BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Budaya adalah bagian dari kehidupan umat manusia, termasuk pada kehidupan
manusia umumnya dan masyarakat Riau khususnya, akan selalu mengalami
perkembangan dan perubahan. Tidak akan ada budaya yang statis tanpa adanya
perkembangan dan perubahan. Dalam hal ini perkembangan itu bersifat relatif.
Artinya perkembangan budaya suatu masyarakat
akan berbeda dengan perkembangan budaya masyarakat lainnya. Kebudayaan
merupakan suatu kontinum bertahap ke arah yang kompleks, bukan suatu kumulasi.(
Helen, 2007 : 1 ).
Konsep kebudayaan itu sendiri asalnya dari bahasa Sanskerta, yaitu buddayah yang merupakan bentuk jamak
dari “buddhi” yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat
diartikan: hal-hal yang bersangkutan dengan akal, dan secara lengkapnya
kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia
dengan belajar. ( Koentjaraningrat, 1994: 180-182 ).
Budaya merupakan suatu proses yang dinamik yang Selalu berkembang dari
zaman ke zaman. Kemudian, Selo Soemardjan
dan Soelaiman Sumardi memberikan batasan kebudayaan sebagai semua hasil karya
rasa dan cifta masyarakat.( Hartomo & Arnicun Aziz, 1997: 38 ).
Kebudayaan mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya
bertindak, berbuat, menentukan sikapnya kalau berhubungan dengan orang lain.
( Hartono & Arnicun Aziz, 1997 : 43 ).
Di dalam kebudayaan setiap masyarakat terdapat norma yang menjalin
kehidupan kelompoknya. Norma itu tidak hanya berbentuk aturan-aturan tertulis
tetapi ada juga yang berbentuk aturan-aturan yang tidak tertulis yang disebut
dengan kebiasaan. Bangsa Indonesia yang merupakan negara kepulauan ini memiliki
banyak suku bangsa ( etnis) yang mana dalam kelompok-kelompok suku bangsa
tersebut memiliki banyak pula kebudayaan dan adat-istiadatnya. Suatu suku bangsa
memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan suku bangsa lainnya,
akan tetapi di dalam kebudayaan dan adat istiadat mereka itu terdapat banyak
aturan-aturan yang mengikat masyarakatnya yang disebut norma.
Di
Provinsi Riau umumnya, kebudayaan ini terdapat di daerah-daerah pelosok ataupun
di kota-kota seperti di daerah Kabupaten Indragiri Hilir. Kebudayaan yang ada
dan tumbuh serta mengakar di Kabupaten Indragiri Hilir tersebut khususnya di
Kecamatan Tempuling seperti kebudayaan masyarakat Suku Banjar.
Suku
Banjar merupakan suku bangsa yang mayoritas dan dominan diantara suku-suku
lain. Hal ini dapat kita lihat dari jumlah penduduknya serta pada aktivitas
keseharian masyarakat Kecamatan Tempuling yang menggunakan bahasa banjar
sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, seperti dalam proses transaksi jual-beli.
Suku
Banjar memiliki beraneka ragam tradisi yang menjadi ciri khas masyarakat banjar
yang menarik untuk dikaji, seperti tentang tata cara adat perkawinan.
Perkawinan dalam masyarakat Suku Banjar didasarkan pada adat dan
kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat
yang tumbuh secara turun-temurun.
Adapun
tahap-tahap perkawinan dalam masyarakat suku banjar seperti :
1. Tahap Pra Perkawinan : a. Basusuluh,
b.Bapara, c.Meantar jujuran, d.
Bapingit.
2. Tahap Perkawinan : a. Nikah, b. Mandi Badudus, c.
Basanding, d. Serah-terima
3. Tahap Pasca Perkawinan : a. Naik
mentuhak, b. Bailangan.
Gejal-gejala yang tampak dalam masyarakat suku banjar di kecamatan
tempuling yakni sistem perkawinan yang secara perlahan mulai terpengaruh oleh
perubahan-perubahan sosial. Sehingga pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat
suku banjar khususnya di kecamatan tempuling mengalami perubahan.
Adapun
perubahan yang terjadi, yakni :
a. Pada masa
sekarang upacara perkawinan dilakukan dengan lebih sederhana. Pesta perkawinan
yag biasanya diadakan selama tiga hari tiga malam kini hanya dilaksanakan tidak
lebih dari satu hari satu malam saja.
b. Dalam hal
ini perlengkapan perkawinan serta pakaian adat dan pelaminan khas Suku Banjar tidak
dipergunakan lagi.
c. Tahap-tahap
pra perkawinan seperti basasuluh dan bapingit sudah lazim ditinggalkan.
d. Pada masa
dulu perkawinan biasanya diramaikan dengan kesenian tradisional, seperti :
mamanda, balamut, madihin, dan lain-lain. Tetapi pada masa sekarang masyarakat
Suku Banjar lebih menyukai hiburan modern seperti Orgen Tunggal ( Keyboard ).
e. Pada masa
lalu upacara serah terima menggunakan bahasa daerah yang sifatnya masih
kedaerahan, tetapi pada masa sekarang serah terima tersebut sudah menggunakan
bahasa Indonesia dan sudah bersifat nasional.
Menurut Samoel Koening ( dalam Sela Melisa, 2009 : 8), perubahan sosial
menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi di dalam pola-pola kehidupan
manusia, modifikasi-modifikasi itu terjadi karena sebab-sebab intern dan
ekstern.
Menurut Koentjaraningrat menjelaskan
ada tiga wujud kebudayaan, antara lain:
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, nilai-nilai,
norma-norma dan peraturan dan sebagainya. Wujud kebudayaan ini bersifat abstrak
tidak dapat diraba atau digambarkan sebab letaknya dalam fikiran manusia dimana
kebuayaan itu tumbuh.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas kelakuan berpola dari
manuasia dalam masyarakat.
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Yaitu seluruh
totalitas dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia
dalam masyarakat dan sifatnya paling konkrit. ( Koentjaraningrat, 1994 :
186-188 ).
Dari ketiga wujud kebudayaan diatas dapat dikatakan bahwa perubahan sistem
perkawinan yang terjadi pada masyarakat Suku Banjar lebih ke wujud pada
perubahan aktivitas perilaku dan perubahan benda-benda hasil karya, sedangkan
ide-ide yang ada dalam masyarakat itu tidak mengalami perubahan.
Berkaitan dengan latar belakang di atas, penulis mencoba melakukan
penelitian dengan judul : “Tinjauan Tentang Tata Cara Adat Perkawinan
Masyarakat Suku Banjar di Kecamatan Tempuling Kabupaten Indragiri Hilir”.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan
dari uraian latar
belakang di
atas, maka penulis
merumuskan masalah, yaitu :
1. Bagaimana bentuk Tata Cara Adat Perkawinan Masyarakat Suku Banjar di
Kecamatan Tempuling Kabupaten Indragiri Hilir?
2. Apakah ada perubahan yang terjadi dalam Tata Cara Adat Perkawinan
Masyarakat Suku Banjar di Kecamatan Tempuling Kabupaten Indragiri Hilir?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui bagaimana
tata cara adat perkawinan masyarakat Suku
Banjar di Kecamatan Tempuling Kabupaten Indragiri Hilir.
2.
Untuk mengetahui apakah ada
pergeseran yang terjadi dalam Tata Cara Adat Perkawinan Suku Banjar di
Kecamatan Tempuling Kabupaten Indragiri Hilir.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis, untuk memenuhi tugas mata
kuliah Seminar Pengajaran PPKn.
2. Sebagai sumbangan pikiran dan bahan
bacaan bagi masyarakat tentang
kebudayaan Suku Banjar.
3. Bagi pemerintah, sebagai bahan pertimbangan
dalam upaya pelestarian kebudayaan nasional.
1.5. Penjelasan Istilah
Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap
istilah-istilah yang digunakan dalam judul, maka penulisan mengemukakan
penjelasannya.
Tinjauan : Hasil
meninjau ; pandangan ; pendapat ( sesudah
menyelidiki, mempelajari dsb ). ( Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2008 : 1470 ).
Dalam hal ini, tijauan yang dimaksud adalah
menyelidiki,
mempelajari tentang tata cara adat perkawinan
masyarakat Suku Banjar.
Adat :
Aturan yang lazim atau biasa dipatuhi dan dilakukan oleh
sekelompok
masyarakat yang mengandung kaidah-kaidah, aturan-aturan dan kebiasaan yang
berlaku sejak zaman dahulu hingga sekarang. ( Helen, 2007 :11 )
Dalam hal ini
adat istiadat yang dimaksud adalah adat perkawinan masyarakat Suku Banjar.
Perkawinan :
Pertalian yang syah antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk waktu yang lama.
Masyarakat : Kelompok manusia individu yang
diorganisasikan dan
mengikuti satu cara hidup tertentu. ( menurut M.L. Herkovitz, dalam
Sjamsir Marzoeki, 2002 : 28 ).
Suku Banjar :
Salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia.
Tempuling :
Salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Indragiri
Hilir.
Indragiri Hilir : Salah satu kabupaten yang terdapat
di Provinsi Riau.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Pengertian Adat Istiadat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Adat berarti
aturan ( perbuatan dsb ) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala.
Adat merupakan cara ( kebiasaan dsb ) yang sudah menjadi kebiasaan-kebiasaan.
Adat merupakan gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma,
hukum, dan aturan yang satu dengan yang lain berkaitan menjadi suatu sistem. (
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008 : 8 )
Istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan
turun-temurun dari generasi ke generasi lain sebagai warisan masyarakat. (
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008 : 8 ).
Adat Istiadat ( Custom ) adalah norma yang sangat kuat
daya pengikatnya, sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggarnya akan
menerima sanksi keras yang kadang-kadang secara tidak langsung diperlakukannya.
( Hartono & Arnicun Aziz, 1990 : 51 ).
Adat merupakan pencerminan kepribadian suatu bangsa,
yang merupakan salah satu penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan. Oleh
karenanya tiap bangsa bahkan suku tertentu di dunia ini memiliki adat kebiasaan
yang satu sama lainnya tidak sama.
Adat istiadat adalah “ adat sebagai aturan oleh nenek
moyang yang mengandung arti bahwa kaidah-kaidah, aturan-aturan dan kebiasaan
yang berlaku sejak zaman dahulu hingga sekarang”. ( Ismail Hamkaz, 1999 : 51
dalam Helen,2007 : 18 ).
Di dalam setiap
masyarakat adat memiliki sistem nilai yang dipedomani dan dihargai oleh
masyarakat dalam interaksi sosial, nilai tersebut secara fungsional akan tetap
hidup dan menjadi tradisi di dalam masyarakat itu sendiri. Nilai yang telah
menjadi tradisi itu dinamakan adat istiadat. Karena nilai-nilai itu mencakup
berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan diyakini kebenarannya.
Soerjono Soekanto menyebutkan adat istiadat merupakan
salah satu norma di dalam masyarakat yang mempunyai tingkat kekuatan yang
mengikat yang lebih besar setelah cara, kebiasaan, dan tata cara kelakuan. Tetapi
pengertian itu mempunyai dasar yang sama, yaitu sama-sam merupakan norma-norma
kemasyarakatn yang memberi petunjuk bagi tingkah laku seseorang yang hidup dalam
suatu masyarakat tertentu. ( Soerjono Soekanto, 1982 dalam Helen, 2007 : 19 ).
2.2.Pengertian Perkawinan
Di dalam sosiologi mengatakan bahwa perkawinan adalah
suatu pola sosial yang disetujui dengan
cara mana dua orang atau lebih membentuk individu. Perkawinan tidak hanya
mencakup hak untuk melahirkan dan membesarkan anak, tetapi juga seperangkat
kewajiban dan hak istemewa yang mempengaruhi banyak orang ( masyarakat ). Arti
sesungguhnya dari perkawinan adalah penerimaan status oleh orang lain. ( Paul
B. Honton & Chester L. Hunt, 1987 dalam Helen, 2007 :19 ).
Sedangkan menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974,
perkawinan
adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. ( Mawardi, 2007 : 69 ).
Seadangkan Koentjaraningrat memeberikan pandangan
tentang defenisi perkawinan ada peralihan terpenting yang terpenting dari
tingkat remaja ke tingkat hidup keluarga. ( Koentjaraningrat, 1981 : 90 ).
Kemudian ahli lainnya seperti Djaran Seragih
mendefenisikan perkawinan adalah suatu ikatan dua orang berlainan jenis
kelamin, atau antar seorang laki-laki dengan wanita, dimana mereka mengikat
untuk bersatu dalam kehidupan bersama. ( Djaran Seragih, 1980 dalam Helen, 2007
: 20).
Pada hakikatnya perkawinan merupakan hal yang paling
penting dan sakral bagi laki-laki dan wanita dalam lintasan hidupnya. Melalui
perkawinan seseorang akan berkeluarga dan diperlukan sebagai anggota peuh oleh
masyarakat seperti yang dikatakan Ter Haar.
“ Perkawinan adalah peristiwa yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat kita, bukanlah suatu peristiwa mengenai mereka yang
bersangkutan saja, perempuan dan laki-laki akan tetapi juga orangtua
saudara-saura dan keluarga. ( Ter Haar, 1980 : 158 ).
Dalam kehidupan masyarakat dalam mencapai kehidupan
yang harmonis setiap anggota masyarakat tidak terlepas dari apa yang serta mengatur kehidupan merekan yakni adanya
nilai-nilai serta norma-norma sosial yang hidup dan tumbuh di tengah-tengah
kehidupan masyarakat tertentu.
Sastro Amijoyo mengatakan bahwa, perkawinan dapat dikatakan
atau diartikan sebagai suatu gabungan dari bathin dan pergaulan, singkatnya
yaitu hidup bersama dalam arti seorang pria dan wanita atas dasar keyakinan
tertentu yang mengikat kuat penggabungan diri ini menimbulkan dan menguasai
perkawinan timbal balik yang dilindungi hukum tertentu. ( Sastro Amijoyo, 1965
dalam Skripsi Helen ,2007 : 20 ).
Perkawinan adalah sebagai interaksi yang menerus
berubah, terus menerus bertambah antar sepasang pria dan wanitayang mencari
kehangatan dan kekayaan hidup bersama. Dan mereka menggambarkan seperti
kerjasama yang indah antara dua penari yang saling menyerasikan gerakan dan
suasana hati seiring musik yang diiringi.
( David & Vera Maca dalam Skripsi Helen, 2007 : 21 ).
Di dalam agama Islam disebut dengan istilah nikah.
Maka nikah itu didefenisikan sebagai suatu akad yang menghalalkan pergaulan
antara seoarang laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim sehingga
menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. ( Nurhasanah Bakhtiar, 2011 : 61
).
Jadi, perkawinan merupakan suatu sistem sosial dalam
kehidupan manusia. Aturan untuk pelaksanaan perkawinan itulah diatur menurut
adat istiadat dalam masyarakat tertentu. Dengan semakin majunya masyarakat,
maka adat istiadat perkawinan semakin mengalami perubahan sesuai dengan
perkembangan zaman.
2.3 Tujuan Perkawinan
Perkawinan itu dianjurkan sebagaimana tertera dalam
perintah agama. Dalam konsep Islam perkawinan itu mempunyai fungsi dan
tujuan yang amat penting dan bernilai
bagi kehidupan manusia, baik bagi kehidupan pribadinya maupun masyarakat. (
Mawardi, 2007 : 71 ).
Dalam agama Islam, perkawinan memiliki tujuan yang
antara lain sebagai berikut :
a. Menyalurkan nafsu syahwat menurut jalan yang benar.
b. Mewujudkan ketenangan jiwa.
c. Menghindarkan diri dari perbuatan keji dan munkar.
d. Memperkuat hubungan sosial.
e. Memperoleh keturunan yang syah.
f. Menyusun rumah tangga yan damai dan teratur. (
Mawardi, 2007 : 71-79 ).
Sedangkan menurut UU No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa
tujuan perkawinan adalah untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang
bahagia dan kekal yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pembentukan
keluarga erat hubungannya dengan keturunan, pemeliharaan anak dan pendidikan
anak yang menjadi tanggung jawab orangtua. Maka tujuan perkawinan itu meliputi
kebahagiaan pasangan suami isrti dalam menciftakan kabahagiaan bagi seluruh
anggota keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. 4. Tata Cara Adat
Perkawinan Suku Banjar
Dalam masyarakat Suku Banjar, perkawinan dilakukan
menurut adat istiadat yang berlaku dan mentaati aturan serta norma-norma agama.
Dalam sistem perkawinan, unsur kekeluargaan memegang peranan penting dan
pelaksanaan adat perkawinan terlebih dahulu dimusyawarahkan. Perkawinan dalam
masyarakat Suku Banjar didasarkan pada adat-istiadat atau kebiasaan-kebiasaan
yang ada dan berkembang dalam masyarakat Banjar. Adapun tahap-tahap perkawinan
dalam masyarakat Suku Banjar adalah sebagai berikut :
2.4.1. Tahap Pra Perkawinan
2.4.1.1 Basasuluh (Mencari Informasi).
Basusuluh
berasal dari kata “suluh”, yaitu sejenis obor yang terbuat dari daun kelapa
yang sudah kering, filosofinya karena dengan oborlah hal-hal yang gelap menjadi
terang . Oleh sebab itu, Basusuluh di sini diartikan sebagai suatu proses mencari
informasi secara diam-diam oleh pihak laki-laki mengenai
riwayat keluarga calon mempelai ( gadis yang diinginkan ).
Proses mencari informasi atau keterangan tersebut bisa melalui teman, kenalan
dan kerabat, tetangga dan lain sebagainya. Pada akhirnya apabila data-data yang
diinginkan telah didapat dan orangtua pihak laki-laki tidak keberatan, maka
mulailah utusan dikirim ke pihak wanita untuk bertemu dan mencari keterangan
dari pihak keluarga tersebut. Hal ini untuk memastikan apakah wanita yang dimaksud
masih lajang atau telah memiliki ikatan dengan laki-laki lain. ( Depdikbud,
1978 : 157 ).
Pada masa lalu,
perkawinan lazimnya atas perjodohan atau pilihan orangtua, sehingga tradisi
semacam ini merupakan keharusan. Biasanya dilanjutkan dengan “Batatakun”. Yaitu pencarian informasi
secara terbuka melalui kedua pihak keluarga. Beberapa hal yang ingin diketahui
diantaranya:
1. Tentang agamanya
2. Tentang keturunannya
3. Tentang kemampuan rumah tangganya
4. Tentang kecantikan wajahnya
Dari empat hal tersebut di atas yang menjadi titik
tumpu perhatian itu adalah pada dua hal yaitu agama dan keturunannya.
Sebaliknya, bagi keluarga calon isteri di samping hal di atas, akan
diperhatikan pula apakah lapangan pekerjaan calon suaminya tersebut. Hal itu sangat
penting karena akan turut menentukan nilai rumah tangga mereka kelak.
2.4.1.2. Bapara/Badatang
(Melamar/meminang).
Bapara merupakan tahapan lanjutan apabila proses
basusuluh selesai, kemudian utusan pihak laki-laki tersebut akan datang kembali
kepada pihak wanita. Dalam tahap Bapara ini, pihak laki-laki biasanya mencari
orang yang pandai bicara dan berpengaruh yang bisa mewakili untuk melamar.
Sebelum utusan yang mewakili ini berangkat, maka terlebih dahulu dicarilah
hari, jam dan waktu yang baik. Untuk mencari waktu yang baik ini maka digunakan
bilangan tiga-tiga : dengan menyesuaikan penanggalan Qamariyah,
yaitu hari kamis, hari kurung, hari berjalan. Maka yang dipilih adalah hari
kamis, sebab menurut kepercayaan masyarakat banjar hari inilah yang baik dan
tepat.
( Depdikbud, 1978 : 157-158 ).
Bapara ini cukup menanggung resiko, sebab jika gagal
maka utusan pihak laki-laki tersebut turut menanggung malu keluarga. Oleh
karena itu, maka si pelamar harus hati-hati dalam mengucapkan atau menyusun
kata-kata maupun kalimat dalam pembicaraan tersebut. Pihak wanita biasanya
meminta waktu beberapa hari untuk berpikir dan membicarakan pada anggota
keluarga yang lain. Biasanya hasil keputusan diterima atau tidak akan
disampaikan pada Bapara yang kedua, tentunya kedua belah pihak membuat
kesepakatan untuk menentukan waktunya. Setelah hari yang ditentukan tiba, maka
utusan pihak laki-laki akan datang kembali untuk mendengar keputusan dari pihak
keluarga wanita. Lazimnya, pada Bapara kedua ini pihak wanita mengumpulkan
lebih banyak sanak keluarga untuk menyambut kedatangan utusan laki-laki
tersebut.
Setelah pembicaraan Bapara ternyata diterima dan
tinggal lagi menentukan berapa jujurannya. Ini biasanya dilakukan dengan
tawar-menawar, kalau memang penawarannya terlampau tinggi. Apabila perihal
jujuran telah rampung disepakati oleh kedua belah pihak, biasanya pihak
laki-laki akan langsung memberi tanda pengikat kepada pihak wanita yang disebut
“Pananali”. Istilah “Pananali” berasal dari kata “ tali” yaitu alat pengikat
yang dimaksudkan sebagai tanda setuju atas segala hal yang telah disepakati
bersama. Pananali itu misalnya : Cincin emas, pakaian, alat-alat kosmetik
sendal dan lai-lainnya. Lazimnya ketika proses bapara tersebut, kedua belah
pihak akan sepakat menentukan hari pertunangan. Proses bapara formal ini akan
diakhiri dengan pembacaan doa selamat dan pihak wanita juga menyediakan makan
atau makanan kecil sebagai jamuan. ( Sela Melisa, 2008 : 35 ).
2.4.1.3. Maantar Jujuran
(Mengantar Jujuran).
Maantar Jujuran dilakukan oleh pihak laki-laki kepada
pihak wanita sebagai pengikat atau bukti bertunangan. Jujuran ini biasanya
berupa uang yang besarnya telah disepakati kedua belah pihak keluarga ketika
Bapara. Biasanya, apabila si wanita memiliki saudara perempuan yang lebih tua
tetapi belum menikah, maka menurut tradisi masyarakat banjar pihak laki-laki
harus membayar palangkahan yaitu “Manyilihi Saikungan” (mengganti seluruh
badan). Biasanya palangkahan ini berupa pakaian lengkap dan seekor ayam jantan.
Tetapi pelangkahan ini tidak bersifat “harus” tergantung dari kesepakatan
antara pihak keluarga wanita dengan calon pria.
Uang jujuran
yang diberikan pihak laki-laki tersebut biasanya digunakan oleh pihak wanita
untuk membeli segala keperluan upacara perkawinan nantinya. Benda yang wajib
dibeli pihak wanita seperti “pakakas
kalambu dan maisi kamar” yaitu seperangkat perkakas yang terdiri dari
ranjang, kasur, kelambu, lemari pakaian, dan lemari rias.
Menurut tradisi masyarakat banjar, Maantar Jujuran tersebut dilakukan sebelum proses
akad nikah dilaksanakan, misalnya satu atau dua minggu sebelum akad nikah.
Tujuannya agar pihak keluarga wanita bisa mempersiapkan keperluan untuk upacara
perkawinan tersebut. ( Sela Melisa, 2008:35 )
2.4.1.4. Bapingit (Berkurung).
Bapingit merupakan salah satu tahap yang harus
dilewati oleh seorang wanita suku banjar menjelang hari pernikahannya. Proses
bapingit ini dilakukan dengan “mengurung” calon pengantin wanita selama satu
minggu dengan tujuan untuk menghindarkan dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Sesuai perkembangan zaman, tahap bapingit ini dipersingkat antara dua sampai
tiga hari saja. Pada masa bapingit, calon mempelai wanita ini tidak diperkenankan
dikunjunngi oleh calon mempelai laki-laki atau pemuda lainnya.
Selama masa bapingit calon mempelai wanita harus
benar-benar mempersiapkan diri lahir dan bathin untuk mengarungi mahligai rumah
tangga. Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam masa bapingit antara lain
:
1. Bakasai dan Batimung
Pada tahap inilah calon mempelai wanita melakukan
perawatan secara intensif dan menyeluruh untuk membersihkan diri agar terlihat
cantik dan segar. Sesuai tradisi masyarakat suku banjar, ritual perawatan
menggunakan ramuan khusus berupa “kasai” yaitu berupa cairan pembersih yang
terbuat dari beras ketan yang telah digongseng secara berulang-ulang. Kemudian
mempelai wanita juga melakukan ritual “batimung”, yaitu mandi uap air wewangian
tujuannya agar pada hari pernikahan tubuh menjadi bersih, wangi dan tidak
mengeluarkan keringat berlebihan atau bau yang tidak sedap.
2. Bapacar atau Bainai.
Bapacar atau bainai merupakan ritual menghias atau
mengecat kuku mempelai dengan “daun pacar” (daun inai) yang ditumbuk halus, yang
nantinya meninggalkan warna merah. Prosesi bainai ini juga menjadi tradisi suku
lainnya, seperti melayu, jawa, bugis dan lainnya.
2.4.2 Tahap Perkawinan
2.4.2.1. Nikah
Menurut istilah (terminologis), nikah berarti akad
yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim
dengan berbagai konsekuensi yang ditimbulkan, baik yang menyangkut kewajiban
dan tanggung jawab maupun hak keduanya. Sedangkan dalam Undang-undang
perkawinan, nikah diartikan sebagai ikatan lahir bathin seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
( Mawardi, 2007 : 69 ).
Berdasarkan hukum syari’at agama Islam, untuk
melaksanakan upacara akad nikah maka seorang calon pengantin laki-laki harus
membayar mahar atau mas kawin kepada calon pengantin wanita. Mahar itu bisa
berupa seperangkat alat shalat, perhiasan, uang ataupun barang berharga
lainnya.
Dalam masyarakat suku banjar umumnya dan di kecamatan
Tempuling khususnya, nikah biasanya dilakukan beberapa hari sebelum upacara
perkawinan yang biasanya dilakukan pada malam hari. Kedua Calon pengantin
dibawa ke tempat penghulu untuk melangsungkan akad nikah, kemudian calon
pengantin laki-laki menyerahkan mas kawin. Uang dari mas kawin ini tidak boleh
dibelanjakan oleh mempelai wanita, maka uang ini akan disimpan yang disebut
“Pipikat”. Apabila mas kawin ini terpaksa dijual dan digunakan, menurut tradisi
masyarakat suku banjar tidak boleh dinikmati atau diberikan kepada orang lain.
( Sela Melisa, 2009 : 38 ).
Dalam masyarakat suku banjar, nikah dan kawin itu
memiliki pengertian yang berbeda. Nikah dilakukan di depan penghulu sesuai
syari’at agama, sedangkan kawin dilakukan setelah adanya akad nikah, pada saat
pengantin laki-laki secara resmi diantar ke rumah mempelai wanita.
( Sela Melisa, 38 ).
2.4.2.2. Mandi Badudus.
Mandi Badudus merupakan ritual
adat masyarakat suku banjar untuk mensucikan diri calon pengantin. Ritual mandi
badudus dilakukan pada waktu pagi hari menjelang acara persandingan siang, pengantin wanita
melangsungkan acara mandi – mandi pengantin dengan air yang ditaburi macam –
macam bunga dan air jeruk yang dilengkapi dengan mayang pinang dan air kelapa gading. Prosesi
badudus dilakukan setelah bapingit dua atau tiga hari sebelum upacara
perkawinan. Upacara
tersebut dilaksanakan boleh serentak oleh kedua mempelai atau di rumah mereka
masing- masing. Jumlah bunga
– bunga yang diperlukan
lebih banyak dan lebih berkesan sebagai salah satu upacara. Acara mandi badudus dilakukan
oleh lima atau tujuh orang orang wanita tua yang telah berpengalaman, yang
umumnya dipimpin oleh seorang bidan kampung atau wanita tua lainnya dari
keluarga dekat. ( Sela
Melisa, 2008 : 38 ).
Rangkaian prosesi ini diwarnai
dengan beragam detail perlengkapan dan dekorasi berwarna kuning, seperti : Pada
“lalangitan” berupa kain kuning yang dibentangkan pada bagian atas lokasi
berlangsungnya prosesi. Warna kuning menurut kepercayaan masyarakat suku banjar
selain sebagai simbol kebesaran dan keluhuran juga dipercaya dapat menjadi
“alat” untuk pagar dari roh jahat. Dengan demikian mempelai juga memakai kain
sarung yang juga berwarna kuning.
Kemudian dibentang selembar
permadani atau tikar yang mana di atasnya ditaruh empat puluh satu kue
tradisional khas banjar, antara lain : bubur habang, bubur putih, apam habang,
apam putih, cucur, wajik, gegeplak, kukuleh (mirip bubur sum-sum), kue cincin,
laketan (jadah), gayam, wadai gincil dan lain-lain. Sedangkan untuk air mandi
terdiri dari air yasin, air kembang dan air kelapa gading muda. Kue-kue dan air
kelapa tersebut sebelum dihadapi oleh pengantin terlebih dahulu disembahyangkan
oleh tetuha secara khusuk.
Selanjutnya pengantin dengan
diiringi para tamu dihantar ke tempat “Balairung Padudusan” ( rumah-rumahan
segi empat berukuran 2x2 m ) yang dihiasi
dengan pagar mayang, hiasan janur di setiap empat sudutnya. Sebelum
memasuki Balairung Padudusan, pengantin terlebih dahulu harus mengelilingi
Balairung tersebut dengan diiringi para tetuha yang akan menaburi beras kuning
ke arah mempelai. Setelah itu barulah mempelai memasuki balairung padudusan,
dan disuruh duduk yang kemudian dimulai ritual mandi-mandi. Diawali oleh yang
tertua satu demi demi satu air diguyur ke tubuh mempelai yang kemudian diakhiri
dengan guyuran air kelapa perlahan dimulai dari kepala. Apabila air kelapa
tersebut meluncur melewati mulut, maka pengantin harus bisa menelannya. Menurut
kepercayaan orang-orang tua masyarakat suku banjar, kelak kehidupan mempelai
semanis seperti air kelapa muda tersebut.
Setelah selesai mandi,
kemudian mempelai segera mengganti basahan dengan sarung kering.Selanjutnnya
mempelai kembali ke tikar yang dipenuhi kueh-mueh. Salah seorang tetuha secara
simbolis menyisir rambut, memberi bedak, dan diakhiri dengan memegang cermin
disertai lilin yang menyala untuk diputar beberapa kali disekeliling pengantin.
Harapannya supaya perjalanan kehidupan pengantin kelak seterang cahaya lilin.
Sebagai ritual penutup, nenek mempelai ( boleh
diwakilkan tetuha lain dari keluarga dekat ) secara simbolis akan memotong
rambut mempelai. Pengantin
wanita disuruh “manjajak hantalu” ( menginjak telur ayam ) sampai
pecah dengan ujung tumit. Ketika itu juga pengantin wanita tersebut dicukur
yaitu dengan istilah ‘Balarap’, membuat cecantung
pada kiri kanan wajahnya. Kemudian pengantin mencicipi “wadai-wadai”
(kue-kue) bersama para tamu yang hadir pada saat itu.
Ritual adat mandi badudus juga
disertai oleh perlengkapan yang sarat akan makna-makna, seperti tebu kuning
yang melambangkan agar kehidupan rumah tangga selalu manis dan teguh, daun
beringin sebagai lambang pengayoman, daun kambat sebagai penolak bala, daun
linjuang sebagai penolak setan atau hantu, ketupat berbentuk burung agar
pengantin bisa terbang tinggi mencapai harapan rumah tangga. Pagar mayang
melambangkan sebagai pembawa keberuntungan dan penangkal segala yang buruk.
2.4.2.3. Batamat Qur’an
Masyarakat suku
banjar mayoritas beraga Islam, maka ketaatan calon mempelai wanita dalam
menjalankan ibadahnya akan “diuji” melalui prosesi Batamat Qur’an. Yaitu
menamatkan membaca Al-Qur’an dengan disaksikan oleh guru mengaji dan kaum
kerabat. Biasanya Batamat Qur’an ini dilengkapi dengan Pulut Batamak ( nasi
ketan yang dipadatkan ), wajik ( kue terbuat dari nasi ketan ) yang dihiasi
dengan beraneka bentuk hiasan yang kemudian di atasnya diletakan “hintalu
bajarang”( telur rebus ) yang diberi warna kemudian ditancapkan “babandira’an”
( hiasan bendera dari kertas minyak ). Suatu kebiasaan yang unik dan lucu, ialah apabila
pengantin telah sampai pada bacaan surah ke 105
( Al-Fiil ) biasanya
ramailah anak-anak dan remaja di sekitar itu memperebutkan telur masak
sekaligus memakannya. Sebab menurut cerita konon yang mendapatkan telur masak
itu akan menjadi terang hatinya, cepat menjadi pandai membaca kitab suci
Al-Qur’an, sedangkan lidi babandira’an nantinya dijadikan “tutunjuk ngaji”.
2.4.2.4 Batatai atau
Basanding
Perkawinan merupakan salah satu hal
terpenting dalam hidup, maka keluarga kedua mempelai berupaya semaksimal
mungkin untuk memberikan kesan dan keistimewaan serta fasilitas kepada kedua
mempelai, mereka dilayani bagai seorang raja dan ratu sehingga sering diberi
julukan Raja Sahari ( raja satu hari ).
Puncak dari acara perkawinan menurut adat
banjar ini adalah
pada upacara betataian ( bersanding ) pada
tempat petataian. Acara ini yang dianggap paling bahagia oleh kedua pengantin
ataupun keluarga mereka.
Proses-proses
yang dilakukan sebelum batatai pengantin, yaitu:
1. Manurunakan Pangantin Laki-Laki.
Upacara akan dimulai saat pengantin laki-laki mulai
turun dari rumahnya menuju pelaminan di rumah mempelai wanita. Proses ini
memang terlihat mudah, tetapi sering pada acara inilah terjadi hal-hal yang
berakibat fatal bahkan mengakibatkan batalnya seluruh acara perkawinan.
Di masa lalu, tidak jarang laki-laki saingan yang
gagal memperoleh hati wanita yang akan segera menikah melakukan segala cara
untuk menggagalkan pernikahan yang akan segera berlangsung. Mereka berusaha
menggagalkan dengan cara halus ( gaib ) terutama
saat ijab kabul tiba.
( Depdikbud, 1978 : 160 ).
Mempelai laki-laki akan muntah-muntah dan sakit, ada
juga yang tidak dapat menggerakkan kakinya untuk melangkah padahal rumah
wanitanya sudah didepan mata. Untuk mengantipasi hal ini biasanya para tetuha
keluarga memberikan sangu dengan doa-doa khusus. Selain itu saat kaki calon
pengantin laki-laki melangkah pertama kali akan didendangkan shalawat nabi dan
ditaburi baras kuning.
2. Maarak
Pengantin Laki-laki
Pada saat tidak ada lagi gangguan
terjadi rombongan pengantar akan bergerak menuju rumah mempelai wanita Kira-kira beberapa puluh meter di depan rumah
mempelai, saat inilah berbagai macam kesenian akan ditampilkan. Diantaranya,
Sinoman Hadrah, Kuda Gipang, bahkan ada musik Bamban (sejenis Tanjidor Betawi), pencak
silat Kuntaw. Mempelai
laki-laki yang melewati barisan Sinoman Hadrah akan dilindungi oleh Payung
Ubur-Ubur, payung ini akan terus berputar-putar melindungi pengantin sambil
rombongan bergerak menuju rumah mempelai wanita.
3. Batatai
Pengantin.
Setelah rombongan pengantin
laki-laki sampai, saatnya pengantin laki-laki itu dibawa naik ke rumah
pengantin wanita. Si penganti laki-laki diapit oleh dua orang wanita yang muda
tetapi sudah bersuami untuk menjemput pengantin wanita yang sudah siap
dipersandingkan
Biasanya pengantin perempuan
ini didudukan terlebih dahulu di belakang kelambu atau tempat tidur mereka dan
kesinilah pengantin laki-laki dibawa. Kemudian pengantin laki-laki bangkit dari
duduknya yang dituntun oleh seorang wanita muda yang telah ditentukan. Setelah
dipertemukan, kedua pengantin dibawa
keluar rumah, biasanya sampai pintu.
Pada sebagian masyarakat Suku
Banjar, pada kesempatan ini dimeriahkan dengan atraksi pencak silat Kuntaw.
Biasanya pemandu akan memanggil anggota keluarga dari kedua mempelai untuk
menyumbangkan atraksi silat mereka. Maka, riuh lah pengunjung yang hadir ketika
salah satu anggota dari dua keluarga tampil di tengah-tengah penonton, mereka
beradu silat persembahan kepada mempelai. Akhir dari atraksi ini lebih meriah
karena adanya acara “bausung” Yaitu si pensilat akan mengusung ( menggendong
pengantin yang didudukan di pundak) pengantin pria dan pengantin wanita. Mereka
akan akan melakukan atraksi menari dengan gerakan silat.
Setelah atraksi silat dan
bausung selesai, maka kedua pengantin dibawa dan dipertontonkan di atas mahligai
pelaminan disaksikan seluruh undangan yang hadir.
2.4.2.5 Serah Terima
Setelah upacara persandingan
selesai, maka kedua pengantin akan melaksanakan upacara makan sirih atau makan
nasi hahadap-hadapan. Nasi hahadapan
( terbuat dari ketan ) yang dikepal secukupnya diberikan kepada mempelai
laki-laki dan diserahkan kepada mempelai wanita yang disambut dengan sapu
tangan. Nasi hahadapan sebagai simbol bagi laki-laki yang memberikan nafkah
kepada istrinya. Kemudian setelah upacara makan nasi hahadapan ini selesai,
maka akan dilanjutkan dengan upacara serah terima.
Biasanya masing-masing
keluarga akan menunjuk orang-orang yang diangggap terpandang untuk memimpin
upacara ini. Tujuan upacara serah terima ini dilakukan agar kedua pengantin
mengetahui akan tanggung jawabnya bahwasa mereka tidak lagi bergantung pada
orangtua. Penyerahan ini didahului oleh pihak keluarga pengantin laki-laki yang
berbunyi :
“ Kami atas nama seluruh
keluarga pihak mempelai laki-laki menyerahkan anak kami kepada bapak dan ibu
sekalian untuk dididik, disuruh bekerja kalau dia malas, dimarahi kalau dia
bersalah, dan hendaknya dianggap seperti anak bapak dan ibu sendiri”
Dan pihak wanita akan menerima
penyerahan itu dengan kalimat seperti berikut :
“ Penyerahan ini kami terima
dengan baik, dengan tangan terbuka, dada yang lapang, dengan rasa senang dan
gembira dan kamipun mengharapkan agar anak kami kalau tidak bias memasak supaya
diajari, kalau tidak mau ke dapur supaya disuru atau dimarahi”.
Setelah upacara serah terima
selesai, maka kedua mempelai sujud yaitu menyalami yakni mencium tangan kepada
orangtua mereka dan kepada orang orang yang dituakan. ( Depdikbud, 1978 : 161
).
2.4.3 Tahap
Pasca Perkawinan
2.4.3.1. Naik Mentuhak ( Naik Mertua ).
Setelah upacara perkawinan
selesai, maka dilanjutkan dengan upacara yang dilakasanakan selama tiga hari
berturut-turut yang disebut “ Manjaga Pangantin”. Pada malam pertama dan sampai
malam ketiga biasanya diadakan keramaian
seperti : bawayang, mamanda, madihin, balamut, dan sebagainya. Setelah tiga
hari, maka kedua pengantin dibawa ke tempat orangtua pngantin laki-laki untuk
bermalam beberapa hari, upacara inilah yang dinamakan “naik mentuhak”. Dalam
kesempatan ini, maka mertua akan lebih dapat mengenal dan menilai menantunya.
Setelah itu kedua mempelai akan bersembah sujud kepada kedua orangtua mempelai
laki-laki dan keluarga lainnya serta semua yang hadir.
2.4.3.2 Bailangan ( Berkunjung ).
Bailangan merupakan kegiatan
yang mana dilakukan untuk mengunjungi
rumah para kerabat dan tetangga untuk mengucapkan terima kasih kepada mereka
yang telah membantu terselenggaranya acara pernikahan dari awal sampai akhir.
Rumah dikunjungi atau diilangi wajib memberikan bingkisan atau uang kepada
pengantin terseebut, biasanya bingkisan itu disertai dengan kapur makan.
Orangtua memepelai laki-laki
akan menyediakan perkakas untuk kehidupan anaknya yang memulai berumahtangga,
seperti peralatan makan, bahan-bahan dapur seperti beras, ikan serta
rempah-rempah dan lain-lainnya. Hal ini ini dimaksudkan agar kedua mempelai
yang baru berkeluarga tersebut kelak “ruhui rahayu” (rukun bahagia). Setelah
selesai waktu yang ditentukan, maka kedua pengantin pulang ke rumah pengantin
wanita.
Acara bailangan ini juga
dilakukan di lingkungan keluarga pihak pengantin wanita, para kerabat dan
tetangga. Hal ini harus dilakukan sesuai ketentuan adat, menurut mitos di
kalangan masyarakat banjar apabila bailangan tidak dilakukan maka pihak
pengantin maupun rumah yang akan diilangi akan mengalami kesialan dalam
kehidupannya dan bagi mereka yang punya anak gadis atau bujang akan sulit
mendapatkan jodoh.
Untuk sementara, mempelai akan
tinggal dan menetap di rumah orangtua mempelai wanita sampai mereka dapat
berdiri sendiri. Jika suami sudah memiliki rumah sendiri, maka setelah
mengikuti semua rangkaian adat, maka mereka boleh menempati rumahnya sendiri
untuk memulai kehidupan baru. ( Sela Melisa, 2008 : 44 ).
2.5 Faktor-faktor
Perubahan Sosial
Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan suatu bangsa
pun akan mengalami perkembangan dan perubahan. Dimulai dari kebudayaan
tradisional, kebudayaan peralihan, hingga kebudayaan modern. Perubahan
kebudayaan merupakan suatu kejadian yang terjadi dalam kehidupan di dunia ini.
Pengertian perubahan kebudayaan sendiri adalah
adanya ketidak sesuaian di antara unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda,
sehingga terjadilah keadaan yang tidak sesuai dengan fungsinya bagi kehidupan.
Perubahan kebudayaan yang terjadi dalam suatu bangsa tidak
luput dari faktor-faktor yang mempengaruhi. Menurut Soerjono Soekanto
faktor-faktor tersebut terbagi menjadi 2, yaitu faktor intern dan faktor
ekstern.
2.5.1. Faktor Intern
Faktor intern merupakan faktor yang berasal dari masyarakat itu sendiri
yang menyebabkan perubahan kebudayaan, yang diantaranya:
- Bertambah atau berkurangnya penduduk, seperti: Kelahiran, Kematian, dan Migrasi.
- Penemuan-penemuan baru, seperti: Adanya ide atau alat baru yang sebelumnya belum pernah ada (Discovery), Penyempurnaan penemuan baru (Invention), dan Proses pembaharuan atau melengkapi atau mengganti yang telah ada (Innovation).
- Pertentangan atau ( conflik ) yang terjadi di dalam masyarakat. Konflik dapat merubah kepribadian orang-orang yang terlibat di dalamnya, misalnya menjadi pendiam, murung, tidak mau bergaul, atau bahkan berusaha memperbaiki keadaan tersebut supaya menjadi lebih baik.
- Pemberontakan atau revolusi. Hal ini menyebabkan perubahan pada struktur pemerintahan pada suatu negara.
b. Faktor Ekstern
Faktor ektern merupakan
faktor yang berasal dari luar masyarakat melalui interaksi sosial yang
mendorong terjadinya suatu perubahan kebudayaan, yang diantaranya:
1. Sebab-sebab yang berasal
dari ingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia.
Pada zaman sekarang sebagian besar hal ini disebabkan oleh
tindakan manusia sendiri yang menyebabkan kerusakan alam, seperti mebuang
sampah sembarangan, penebangan liar, pembangunan terus menerus di lahan
pertanian, dan masih banyak lagi. Hal ini dapat merugikan manusia sendiri
seperti kehilangan keluarga, tempat tinggal, harta benda, dan sarana umum
lainnya.
- Peperangan. Hal ini dapat menyebabkan perubahan yang mendasar pada suatu negara baik seluruh wujud budaya (sistem budaya, sistem sosial, dan unsur-unsur budaya fisik) maupun seluruh unsur budaya (sistem pengetahuan, teknologi, ekonomi, bahasa, kesenian, sistem religi, dan kemasyarakatan). Biasanya akibat ini lebih berpengaruh kepada negara yang kalah.
- Pengaruh budaya lain, seperti: Penyebaran kebudayaan (Difusi), Pembauran antar budaya yang masih terlihat masing-masing sifat khasnya (Akulturasi), dan Pembauran antar budaya yang menghasilkan budaya yang baru tanpa terlihat budaya yang lama sama sekali (Asimilasi). ( Soerjono Soekanto, 1990 :318-526 ).
Sedangkan menurutHartomo dan
Arnicun Aziz, perkembangan akal budi dan daya kreasi anggota masyarakat dapat
membawa perubahan dalam masyarakat itu. Terjadinya pembaharuan sebagai faktor
pengembangan yang berasal dari dalam masyarakat didukung oleh hal-hal sebagai
berikut :
a. Faktor dari dalam
1. Adanya
kesadaran anggota-anggota masyarakat terhadap ketinggalan oleh kemajuan yang
dialami masyarakat lain. Inividu-individu yang memiliki rasa tidak puas
terhadap apa yang telah dicapainya oleh David. C. Mc. Clelland dikatakan
memiliki nAch ( Need for achiement ) yaitu suatu dorongan kebutuhan mencapai
prestasi yang lebih baik.
2. Adannya
kualitas anggota-anggota masyarakat yang kreatif. Anggota yang kreatif ini
merupakan pembaharuan dan modernisasi kebudayaan masyarakat.
3. Adanya suatu
kebiasaan yang memberikan penghargaan
atau insentif dari masyarakat kepada anggota-anggota yang mencapai prestasi
atau mendapat inovasi untuk kemajuan masyarakatnya.
4. Adanya
suasana persaingan yang sehat diantara anggota-anggota masyarakat untuk
mencapai prestasi tinggi demi kemajuan masyarakatnya.
b. Faktor dari luar
1. Akulturasi. Akulturas merupakan proses sosial yang timbul bila suatu
kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur
suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian rupa sehingga unsur kebudayaan
asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri yang
menyebabkan hilangnya kebudayaan sendiri.
2. Asimilasi. Yaitu percampuran antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan
lain dan dari percampuran beberapa kebudayaan tersebut membentuk kebudayaan
baru.
3. Difusi. Yaitu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari suatu daerah
ke daerah lain atau dari suatu negara ke negara lain.
2.6 Modernisasi
Modernisasi merupakan suatu
bentuk perubahan Sosial. Biasanya merupakan perubahan sosial yang terarah ( dirrected change ) yang didasarkan pada perencanaan yang biasa
dinamakan social planing. ( Soerjono
Soekanto, 1990 : 346 ). Sedangkan menurut Koentjaraningrat, modernisasi adalah
usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang. (
Koentjaraningrat, 1990 : 140 ).
Menurut Smith, modernisasi
adalah proses yang dilandasi oleh seperangkat rencana dan kebijakan yang
disadari untuk mengubah masyarakat ke arah kehidupan masyarakat kontemporer
yang menurut pemikiran para pemimpin lebih maju dalam kehormatan tertentu. (
Anthony D. Smith, 1973 dalam skripsi Helen, 2007 : 6 ).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat
dan Waktu Penelitian
3.1.1 Tempat
Penelitian
ini direncanakan akan dilakukan di Kecamatan Tempuling Kabupaten Indragiri
Hilir
3.1.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini direncanakan
mulai dilaksanakan pada bulan Januari tahun 2013.
3.2 Populasi
dan Sampel
3.2.1 Populasi
Adapun akan direncakan yang
menjadi populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Suku Banjar yang telah
menikah di Kecamatan Tempuling. Dikarenakan jumlah KK sulit diketahui secara
pasti maka populasi diambil dengan cara purposive yang diperoleh dari Kantor
Urusan Agama ( KUA ) yaitu data pernikahan 5 tahun terakhir.
3.2.2 Sampel
Untuk mendapatkan informasi,
penulis akan memilih siapa-siapa yang bisa dimintai keterangan tentang data
yang diperlukan dalam penelitian ini sebagai informaman kunci.
Mengingat objek penelitian ini
adalah anggota masyarakat Suku Banjar yang berdomisili di Kecamatan Tempuling,
maka dalam sampel teknik yang digunakan adalah Penyampelan Proposif ( proposive sampling ).
Menurut Muhammad Ali, Penyampelan
Proposif yaitu penentuan sampel berdasarkan pertimbangan atau perhitungan
tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat – sifat
populasi yang sudah diketahui sebelumnya. ( Mohammad Ali, 1992 : 57 ).
Teknik penyampelan proposif
digunakan apabila anggota sampel yang dipilih secara khusus berdasrkan tujuan
penelitian. ( Husaini Usman dkk, 2008 : 45 ).
Dengan demikian, direncakan
yang akan dijadikan sampel adalah beberapa pasangan masyarakat Suku Banjar yang
telah menikah yaitu sebagai berikut :
Tabel 3.1
No
|
Keterangan
|
Populasi
|
Sampel
|
Persentase
|
1
|
Pasangan yang menikah dalam 5 tahun terakhir (2007-2012)
|
60
|
16
|
26,7%
|
Sumber :
Data November 2012
3.3 Teknik
Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data
peneliti merencanakan akan menggunakan beberapa teknik yang digunakan untuk
memperoleh data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber utama
penelitian, dalam hal ini melakukan :
3.3.1 Teknik
Studi Kepustakaan
Teknik studi kepustakaan yaitu
teknik yang dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku yang berhubungan dengan
permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.
3.3.2 Teknik Partisipasi
Partisipasi yang dalam istilah
lain terlibat atau keterlibatan, merupakan kegiatan yang wajib dilakukan oleh
peneliti dalam kaitannya dengan penelitian kualitatif dan dalam rangka
pengumpulan data. Kegiatan ini dimaksudkan untuk melihat secara langsung
aspek-aspek dan hal-hal dalam konteks penelitian. ( Maryaeni, 2005 : 68 ).
Dalam teknik partisipasi ini,
direncanakan peneliti akan mengikuti prosesi perkawinan yang dilakukan
masyarakat Suku Banjar.
3.3.3 Teknik Wawancara
Wawancara adalah teknik
pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan
keterangan-keterangan lisan melalui bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan
orang yang dapat memberikan keterangan pada si peneliti. ( Ahmad Eddison, 2007
: 35 ).
Dalam teknik wawancara yang
direncanakan, peneliti akan terlibat langsung dengan kata lain bukan melalui
angket. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat yang ingin
peneliti olah nantinya.
3.3.4 Teknik
Dokumentasi
Teknik dokumentasi
direncanakan akan dilakukan peneliti dengan cara mengumpulkan bukti – bukti dan
data – data yang diperlukan dalam penelitian ini, misalnya berupa foto-foto dan
data-data serta laporan yang berkaitan
dengan penelitian ini.
3.4 Teknik
Analisi Data
Analisa yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisa deskriptif atau pengolahan data kualitatif. Data
yang berupa kata-kata, gambar, dan bukn angka. Laporan penelitian akan berisi
kutipan-kutipan data untuk memberikan
gambaran penyajian laporan. Data tersebut berasal dari naskah wawancara,
catatan lapangan, foto, videotafe, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan
dokumen resmi lainnya. Pertanyaan dengan kata tanya “ mengapa, alasan apa dan
bagaimana terjadinya” senantiasa dimanfaatkan oleh peneliti. (Lexy J.Meleong,
2006 : 11 ).
Analisa data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, analisis data pada penelitian
ini direncanakan menggunakan analisis kualitatif yang berupa tabel. Sedangkan
data-data angka yang digunakan hanya untuk memperkuat analisis kualitatif.
3.5
Instrumen Penelitian
Untuk memudahkan penulisan
dalam penelitian ini, maka dibuat instrument penelitian yang berfungsi sebagai
pedoman dalam penyusunan wawancara.
Tabel 3.2
Variabel
|
Indikator
|
Sub Indikator
|
1.
Tata Cara Adat Perkawinan Masyarakat Suku Banjar di Kecamatan Tempuling
|
1. Tahap Pra Perkawinan
|
a. Basusuluh
|
b. Bapara/Badatang
|
||
c. Ma antar Jujuran
|
||
|
|
c. Bapingit :
- Bakasai dan batimung
- Bapacar
|
2. Tahap Perkawinan
|
a. Nikah
|
|
b. Mandi Badudus
|
||
c. Batamat Qur’an
|
||
d. Batatai
|
||
e. Serah Terima
|
||
|
3. Tahap Pasca Perkawinan
|
a. Naik Mentuhak
|
b. Bailangan
|
||
2. Faktor Penyebab Terjadinya
Perubahan Dalam Tata Cara Adat Perkawinan Masyarakat Suku Banjar di Kecamatan
Tempuling
1. Perubahan lingkungan alam.
2.
Perubahan yag disebabkan oleh adanya kontak dengan suatu kelompok masyarakat lain.
3.
Perubahan yang terjadi karena discovery (penemuan) dan invention
(penciftaan karya bentuk baru).
4.
Perubahan yang terrjadi karena suatu masyarakat atau suatu bangsa mengadopsi
beberapa elemen kebudayaan material yang telah dikembangkan oleh bangsa lain
di tempat lain.
5.
Kontak dengan kebudayaan lain.
6.
Penduduk yang heterogen.
7.
Sistem pendidikan formal
8.
Ketidakpuasan terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
9.Orientasi
masa depan.
10.
Nilai budaya manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki kehidupan.
( Elly M. Setiadi dkk, 2007 :
44 )
|
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Mohammad. 1992. Strategi
Penelitian Pendidikan. Bandung : Angkasa
A.R, Novita. 2007. Skripsi UR. FKIP.
Bakhtiar, Nurhasanah. 2011. Pendidikan
Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi.
Pekanbaru : Universitas Riau.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978. Adat-istiadat Daerah
Kalimantan Selatan. Kalsel : Depdikbud
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa.Edisi ke 4.Jakarta : PT. Gramedia
Eddison, Ahmad. 2007. Metodologi
Penelitian. Pekanbaru : Cendikia Insani
Hartomo & Aziz Arnicun. 1990. Ilmu
Sosial Dasar. Jakarta : Bumi Aksara
Helen. 2007. Sripsi Pergeseran Adat
Perkawinan Masyarakat Melayu-Riau
Berkembang ke Arah Budaya Majemuk ( Multicultural )di Kecamatan
Bukit Batu.Kab.Bengkalis Th.2007.
Haar, Teer. 2001. Asas-asas dan
Susunan Hukum Adat. Jakarta : Pratya Paramita
Koentjaraningrat. 1981. Beberapa
Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : Dian
Rakyat
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar
Ilmu Antropologi. Jakarta : PT.Rineka Cifta.
Maryaeni. 2005. Metode Penelitian
Kebudayaan. Jakarta : Bumi Aksara
Marzoeki, Sjamsir. 2002. Pengantar
Antropologi. Pekanbaru : Aba Persada
Bunda
Mawardi. 2007. Hukum Islam. Pekanbaru
: Cendikia Insani
Melisa, Sela. 2008. Skripsi Perubahan
Tata Cara Perkawinan Masyarakat Banjar
di Kecamatan Tembilhan Kab.Inhil Prov.Riau
Moleong, Lexi. 2006. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rusdakarya
Parnia, Yuli. 2011. Skripsi Pergeseran
Tata Cara Adat Perkawinan Pada Suku
Laut ( Mantang ) di Desa Panuba Kab.Lingga Prov.Kepri.
Setiadi.dkk. 2007. Ilmu Sosial Budaya
dan Dasar. Jakarta : Kencana
Soekanto,
Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar