BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Kronologi
Pembakaran Gereja di Kuantan Singingi
Sepanjang
tahun 2011 setidaknya 4 gereja dibakar massa di kuantan singingi (kuansing).
Yang pertama terjadi pada bulan april selepas pemilihan kepala daerah (PILKADA)
di kabupaten kuantan singing dan tiga gereja lainnya dibakar dalam waktu hampir
bersamaan di bulan agustus silam, tepatnya pada awal bulan ramadhan. Berikut
adalah gereja-gereja yang dibakar massa tersebut:
1) Gereja Katolik di Taluk Kuantan
Sebagaimana
diketahui, dalam Pemilukada KPUD Kuansing hanya menetapkan dua pasangan.
Pertama, Sukarmis sebagai incumbent dengan Zulkilfli. Pasangan selanjutnya,
Mursini dan Gumpita. Hasil rapat pleno KPUD Kuasing telah memenangkan
Sukarmis-Zulkifli.
Hasil rapat pelno tersebut menyulut kemarahan ratusan orang. Massa yang merasa tidak puas, lantas melempari kantor KPUD Kuansing dengan batu. Belum puas juga, massa ini melemparkan bom molotov ke sejumlah rumah pejabat Pemkab Kuansing dan rumah Ketua KPUD Kuansing Namun bom molotov itu tidak sampai membakar rumah tersebut. Massa juga melakukan pembakaran tempat ibadah umat katolik.
Hasil rapat pelno tersebut menyulut kemarahan ratusan orang. Massa yang merasa tidak puas, lantas melempari kantor KPUD Kuansing dengan batu. Belum puas juga, massa ini melemparkan bom molotov ke sejumlah rumah pejabat Pemkab Kuansing dan rumah Ketua KPUD Kuansing Namun bom molotov itu tidak sampai membakar rumah tersebut. Massa juga melakukan pembakaran tempat ibadah umat katolik.
2) GPDI jemaat Ora Et Labora Kampung Air Hitam Pangean
Kejadian
ini ini dimulai ± pukul 22.30 pada tanggal 01 agustus 2011,ada segerombolan
massa diperkirakan seratusan orang dengan membwa senjata tajam maupun senjata
tumpul desertai bensin yang datang ke lokasi gereja dan langsung mendobrak
pintu Gereja sambil berteriak dan menyirami bangunan gereja dengan minyak
bensin yang sudah dipersiapkan. Pada saat yang bersamaan Pdt. A.R Sitinjak
hanya bisa melihat aksi itu dari balik gedung gereja,beliau tinggal di tempat
yang sama (disamping bangunan gereja). Tidak berselang lama api yang disulut
dengan minyak sudah membesar membuat Pdt. A.R Sitinjak dan keluarga yang
tinggal gereja itu ketakutan istri pendeta berkata kepada masa yang membakar
geraja ada apa ini bang, anak – anak kita masih didalam salah seorang masa
menjawab cepat keluarkan nanti kalian ikut kami bakar. Spontan hal ini membuat
suasana hati keluarga pendeta sangat mencekam, perasaan amarah,sedih, berpadu
menjadi satu akibat tindakan yang biadab ini.
Disudut
lain diperkirakan ± 15 menit setelah massa masuk ke lokasi gereja yang
terpencil dan ditengah kebun sawit, tiba mobil patroli polsek pangean. Tetapi
aparat yang ada disana tidak bertindak apa – apa hanya menonton aksi brutal
massa yang membuat teror bagi warga sampai tim ini terjun kelapangan, sambil
menemui seraya menyalam dan barkata; bapak orang batak? Sehat? Dia adalah salah
satu warga yang bermukim tidak jauh dari lokasi pembakaran dan disekitar rumah
beliau mobil patroli diparkir, tetap saja para pak polisi yang seharusnya
menjaga keamanan ikut – ikutan meonton api yang semakin lebat sampai
menghanguskan dan meratakan bangunan dengan tanah.
B. GBKP ( kecamatan logas tanah darat )
Peristiwa yang terjadi di GBKP terjadi setelah
massa berhasil membumi hanguskan bangunan gereja GPDI yang menjadi tempat
beribadah ± 25 kk tersebut. Masa langsung bergerak ke GBKP, masa membagi diri
ada yang langsung ke GBKP yang terletak tidak terlalau jauh dari GPDI dan ada
yang membuat blokade agar tidak ada warga yang memberitahu kepada pihak GBKP
mereka akan kesana. Alhasil strategi massa yang brutal ini berhasil mencegat
satu warga yang diketahui jemaat GPDI, ingin pergi ketempat pihak GBKP.
Dilokasi
GBKP masa langsung melempari gereja tersebut tanpa beban dan pertimbangan, masa
juga bertemu seorang ibu yang kebetulan menjaga rumah seorang pengurus gereja
yang dimana tidak lain saudaranya sendiri. Ketika massa melihat sang ibu, salah
seorang massa langsung bertindak dengan meletakkan pisau ke perut ibu yang
sedang hamil tua ini sambil berkata kau Islam atau Kristen?! Dengan perasaan
shock dan tidak tahu ingin berbuat apa ibu ini terus ketakutan karena semakin
dibentak penyerangnya itu.
Ditempat
yang sama massa yang lain masih dengan senang hati menyiram bensin
ke gedung gereja sambil merusak 2 buah sepeda motor, menjarah 2 unit HP dan sound sistem yang ada. Aksi menyiram bensin dan menyulut api di GBKP yang terletak di tengah – tengah perkebunan sawit ini berhasil juga dilakukan tanpa ada upaya dari POLRI untuk mengatasi massa yang telah menebar teror ditengah – tengah warga kristen didaerah tersebut.
ke gedung gereja sambil merusak 2 buah sepeda motor, menjarah 2 unit HP dan sound sistem yang ada. Aksi menyiram bensin dan menyulut api di GBKP yang terletak di tengah – tengah perkebunan sawit ini berhasil juga dilakukan tanpa ada upaya dari POLRI untuk mengatasi massa yang telah menebar teror ditengah – tengah warga kristen didaerah tersebut.
C. GMI (kampung air Hitam, Kecamatan Pangean)
Pola yang sama dan massa yang sama, perkiraan
waktu yang hampir sama kali ini menimpa GMI yang sebenarnya bisa dikatakan
bertetangga dengan GPDI yang di malam sebelumnya menjadi korban penindasan
kebebasan beragama. Pada malam kejadian di GMI masa yang membawa bensin dan
senjata tajam, juga tanpa babibu langsung melempari dan menyirami bangunan
gereja GMI dengan bensin dan tanpa segan – segan langsung menyulut api sambil
berteriak mengolok – olok waraga kristen yang bisa memancing konflik SARA.
Para
massa yang brutal ini tidak hanya membakar, mengolok olok, dan melakukan
intimidasi sama seperti di 2 gereja sebelumnya. Salah satu ucapan yang sangat
membekas diingatan warga gereja GMI yang memang tinggal disebelah gereja
tersebut adalah ; “Hari ini gereja yang kami bakar tapi esok rumah orang
kristen yang kami bakar beserta kalian, ingat itu!!!”.
Setelah api semkain lebat, tidak ada warga
gereja yang disekitar itu berani memadamkan api, padahal sebenarnya pihak
polisi telah ada setelah ± 15 menit masa sampai dilokasi gereja yang kini telah
hangus, rata dengan tanah. Setelah mereka sukses melakukan misinya menindas
kebebasan beragama mereka ingin bergerak kembali ke pangean polisi berhasil
menagkap 1 orang pelaku aksi brutal, tetapi langsung dibebaskan esoknya.
Informasi
tentang pembebasan ini langsung diucapkan salah satu oknum polisi kepada salah
satu warga sambil mengucapkan kami tidak bisa menahan lama dia karena polsek
pangean akan dibakar.
1.2
Motif Pembakaran Gereja di Kuantan Singingi
Motif
pembakaran 4 gereja yang dilakukan oleh sekelompok massa di kabupaten kuantan
singingi akhirnya diketahui pihak kepolisian. Gereja katolik yang dibakar pada
bulan april 2011 yang lalu diduga dilakukan karena kekecewaan massa terhadap
hasil pemilukada kuantan singing. Sebagai mana diketahui bahwa dalam hasil
penghitugan suara pemilukada kuantan singingi pasangan sukarmis-zulkifli
ditetapkan sebagai bupati terpilih dalam siding pleno KPUD kuantan singing.
Massa yang
tidak puas dengan keputusan ini kemudian melakukan pengrusakan dibeberapa titik
di kuantan singingi, seperti pengrusakan rumah ketua KPUD kuantan singingi,
pembakaran pos polisi dan pembakaran gereja katolik di taluk kuantan.
Sedangkan
pembakaran tiga gereja lainnya adalah karena kehadiran rumah ibadah itu tidak
disetujui masyarakat setempat. Namun, saat ini keadaan daerah yang sempat
mencekam karena aksi pembakaran tersebut, sudah kondusif.
“Masyarakat pada intinya tidak setuju ada
rumah Ibadah di daerah tersebut. Daerah sana kan mayoritas muslim, dan di Kabupaten Kuansing juga mayoritas
muslim. Hasil olah TKP (tempat kejadian perkara) di lapangan seperti itu,” ujar
Kapolres Kuansing, Ristiawan Bulkaini, melalui ponselnya kepada SH, Senin (8/8).
Ia menjelaskan, kini daerah itu dalam keadaan kondusif
setelah dilakukan kesepakatan pada Kamis, (4/8), yang dihadiri perwakilan
jemaat Kristen dan unsur pimpinan kabupaten (Upika), anggota DPRD, dan camat
Pangean, Kabupaten Kuansing.
Dalam kesepakatan tersebut, kata Ristiawan, disebutkan bahwa
agama Kristen akan tetap beribadah seperti biasa tapi tidak boleh mengundang
jemaat dari luar Desa Pangean, dan tidak boleh beribadah secara
ramai-ramai.Selanjutnya, rumah tempat ibadah tidak boleh dijadikan sebagai
gereja di Desa Pangean, kecuali jika sudah mendapat izin dari pemerintah daerah
(Pemda) setempat.
Yang terakhir, sepakat menyelesaikan masalah tersebut
antarkedua belah pihak dan tidak menuntut di kemudian hari. Penandantangan
kesepakatan itu hanya diwakili Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) dan Gereja
Methodist Indonesia (GMI), minus Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), serta
diketahui unsur Upika dan anggota DPRD Kabupaten Kuansing.
Menanggapi kesepakatan tersebut, menurut salah satu pimpinan
Gereja yang dibakar, kesepakatan yang dibuat bukan mencerminkan kebebasan
beragama dan berkeyakinan yang diamanatkan UUD 1945. “Kesepakatan yang dibuat
sama saja upaya untuk melarang beribadah dan mendirikan gereja,” tegas Goklas
Tambunan, kepada SH, Senin, (8/8).Ia menambahkan, kesepakatan tersebut, bukan tidak mungkin
dilakukan di bawah tekanan para jemaat gereja yang hadir. “Kami berharap ada
perhatian pemerintah. Kami bukan minta ganti rugi, tapi hak kita sebagai warga
negara untuk beribadah yang dituntut,” jelasnya.
Hal senada juga disampaikan anggota Fraksi Partai Golkar dari
DPRD Riau, Abubakar Sidik, yang berpendapat bahwa pemerintah harus mengayomi
warganya. Artinya, harus meluruskan permasalahan yang menimpa warganya dan
menampung keinginan masyarakatnya, ujar Sidik di sela hearing DPRD, Sabtu, (6/8) malam.Ia menjelaskan, pembakaran
rumah ibadah dan apapun namanya, harus ditindak secara hukum. “Harus dibuat
efek jera bagi mereka yang dikategorikan tindak kriminal. Kepolisian harus usut
tuntas,” tegasnya.
Sementara menanggapi pelaku pembakaran Gereja Katolik pada
April 2011, pelaku yang berjumlah delapan orang telah dijebloskan ke penjara.
“Jadi tidak benar Polres Kuansing membebaskan pelaku-pelakunya,” ujar Ristiawan
membantah pertanyaan SH, menepis rumor tentang pelaku menjadi tersangka pada pembakaran Gereja
Katolik lalu dilepas.
Seperti diketahui, ada tiga gereja dibakar dalam waktu dua
hari berturut-turut di Kabupaten Kuansing, Riau. Gereja tersebut yakni dan GMI,
tepatnya di Desa Pasar Baru Air Hitam, Kecamatan Pangean, Kabupaten Kuansing,
dan satu GBKP di Desa Logas Tanah Darat, Kecamatan Perhentian Luas, Kabupaten
Kuansing.
2.3 Tanggapan Beberapa Tokoh Mengenai Tragedi Pembakaran
Gereja di Kuansing
1)
Tanggapan Gubernur Riau
Gubernur Riau Rusli Zainal menilai,
pembakaran gereja katolik di Taluk Kuantang, ibukota Kabupaten Kuatan Singingi
(Kuansing) bukan karena terkait SARA. Tapi aksi brutal massa itu dipicu
persoalan hasil penghitungan suara dalam Pemilukada setempat.
Hal itu disampaikan Gubernur Riau, melalui juru bicaranya, Kepala Biro Humas Pemprov Riau,Chairul Riski dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (11/04/2011).
Riski menyampaikan, Rusli sangat menyangkan kerusuhan massa yang terjadi akibat tidakpuasnya hasil penghitungan suara dalam rapat pleno KPUD setempat.
"Kita sangat menyangkan sekali kerusuhan yang terjadi. Pembakaran gereja yang dilakukan massa, kita yakini bukan karena didasari unsur SARA. Ini karena ulah sekelompok massa yang tidak puas atas keputusan rapat pleno KPUD," kata Rusli sebagaimana disebutkan juru bicaranya, Riski.
Hal itu disampaikan Gubernur Riau, melalui juru bicaranya, Kepala Biro Humas Pemprov Riau,Chairul Riski dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (11/04/2011).
Riski menyampaikan, Rusli sangat menyangkan kerusuhan massa yang terjadi akibat tidakpuasnya hasil penghitungan suara dalam rapat pleno KPUD setempat.
"Kita sangat menyangkan sekali kerusuhan yang terjadi. Pembakaran gereja yang dilakukan massa, kita yakini bukan karena didasari unsur SARA. Ini karena ulah sekelompok massa yang tidak puas atas keputusan rapat pleno KPUD," kata Rusli sebagaimana disebutkan juru bicaranya, Riski.
Riski menyampaikan, Rusli meminta semua pihak untuk dapat
menahan diri. Selama ini Riau termasuk Kabupaten Kuansing dinilai sangat
kondusif dalam kerukunan antar umat beragama. Kiranya pembakaran gereja katolik
ini tidak dipandang sebagai sentimen SARA.
"Semua pihak jangan terpancing provokator dalam Pemilukada apa lagi sampai terpancing dalam persoalan SARA," kata Riski mengutip keterangan Rusli.Selain itu, kata Riski, pihaknya juga menyangkan aksi brutal massa yang telah merusak Pos Dishub dan aksi teror lainnya.
"Semua pihak jangan terpancing provokator dalam Pemilukada apa lagi sampai terpancing dalam persoalan SARA," kata Riski mengutip keterangan Rusli.Selain itu, kata Riski, pihaknya juga menyangkan aksi brutal massa yang telah merusak Pos Dishub dan aksi teror lainnya.
Melalui Riski, Rusli berpendapat, dalam pelaksanaan demokrasi
terkait Pemilukada, akan dihadapkan kalah dan menang. Karenanya semua pihak
harus saling menghormati sebuah keputusan demokrasi tersebut."Sudah
semestinya, siapa pun yang kalah dalam Pemilukada harus bisa diterima dengan
lapang dada. Siapa pun yang menang, semuanya untuk kepentingan masyarakat.
Cara-cara anarkis hanya kerena kalah bertarung jelas tidak kita inginkan, malah
hal itu sudah merupakan tindakan yang melawan hukum," kata Riski mengutip
pendapat Rusli.
2). Tanggapan Anggota
DPR
Tragedi pembakaran
rumah ibadah Kristen di Kabupaten Kuantan Singingi mendapat sorotan kalangan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Politisi Senayan
menilai aksi kriminal tersebut sebagai bukti kelalaian pemerintah dan aparat
hukum dalam mengawal dan menjamin kebebasan umat beragama."Ini kejadian
memilukan dan memukul rasa kemanusiaan sebagai sesama anak bangsa. Pemerintah
jangan mengabaikan kejadian ini," kata anggota DPR RI, Ian Siagian kepada
Tribun, Kamis (11/8/2011) siang lewat sambungan telepon.Menurut Ian, tidak ada
dasar dan legalitas kelompok massa, atas alasan apapun untuk membenarkan
pembakaran rumah ibadah. Termasuk soal perizinan yang belum dimiliki oleh
pengguna rumah ibadah. Ia menegaskan, pemerintah bertanggung jawab melakukan
fasilitasi bila memang masyarakat mengalami kendala dalam pengurusan izin."Harus
ada investigasi dan penyidikan yang serius terhadap persoalan ini. Aparat harus
segera menangkap pelaku dan aktor intelektual yang memprovokasi massa. Ini
tidak kejadian biasa, tetapi cenderung merupakan pelanggaran HAM," tegas
Ian yang terpilih sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Riau.Sebelumnya,
Pada 2 Agustus dan 3
Agustus lalu, kelompok massa melakukan pembakaran rumah ibadah yakni Gereja
Pentakosta di Indonesia (GPdI), Gereja Metodis Indonesia (GMI) dan Gereja Batak
Karo Protestan (GBKP) di Kuantan Singingi, Riau. Pada April lalu, sebuah gereja
Katolik juga dibakar massa di daerah yang sama.Politisi PDI Perjuangan ini
menegaskan, akan membawa kasus tersebut ke ranah nasional, jika pemerintah
daerah dan aparat penegak hukum tidak segera melakukan proses hukum. Ia
mendesak, pemerintah dan aparat segera menghentikan aksi kriminal yang menyerang
kebebasan umat beragama."Tanggung jawab pemerintah dalam memfasilitasi
peribadahan. Dan kewajiban aparat serta negara dalam memberikan rasa aman
kepada warga negara," tegas Ian. (ran/tribun-pekanbaru.com)
3).Tanggapan
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT), Abdulkadir Makarim mengecam mengecam aksi pembakaran
gereja Katolik di Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau yang terjadi
kemarin. "Kita mengecam keras aksi pembakaran gereja yang terjadi di Riau,"
kata Abdulkarim di Kupang, Selasa (12/4).Menurut dia, pelaku pembakaran gereja
di Riau tersebut adalah orang yang ingin merusak hubungan untuk menyatukan
bangsa dan negara ini. Karena itu, dia mendesak pelaku pembakaran segera
ditangkap dan diproses sesuai hukum yang berlaku.Dia menyarankan agar pelaku
pembakaran gereja diberikan hukuman yang seberat-beratnya sehingga menjadi
pelajaran agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi. "Ini merupakan
tindakan amoral yang tidak bisa ditolerir lagi, dan harus dihukum
setimpal," katanya.
Kecaman
serupa juga dilontarkan Gubernur NTT, Frans Lebu Raya. "Kita mengecam
tindakan itu, karena mengganggu kebersamaan dan persaudaraan yang terus dirajut
untuk membangun negeri ini," kata Lebu Raya.Pembakaran gereja yang terjadi
di Riau, menurut dia, bisa memicu solidaritas di daerah ini. Karena itu,
gubernur meminta agar masyarakat menyikapinya dengan tenang, dan terus menjaga
suasana yang kondusif di daerah ini, sehingga daerah lain bisa melihat bahwa
dengan keanekaragaman yang ada, NTT tetap rukun."Mari kita jaga suasana
yang kondusif, dan menunjukan ke daerah lain bahwa daerah ini tetap
rukun," katanya.Dia menyarankan agar semua pihak berpikir lebih jernih
untuk menyelesaikan masalah. Dibanding mendorong tindakan-tindakan anarkis,
apalagi sampai membakar rumah ibadah. "Kita harus biasakan diri untuk
selesaikan dengan kepala dingin. Duduk bersama mencari solusi terbaik,"
katanya.(tempointeraktif.com)
2.4Tingkat Kerukunan Hidup Beragama di Riau
Dewasa ini bangsa Indonesia sedang mengalami
ujian yang cukup berat, mengingat persoalan-persoalan bangsa dan umat beragama
telah terganggu yakni dengan terjadinya konflik-konflik yang melanda beberapa
wilayah, antara lain NAD (Nanggroe
Aceh Darussalam), Poso dan Ambon. Hal ini tidak boleh kita biarkan sedemikan
rupa, sebab dikhawatirkan persoalan ini akan menjalar ke daerah-daerah lainnya
yang pada gilirannya akan mengancam timbulnya disintegrasi bangsa.
Walaupun kecendrungan disintegrasi bangsa
yang muncul belakangan ini bukan semata-mata disebabkan oleh faktor perbedaan
ideologi dan keyakinan agama, namun lebih didorong adanya ketidak-puasan
masyarakat dalam penyelesaiaan kasus-kasus ekonomi, sosial dan politik, dan
sentralnya adalah pada kondisi yang kurang adil dan kurang proporsional dalam
menyelesaikan konflik-konflik sosial dalam masyarakat luas, namun beberapa
fakta di lapangan menunjukkan telah terjadi konflik yang melibatkan umat
beragama dan memakai slogan agama.
Kondisi seperti tersebut di atas tidak
menutup kemungkinan akan terjadi di Propinsi Riau sebab Propinsi Riau adalah
salah satu daerah yang cukup heterogen baik dari segi ummat beragama maupun
dari segi etnis dan budaya. Hal itu dapat dilihat dari penduduk Propinsi Riau
yang berjumlah sebanyak 5.405.990 jiwa dengan keragaman pemeluk sebagai berikut
:
1. Islam : 4.714.982 (87,20 )
2. Protestan : 237.413 (4,40 )
3. Katolik : 82.966 (1,50 )
4. H i n d u : 9.007 (0,20 )
5. B u d h a : 350.572 (6,50 )
6. Lain-Lain : 11.050 (0,20 )
Ummat beragama tersebut di atas, memiliki
rumah ibadah yang cukup banyak dengan perincian sebagai berikut :
1. Rumah Ibadah Islam : 11.481 buah
2. Rumah Ibadah Protestan : 1.194 buah
3. Rumah Ibadah Katolik : 246 buah
4. Rumah Ibadah Hindu : 8 buah
5. Rumah Ibadah Budha : 340 buah
Jumlah : 13.269 buah
Untuk memantapkan kerukunan hidup umat
beragama perlu dilakukan suatu upaya-upaya yang mendorong terjadinya kerukunan
hidup umat beragama secara mantap dalam bentuk :
1. Memperkuat dasar-dasar kerukunan intern dan antar umat
beragama, serta antara umat beragama dengan pemerintah.
2. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam
bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun
dalam bingkai teologi dalam menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi.
3. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif dalam
rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama yang
mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup intern dan antar umat beragama.
4. Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya
nilai-nilai kemanusian dari seluruh keyakinan plural umat manusia yang
fungsinya dijadikan sebagai pedoman bersama dalam melaksakan prinsip-prinsip
berpolitik dan berintegrasi sosial satu sama lainnya dengan memperlihatkan
adanya sikap keteladanan. Dari sisi ini maka kita dapat mengambil hikmahnya
bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu selalu tidak formal akan mengantarkan nilai
pluralitas kearah upaya selektifikasi kualitas moral seseorang dalam komunitas
masyarakat mulya(Makromah), yakni komunitas warganya memiliki kualitas
ketaqwaan dan nilai-nilai solidaritas sosial.
5. Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang
implementatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai-nilai ketuhanan,
agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan nilai-nilai sosial kemasyarakatan
maupun sosial keagaman.
6. Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama
dengan cara menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain,
sehingga akan tercipta suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengaruhi oleh
faktor-faktor tertentu.
7. Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam
kehidupan bermasyarakat, oleh sebab itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik yang
dapat memperindah fenomena kehidupan beragama.
Adapun langkah-langkah yang harus diambil
dalam memantapkan kerukunan hidup ummat beragama, diarahkan kepada 4(empat)
strategi yang mendasar yakni :
1. Para pembina formal termasuk apatur pemerintah dan para
Pembina non formal yakni tokoh agama dan tokoh masyarakat merupakan komponen
penting dalam pembinanaan kerukunan antar umat beragama.
2. Masyarakat umat beragama di Indonesia yang sangat
heterogen perlu ditingkatkan sikap mental dan pemahaman terhadap ajaran agama
serta tingkat kedewasaan berfikir agar tidak menjurus kesikap primordial.
3. Peraturan pelaksanaan yang mengatur kerukunan hidup umat
beragama perlu dijabarkan dan disosialisasikan agar bisa dimengerti oleh
seluruh lapisan masyarakat, dengan demikian diharapkan tidak terjadi kesalah
pahaman dalam penerapan baik oleh aparat maupun oleh masyarakat, akibat adanya
kurang informasi atau saling pengertian diantara umat beragama.
4. Perlu adanya pemantapan fungsi terhadap wadah-wadah
musyawarah antar umat beragama untuk menjembatani kerukunan antar umat
beragama.
Dalam upaya memantapkan kerukunan hidup
antar umat beragama, hal yang cukup serius kita perhatikan yakni fungsi pemuka
agama / tokoh agama / tokoh masyarakat. Diakui secara jujur bahwa masyarakat
kita yang regelius memandang bahwa pemuka agama / tokoh agama / tokoh
masyarakat adalah figur yang dapat diteladani dan dapat membimbing, sehingga
apa yang diperbuat oleh mereka akan dipercaya dan diikuti secara taat dan
loyal.
Kerukunan antar umat beragama dikalangan
masyarakat ternyata masih belum sempurna, bahkan dapat kita katakana kerukunan
yang semu. Seperti yang terjadi di Poso, Ambon dan lain-lain. Keadaan semacam
itu bila dikaji secara mendalam akan berdampak terhadap kerukunan umat
beragama. Tokoh agama masih dihinggapi perasaan interest tertentu, misalnya
dalam menanggapi kasus-kasus Perjanjian Malino II, dan kejadian di berbagai wilayah di
tanah air Indonesia.
Hal-hal semacam ini berakibat umat beragama
menjadi pecah atau terancam kerukunanya, sehingga dalam memahami hal-hal
seperti ini peranan agama dan politik perlu ditingkatkan terutama bagi para
tokoh agama / tokoh masyarakat. Demikian pula tokoh-tokoh agama sangat berperan
dalam membina umat beragama, oleh karena itu mereka harus ditingkatkan
pengetahuan dan wawasannya dalam pengetahuan agama, sebab yang mempunyai kecenderungan
kurang rukun adalah kelompok umat beragama.
Jika pemuka-pemuka agama tidak bisa memahami
dan meneladankan atas perbedaan dan persamaan antar agama kepada masyarakat,
maka akan timbul kasus-kasus yang mengakibatkan terjadinya kerawanan, antara
lain konflik intern umat beragama maupun antar umat beragama serta antara umat
beragama dengan pemerintah, yang dimanfaatkan oleh golongan ekstrim dalam
bentuk adu domba / memecah belah.
Adapun penyebab terjadinya konflik antar
ummat beragama adalah disebabkan tiga faktor utama yaitu :
1. Faktor ekonomi dan politik.
Faktor ini sangat dominan sebab terjadinya
kerusuhan sosial di berbagai daerah di negeri ini adalah disebabkan
ketidakpuasan kalangan masyarakat terhadap terjadinya kesenjangan sosial yang
sangat tajam antara si kaya dengan si miskin, antara pejabat dengan rakyat
jelata, antara ABRI dengan sipil, antara majikan dengan
buruh, antara pengusaha besar dengan pedagang kecil, sebagai akibat dari
kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang sosial, politik dan ekonomi yang
tidak memihak kepada masyarakat bawah. Ketidakpuasan tersebut diwujudkan dalam
bentuk protes-protes sosial yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan sosial,
ditambah lagi dengan bumbu-bumbu agama yang menopang untuk melegitimasi
aksi-aksi tersebut.
2. Faktor agama itu sendiri yang meliputi :
a. Pendirian Rumah Ibadah yang tidak didirikan atas dasar
pertimbangan situasi dan kondisi ummat beragama serta peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b. Penyiaran Agama yang dilakukan secara agitatif dan
memaksakan kehendak bahwa agamanyalah yang paling benar, sedangkan agama orang
lain adalah salah. Lebih berbahaya lagi manakala penyiaran agama itu sasaran
utamanya adalah orang yang telah menganut agama tertentu.
c. Bantuan Luar Negeri baik berupa materi maupun berupa
tenaga ahli yang tidak mengikuti ketentuan yang berlaku, apalagi sering terjadi
manipulasi bantuan keagamaan dari luar negeri.
d. Perkawinan Berbeda Agama yang sekalipun pada mulanya
adalah urusan peribadi dan keluarga, namun bisa menyeret kelompok ummat
beragama dalam satu hubungan yang tidak harmonis, apalagi jika menyangkut
akibat hukum perkawinan, harta benda perkawinan, warisan dan sebagainya.
e. Perayaan Hari Besar Keagamaan yang kurang memperhatikan
situasi, kondisi, toleransi dan lokasi tempat pelaksanaan perayaan itu. Apalagi
perayaan itu dilakukan secara besar-besaran dan menyinggung perasaan.
f. Penodaan Agama dalam bentuk pelecehan atau menodai doktrin
dan keyakinan suatu agama tertentu baik dilakukan oleh perorangan maupun
kelompok. Penodaan agama ini paling sering memicu terjadinya konflik antar
ummat beragama.
g. Kegiatan Aliran Sempalan, baik dilakukan perorangan maupun
oleh kelompok yang didasarkan atas sebuah keyakinan terhadap agama tertentu
namun menyimpang dari ajaran agama pokoknya.
3. Faktor lokalitas dan etnisitas.
Faktor ini terutama muncul sebagai akibat
dari migrasi penduduk, baik dari desa ke kota maupun antar pulau. Selanjutnya
masalah etnisitas, Indonesia memiliki potensi disintegratif yang tinggi sebab
terdiri dari 300 kelompok etnis yang berbeda-beda dan berbicara lebih dari 250
bahasa. Faktor ini akan menjadi pemicu dengan menguatnya etnisitas seperti
penduduk asli atau putra daerah dan pendatang yang dengan mudah dapat menyulut
perbedaan-perbedaan yang tak jarang berujung pada konflik, bahkan kerusuhan
sosial.
Untuk melakukan pencegahan terhadap
terjadinya konflik sosial atau konflik antar ummat beragama maka dapat
dilakukan upaya-upaya pencegahan sebagai berikut :
1. Meningkatkan tarap hidup masyarakat yang dibarengi dengan
perbaikan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berorientasi kepada kepentingan
masyarakat, sebab dalam kenyataannya konflik yang terjadi di Indonesia pada
dasarnya adalah disebabkan faktor ekonomi dan politik, bukan faktor agama itu
sendiri, namun agama dipakai sebagai alat justifikasi dan legitimasi.
2. Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pengaturan agama-agama (bukan ajaran/doktrin agama) kepada
masyarakat sehingga masyarakat mengetahui secara pasti tentang tata caranya
seperti tata cara pendirian rumah ibadah, tata cara penyiaran agama, tata cara
penerimaan bantuan luar negeri untuk kepentingan agama dan lain-lain
sebagainya.
3. Menguatkan kesadaran masyarakat tentang saling memahami
dan menghormati posisi masing-masing dan mengedepankan persamaan daripada
mempertajam perbedaan.
4. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa sesungguhnya
agama itu adalah berasal dari yang satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan ummat
manusia itu juga adalah berasal dari nenek yang satu yaitu Nabi Adam as.
5. Memberdayakan institusi keagamaan sehingga dapat lebih
mempererat institusi persaudaraan dan memperekat kerukunan antar ummat
beragama.
6. Melayani dan menyediakan kemudahan beribadah bagi para
penganut agama dan tidak mencampuri urusan akidah / dogma dan ibadah sesuatu
agama serta melindungi agama dari penyalahgunaan dan penodaan.
7. Mengembangkan wawasan multi kultural bagi segenap lapisan
dan unsur masyarakat melalui jalur pendidikan, penyuluhan dan riset aksi.
8. Mendorong, memfasilitasi dan mengembangkan terciptanya
dialog kerjasama antar pimpinan majelis-majelis dan organisasi keagamaan dalam
rangka untuk membangun toleransi dan kerukunan antar ummat beragama.
9. Fungsionalisasi pranata lokal seperti adat istiadat,
tradisi dan norma-norma sosial (budaya melayu) yang mendukung upaya kerukunan
ummat beragama.
10. Melakukan penegakan hukum (Lou Enforcement) terhadap
oknum-oknum yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam
kerusuhan sosial dan konflik antar ummat beragama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar