (wali faqih).
2. Dewan Permusyawaratan Islam (Syura-ye
Negahban; Islamic Consultative Assembly)
Untuk mengawasi perundang-undangan
Negara agar tidak menyimpang dari ajaran Islam, maka di Iran di bentuk sebuah
Dewan Wali yang terdiri dari ulama yang beranggotakan 270 orang. Lembaganya
disebut Syura-ye Negahban yang anggotanya para faqih,
dan dipilih oleh rakyat secara pemilihan umum.
Tugas Dewan ini adalah menguji
undang-undang yang dibuat oleh parlemen; apakah undang-undang itu bertentangan
dengan kehendak Tuhan atau tidak? Kadang-kadang, mereka juga membuat rancangan
undang-undang, yang sumbernya adalah syariat Islam, lalu disodorkan kepada
parlemen untuk dirumuskan ke dalam peraturan yang lebih spesifik dan praktis.
Dengan demikian, untuk menjadi sebuah hukum positif diperlukan pengesahan dari
Dewan ini. Meskipun demikian, lembaga ini bukanlah legislatif.
2.3.4
Kekuasaan
Yudikatif : Kehakiman
Ciri demokrasi berikutnya adalah
sistem peradilan yang independen. Perlunya pengadilan dilandaskan pada tiga
hal, yaitu:
- Manusia merupakan makhluk sosial
- Banyaknya terjadi konflik dan perbedaan
- Perlunya menetapkan aturan umum untuk mengurai perbedaan.
Agar dapat mempertahankan
tatanan sosial dan menjaga kesatuan sosial, perbedaan harus dihilangkan dengan
merujuk pada keputusan Allah dan Rasul-Nya sebagai penengah dalam sengketa.
Pengadilan merupakan jaminan bagi penerapan suatu sistem peraturan yang adil
dan untuk mencegah penyimpangan dalam urusan-urusan social. Ia membutuhkan
penempatan segala sesuatu secara tepat, kembalinya semua hak kepada pemiliknya,
dan setiap orang memperoleh haknya.
Dalam negara demokratis, lembaga
peradilan harus idependen sehingga dapat melindungi rakyat dari
kesewenang-wenangan antar sesamanya atau antar rakyat dengan pemerintah. Untuk
menjamin independensi pengadilan, lembaga peradilan (yudikatif) dipisahkan
dengan lembaga eksekutif dan legislatif sehingga eksekutif tidak dapat
mengintervensi pengadilan. Selain itu jaminan konstitusi atas hal tersebut
merupakan sesuatu yang niscaya. Undang-undang harus dengan tegas memberi
jaminan terhadap rasa adil masyarakat.
Konsep Wilayah al-Faqih dalam
Republik Islam Iran telah memberikan sistem peradilan yang independen. Lembaga
peradilan dalam menjalankan tugasnya mengacu pada konstitusi yang bertugas
mengusahakan terciptanya keadilan untuk setiap orang. Bab III Pasal 34
Konstitusi Iran Menyebutkan:
“Mengusahakan terlaksananya keadilan
adalah hak setiap orang yang tidak dapat diperdebatkan lagi, dan untuk tujuan
ini, semua orang berhak untuk mengajukan perkaranya kepada pengadilan yang
berwenang. Pengadilan tersebut harus terbuka bagi semua orang dan tak seorang
pun akan dilarang untuk menempuh jalan lain untuk mengambil tindakan yang sah
sesuai dengan haknya menurut undang-undang. (UUD RII Bab III Pasal 34).
Dalam menjalani proses peradilan, di
mana pihak yang berperkara tidak sanggup menyewa pengacara, konstitusi menjamin
haknya dengan menyediakan biaya yang dibutuhkan. Pasal 35 menyebutkan :
“Di dalam semua pengadilan, kedua
belah pihak yang bersengketa berhak untuk mengangkat seorang pengacara dan jika
mereka tidak mampu membiayai, mereka akan diberi sarana untuk mengangkat dan
membayar seorang pengacara.” (UUD RII Pasal 35).
Konstitusi juga menjamin keselamatan
seseorang dalam menjalani proses peradilan. Penyiksaan dan pemaksaan merupakan
sesuatu yang terlarang :
“Setiap penyiksaan untuk membuat
orang mengaku atau untuk memperoleh keterangan adalah dilarang. Memaksa
seseorang untuk menjadi saksi, mengakui atau bersumpah tidak akan diizinkan dan
kesaksian pengakuan serta sumpah semacam itu adalah tidak sah. Pihak yang
melanggar pasal ini akan dihukum menurut undang-undang.” (UUD RII Pasal 38).
Azas praduga tak bersalah pun
menjadi salah satu sifat peradilan di Iran. Hal ini ditunjukkan oleh
undang-undang dengan menyatakan bahwa semua orang dianggap tidak bersalah di
mata hukum sampai kesalahannya dibuktikan oleh pengadilan yang berwenang. Bahkan, seseorang yang ditahan sekalipun mesti
tetap dihormati dengan sepantasnya dan dilarang dihina atau dikucilkan dari
pergaulan, karenanya tindakan tersebut tidak dibenarkan dan yang melakukannya
akan dapat ditindak secara hukum, Bab III Pasal 39 menyatakan:
“Menjelek-jelekkan kehormatan dan
nama baik seseorang yang ditahan, dipenjara atau diasingkan menurut hukum tidak
diperkenankan sama sekali dan dapat dikenakan hukuman.” (UUD RII, Bab III,
Pasal 39)
Kemudian untuk pelaksanaan hukum
tersebut, dibentuklah sebuah dewan yang disebut Dewan Kehakiman Agung, yang
terdiri dari tiga unsur yaitu : Ketua Mahkamah Agung Kasasi, Penuntut Umum
Negara, dan Tiga Hakim adil yang berpengalaman dalam ilmu agama dan hukum agama
yang diangkat oleh pengadilan Negara. Anggota-anggota dewan dipilih untuk masa
jabatan lima tahun dan boleh dipilih kembali jika memenuhi syarat yang
ditentukan undang-undang. Selain ketiganya, ada pula Kementrian Kehakiman yang
menjadi penguasa resmi Negara untuk mengusut pengadilan dan
pengaduan-pengaduan. Menteri Kehakiman diangkat dari calon-calon yang diusulkan
oleh Dewan Kehakiman Agung kepada Perdana Menteri, yang mana ia bertanggung
jawab atas semua persoalan mengenai hubungan kekuasaan kehakiman dengan
kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Dewan Kehakiman Agung yang merupakan
kekuasaan kehakiman tertinggi, bertanggung jawab untuk menjaga
terimplementasinya keadilan dan jaminan penerapan hukum di masyarakat. Dewan
Kehakiman Agung ini, mendapat amanah konstitusi dengan tiga tugas penting :
- Membentuk organisasi-organisasi kehakiman
- Menyiapkan rancangan undang-undang kehakiman sesuai dengan asas-asas Republik Islam
- Merekrut hakim-hakim yang cakap dan adil, mengatur pengangkatan dan pemberhentiannya, pennjukkannya dalam jabatan-jabatan kehakiman dan kenaikan pangkat serta urusan administrasi dengan cara yang sah menurut hukum.
Adapun secara lebih detail,
Undang-undang Republik Islam Iran, memberikan kekuasaan hukum yang akan
melakukan kegiatan berikut :
- Pengusut acara pengadilan, ketidakadilan dan pengaduan serta dikeluarkannya keputusan hakim; penyelesaian sengketa dan pembuatan keputusan terhadap persoalan yang tidak dapat dipertengkarkan untuk ditentukan oleh hukum.
- Pemulihan hak-hak publik dan peningkatan keadilan dan kebebasan-kebebasan yang legal.
- Melakukan pengawasan atas pelaksanaan hukum.
- Pengusutan pelanggaran, penuntutan hukuman kepada penjahat dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh hukum pidana Islam.
- Mengambil tindakan-tindakan secukupnya untuk mencegah kejahatan dan memperbaiki pelaku kejahatan.
Seperti di Negara-negara lainnya
juga, di Republik Islam Iran, juga ada beberapa jenis peradilan seperti
Peradilan Umum, Mahkamah Militer, dan Mahkamah Administratif. Hal ini,
disebutkan dengan jelas dalam pasal-pasal berikut :
“Untuk mengusut
pelanggaran-pelanggaran yang berhubungan dengan tugas-tugas militer atau
keamanan yang dialkukan oleh personalia angkatan perang, gendarmerie, polisi
dan korp pengawal revolusi, Mahkamah Militer akan diadakan sesuai dengan
undang-undang. Bagi pelanggaran biasa yang dilakukan oleh personalia militer,
pelanggaran-pelanggaran tersebut akan diusut di pengadilan umum. Mahkamah
Militer berada dalam Jurisdiksi kekuasaan kehakiman dan merupakan bagian
integral dari system kehakiman Negara.” (UUD RII, Bab XI, Pasal 172)
“Untuk mengusut proses pengadilan,
pengaduan dan protes public terhadap pejabat, unit atau peraturan pemerintah
dan untuk melaksanakan keadilan dalam perkaranya, suatu mahkamah yang disebut
‘Mahkamah Administratif’ akan dibentuk di bawah pengawasan Dewan Kehakiman
Agung. Jurisdiksi dan prosedur untuk melaksanakan mahkamah ini akan ditentukan
oleh undang-undang.” (UUD RII, Bab XI, Pasal 173)
“Berdasarkan atas hak kekuasaan
kehakiman untuk mengontrol arus peristiwa yang memuaskan dan pelaksanaan
undang-undang yang sehat dalam unit-unit pemerintahan, suatu organisasi yang
disebut ‘Inspektorat Negara’ akan dibentuk di bawah pengawasan Dewan Kehakiman
Agung.” (UUD RII, Bab XI, Pasal 174)
Dengan uraian-uraian di atas
jelaslah bahwa sistem peradilan Iran telah memberikan jalur demokratis dan hak
hukum yang berdasarkan pada persamaan, keadilan, keterbukaan, dan tentunya
keislaman.
BAB
III
PENUTUP
3. 1 Kesimpulan
Iran (atau Persia)
adalah sebuah negara Timur
Tengah yang terletak di Asia
Barat Daya.
Secara konstitusional Iran adalah
Negara yang berbentuk Republik Islam. Republik mengindikasikan sistem
pemerintahan, sedangkan Islam menjelaskan isi sistem tersebut. Artinya, sebagai
republik, Iran berarti memakai sistem demokrasi yang warga negara memiliki hak
untuk memilih pemimpinnya sejalan dengan konstitusi yang berlaku. Dan dengan
Islam, pemerintah mesti ditegakkan atas dasar ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip
islami dan digerakkan pada poros yang islami pula. Berdasarkan hal itu, Konsep
republik, yang diterapkan dalam Republik Islam Iran, telah dimodifikasi dengan
konsep Wilayah al-Faqih, atau pemerintahan para ulama. Modifikasi ini
menyentuh tiga sendi sistem republik, meliputi institusi-institusi yang biasa
disebut sebagai Trias Politika.
3.2 Saran
Kajian-kajian
tentang konsep-konsep yang mensintetiskan antara Islam dan demokrasi yang
menghasilkan demokrasi dengan paradigma Islam perlu untuk terus dikembangkan,
dengan harapkan kajian seperti ini pada gilirannya dapat memperkuat penyemaian
demokrasi di Indonesia, mengingat demokrasi bukan hanya perlu diperjuangkan
tetapi lebih dari itu harus disemaikan, ditanam dipupuk dan dibesarkan melalui
upaya-upaya terencana, teratur dan terarah pada seluruh lapisan masyarakat.
Demokrasi baik sistem politik maupun nilai-nilai kebudayaan, tidak bisa
diwariskan begitu saja, melainkan juga harus diajarkan, di sosialisasikan, dan
di aktualisasikan, khususnya bagi generasi muda.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie,Jimly.2009.Pengantar
Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta:RajaGrafindo Persada
http://syiahali.wordpress.com/2010/12/26/wilayah-al-faqih-dalam-konstitusi-iran/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar