Ku akui
Aku terjaga dari tidur ku, alarm ku
terus saja berdering. Ku raih ponsel brisik itu, tanpa membuka mata, ku tekan
keras-keras tombol keypadnya. Aku tidak tahu entah tombol apa yang ku tekan,
yang jelas alarm itu langsung berhenti, kemudian ke lempar ponsel itu.
Kini aku kembali ngorok, aku berharap dapat
melanjutkan mimpi tadi, tetapi alarm sialan itu membangunkan ku. Aku
benar-benar kesal dan marah, kenapa aku lupa me non-aktifkan alarm itu kemaren.
Padahal aku tadi bermimpi sangat indah, aku bermimpi bertemu kakekku. Dalam
mimpi aku itu kakekku berada di suatu tempat jauh yang berwarna putih, dia
memanggilku dan di sampingnya berdiri pria muda yang tak ku kenal. Dia
melambaikan tangan. Ku balas lambaian itu.
Drrrrrrr....drrrrrrr....drrrrrr
Aku kembali terjaga dari tidurku, sekarang
bukan suara alarm melainkan panggilan. Entah siapa yang menelpon ku pagi-pagi
begini. Dengan mata tertutup ku raih ponsel ku, ku paksa mataku untuk terbuka.
Di layar ponsel ku tertera nama pemanggil yang sanagat ku kenal. Dia adalah
temanku.
“Mia, ????oh my god. Aku kan ada
janji hari ini.”Gerutu ku pada diri sendiri.
“Hallo, ya Mia. Sorry, aku baru bangun
nih.. .” Kata ku pada Mia.
“Hallo. Kamu nih..bagaimana sih???Lihat jam, sekarang nih udah jam berapa?”
celoteh Mia di sebrang sana. Dari nada
bicaranya pasti Mia sedang kesal padaku.
“Jam 8.30. Aduuh..sorry, alarm ku tak
bunyi. Jadi gimana donk?” Kata ku lagi sedikit berbohong, tujuannya, mau
nyelamatkan diri dari amukan Mia sih. Hehheee,,
“Cepat mandi, 30 menit lagi aku jemput kamu
ke rumah.”Ujar Mia dan panggilan pun diputus Mia tanpa memberikan kesempatan
untuk ku bicara. Aku bergegas melompat dari tempat tidur berlari menuju kamar mandi, ku sambar
handuk yang tergantung di atas kursi. Yah...hanya 30 menit waktu yang kugunakan
untuk mandi, berpakaian, dandan dsb.
Di halaman rumahku terdengar klakson
panjang, pasti lah isyarat bahwa waktu 30 menit
sudah over. Ku raih sepatu
di rak dan ku sambar tas kecil cokelat yang tergantung di dinding dan setengah
berlari aku membuka pintu. Di luar sudah ku lihat Mia yang telah rapi dan
cantik dengan solekan games batik berwarna ungu dipadukan dengan lilitan
kerudung pasmina bermotif bunga, wajahnya berseri-seri dihiasi riasan
make up tipis dan lipgloss pink menambah keanggunan temanku ini.
“Hei..kamu mau bawa handuk mandi ya???”
Tanya Mia.
“Oh,..gila..ck.ck.” Umpatku pada diri
sendiri. Yang benar saja, aku sampai lupa kalau handuk mandi ku masih melingkar
di leherku. Seperti musim dingin di korsel saja. Ku taruh handuk itu di
jemuran.
“Let’s go, mamen.” Ucapku. Mia
tersenyum dengan kalimat ku itu, lalu kamipun tancap gas to the campus.
“Yahhhh...macet.”Keluh Mia.
“Ya iyalah. Namanya aja kota, Emanknya nih di kampung? Belum jadi kota
metropolitan sudah begini.” Komentar ku.
“Terus???gue harus bilang wooooow gitu sama lho????”“ Potong Mia jutek.
Kalau dia sudah komentar begitu, aku sudah malas berkomentar lagi.
Ku perhatikan deretan panjang tanpa putus
kendaraan bermotor memenuhi jalan, suara klakson panjang dan sahut- menyahut menambah
kebisingan. Telingaku terasa pekak. Mia
mengendari sepeda motor begitu gesit, lincah seperti tarian ular yang
meliuk-liuk, mendahului dan menyalib beberapa mobil dan truck. Tetapi
aku sama sekali tidak takut, bagiku seperti naik odong-odong ketika kecil dulu.
30 menit kami tempuh perjalanan menembus
kemacetan dan kini kami tiba di kampus tepatnya di lokasi acara ceremony
wisuda.
“Wow...ramai sekali.”Decak Mia. Kami
berjalan lebih kurang tiga ratus meter dari tempat parkir menuju tenda lokasi.
Berkali-kali ku lihat Mia hampir terpleset karena high hill nya
menginjak krikil.
Aku dan mia mencari tempat keluarga
berkumpul. Akhirnya kami menemukan mereka duduk rileks di batu nisan. Eh,.tikar
“Kalian nih kok lama sekali baru sampai??”
Tanya tante Sarah.
“Si codot nih telat bangun, nte.” Jawab Mia
sambil memukul pundak ku.
“Maaf tante.” Sela ku. Tante Sarah, om Ros
dan bang Uri hanya tersenyum kecil.
“ Belum mulai ya acaranya, om???” Tanya
Mia.
“Ya..beginilah negara kita. Dimana-mana,
acara apa aja sukanya makai jam karet.” Jawab om ros sambil mengangkat bahu. Benar juga, aku pun
mengakuinya. Seingat aku, setiap acara yang ku hadiri belum pernah yang on
time, baik di kampus ataupun di masyarakat, mulai dari acara non-formal,
misalnya acara selamatan sampai pada acara formalnya.
“Kalian mau duduk di sini atau di tenda?”
Tanya tante sarah. Aku dan mia berpandangan.
“Di sini saja.” Jawab ku dan mia serempak.
“ Kayak paduan suara aja. Ya sudah, kami ke
tenda ya.” Komentar tante sarah akhirnya.
“Bang Uri, selamat dan sukses ya.” Kata ku
pada bang Uri sambil menjabat tangannya.
“Huuu...telat ngucapin nya. Tapi, ya..thanks
ya.” Sahut bg Uri pura-pura marah, kemudian dia melangkah menuju tenda dan
bergabung dengan wisuda lainnya.
Sekarang hanya kami berdua duduk di tikar
yang ukurannya cukup luas. Begitu membosankan. Sedangkan Mia sibuk dengan
ponselnya, kadang ol, kadang nulis SMS sambil senyum-senyum dan terkadang juga
ngomong sendiri dan tertawa-tawa, ya..maksud ku dia lagi telpon-an. Sedangkan
aku bingung mau ngapain, mau SMS an, malas, mau ol, hp BB senter. Akhirnya aku
hanya bisa memperhatikan lalu-lalang orang yang hilir mudik. Ku lihat setiap
keluarga rata-rata memakai seragam yang sama, mulai dari kakek dan nenek sampai
balita yang digendongan pun makai seragam kembar. Riasan wajah kaum hawa pun
beragam, ada yang pakai make up menor, tebalnya satu inchi mungkin, mengalahkan riasan yang
wisuda. Riasan rambut dan kerudung pun sangat beragam. Yahh..namanya saja moment
penting dan spesial, tentu saja mereka merayakannya dengan berbagai persiapan
yang ekstra juga.
Entah berapa lama aku memperhatikan
orang-orang yang ada di sekitar ku yang terus lalu lalang. Mata ku tertuju pada
sekelompok pria yang berdiri beberapa meter tidak jauh dari tempat ku, mereka
berjumlah empat orang. Ku perhatikan mereka satu persatu.
“Style sih wajib, ngikut trend
pada dasarnya harus.” Celetuk ku.
“Deska, kamu bicara sama siapa?”Tanya Mia.
“Ya sama kamu lah. Sama siapa lagi?Sama
pohon?” Jawab ku nyerocos.
“Maksud aku, kamu ngomentari apa an tadi,
aku dengar jutek banget.” Ujar mia mulai kritis alias ingin tahu. Aku berbisik
pada Mia.
“Oh..cowok-cowok yang empat orang
itu???”Komentar mia. Aku langsung menutup mulut mia.
“Gila kamu. Kalau mereka dengar gimana??”
Ujar ku sebal.
“Kamu sih. Heh..tak selera ku macam
gituan.” Kata mia menimpali.Nge-sok pula mia.
“Iya. Aku tau. Selera kamu kayak k-pop gitu
kan. Mimpi.” Sindir ku.
“Pasti mereka mahasiswa Fisip, dandanan nya
khas banget.” mia menebak.
“Kamu sok tau.” Dengus ku. Mia hanya
mengangkat alis. Kini dia mulai disibukan kembali dengan ponselnya. Aku pun
sibuk dengan objek observasi ku tadi yang sempat terganggu.
Mata ku tertuju pada objek terakhir. Entah
apa sebabnya tiba-tiba jantungku berdegup kencang seperti tersengat aliran
listrik. Pria yang ini begitu spesial menurut pengamatan mataku, entah kenapa
objek yang satu ini begitu menarik dan punya daya tarik tuk diobservasi. Dia
memiliki badan kurus dan cukup tinggi tetapi tidak terlalu ceking, memakai
kemeja pendek berwarna hitam dipadukan dengan celana jeans abu-abu
sepadan dengan sepatu berwarna abu-abu dengan sedikit garis-garis hitam
menambah keren deh. Kulitnya standar lah, tetapi diantara teman-temannya dia yang paling
putih. Wajahnya tirus tetapi cukup mulus alias tanpa jerawat seperti
teman-temannya, hidungnya mancung dengan mata teduh, alis sedikit tebal dan
bibir yang tipis. Ku lihat sesekali dia tersenyum mendengarkan obrolan
temannya, yah..terlihatlah giginya yang putih berjejer rapi. Detak jantung ku
semakin kencang ketika aku tertangkap
basah olehnya sedang melihat mereka. Entah apa yang mereka bicarakan, mungkin
saja ngomongin aku, yang jelas sesekali mereka juga melihat ke arah ku.
Waktu terus berlalu, detik menjadi menit,
jam, hari, minggu,dan bulan. Setelah ceremony wisuda sepupuku itu, aku masih ingat wajah
dia. Aku rasa aku ini benar-benar bodoh, atau sudah tidak waras. Duuh..kenapa
aku tidak mensyukuri apa yang tuhan anugerahkan pada ku?yaaa...aku sudah punya
mas Lukas yang begitu menyayangiku, kebanggaan ortu ku, namun kenapa aku masih
berharap dan memikirkan pria lain yang sama sekali namanya saja aku tidak
tahu.Aku pernah curhat masalah ini pada
mia.
“Kalo dia nembak mu, kamu siap mutuskan
lukas?”Tanya mia mengujiku.
“Tentu saja.hahahha”Jawab ku konyol.
“Des, please. Jangan begitu pada
lukas. Kau harus bisa menahan cinta aneh mu itu, ku rasa itu bukan cinta, kamu
sekedar mengaguminya saja. Coba kamu fikir, apa kamu pernah bertemu dia
lagi?siapa tahu dia arwah gentayangan.” Nasehat mia mengingatkan ku. Sebenarnya
aku akui yang dikatakan mia itu ada benarnya, aku begitu naif pada kenyataan.
Kalau ada jodoh pasti ketemu. Itulah kalimat yang menghiburku. Begitu jahat dan
egoisnya aku. Perasaan ku pada lukas sudah tawar, setiap obrolannya ditelpon
begitu hambar dan membosankan, gurauannya pun garing. Inikah yang
dikatakan selingkuh tak berwujud alias selingkuh hantu??entahlah. Akupun tidak
tahu apa sebutannya.
Jam menunjukan pukul lima sore, aku sudah
siap go ke rumah friendship ku yaitu mia.
“Deska. Belikan mama gula pasir sebentar.”
Ku dengar suara mama dari dapur.“Tapi ma, aku mau pergi.”Jawab ku.
“Kamu tak boleh bawa motor kalau tak mau
belikan gula.”ancam mama.
“Yah..mama. Tiap hari nindas anak
memperalat motor, ntar aku beli sendiri. “ Omel ku.
“Huh. Emank kamu punya duit?cepatlah beli
gula..” Balas mama. Aku tidak meladeni ocehan mama, kalau diladeni bakalan
panjang ceritanya. Tetapi walaupun begitu mama ku adalah wanita terhebat
menurut ku. Aku sangat menyayanginya.
Aku berkendara begitu pelan, hanya 20/km.
Aku mengambil jalan pintas, tentu saja aku harus menyusuri jalan cukup jauh dan
yang ku lalui gang sempit serta bau untuk sampai ke rumah mia.Entah berapa
puluh polisi tidur sudah ku taklukan. Huhh..polisi tidur di sini
banyak banget, mungkin paling jauh haya 10 meter jarak antara polisi tidur
yang satu dengan yang lainnya.
“Brooookkutuut......”
Motor ku mati hampir saja aku kehilangan
keseimbangan tubuh dan pengendara di belakang ku nyaris saja menabrak belakang
motorku, tetapi nasib ku agak mujur, dia sempat menginjak rem. Apes banget.
Pengendara itu menghentikan motornya tepat di sampingku.
“Maaf
kak.” Ujar pengemudi itu. Aku menoleh dan tiba-tiba jantung ku berdegup
kencang, wajah itu begitu tidak asing bagiku.
“Oh...kayaknya aku pernah lihat kamu. Tapi,
di mana ya??” Ujar pria itu.
“Gila. Bahkan dia tidak mengingatku.
Keterlaluan.” Gerutuku dalam hati.
“Ya..ketemu pas acara wisuda tiga bulan
yang lalu. Kamu berdua dengan teman mu di bawah pohon.” Kata pria itu
meyakinkan. Aku hampir saja berteriak senang karena ternyata dia juga melihatku
dan mengingat nya.
“Kita gak ketemu. Pasnya aku lihat sekilas.”
Aku ngeles mencoba jaga image, aku takut dia mengetahui apa yang terjadi
padaku. Ku lihat wajahnya tetap seperti dulu, rambutnya diikat setengah, senyum
khas nya pun seperti pertama aku melihatnya.
“Oh..hahha.aku kepede an kali ya.
Hmmm...kemarin kita gak sempat kenalan.”Ujarnya sambil menjulurkan tangan. Aku
menyambutnya agak ragu, sebenarnya hatiku berteriak bukan main girangnya.
“Aku Yudi.” Katanya.
“Aku Deska.” Ujar ku. Dia mengangguk kecil.
“Aku kul di Fisip, kamu pasti calon
cikgu.”katanya lagi.
“Hehe.Iya. Amiin.”awab ku.
Obrolan kami sore itu terhenti karena
ditegur oleh pengendara lain yang mau lewat. Jelas saja orang marah dan
terganggu, salah kami ngobrol di jalan. Dari obrolan singkat itu ku ketahui
juga Yudi itu ternyata tinggal satu kompleks dengan ku. Tapi selama ini aku
tidak tahu, ternyata dunia ini begitu sempit. Dari obrolan itu juga kami
bertukar nomor ponsel, benar-benar tidak normal aku ini karena dengan mudahnya
memberikan nomor ponsel pada yang orang yang baru dikenal.
Hari-hari berlalu, aku semakin akrab
berteman dengan Yudi. Rupanya dia tipe teman yang menyenangkan, baik, perhatian
dan pengertian. Dia juga tidak tahu kalau aku sudah punya pacar, dan aku juga
sudah tahu banyak tentang dirinya yang intinya dia belum punya pacar. Suatu
hari Yudi menanyakan faceebook
dan twitter ku. Tentu saja sebelum aku memberi tahu, aku terlebih dahulu
me-hide status hubungan ku di fb. Keakraban ku dengan Yudi meresahkan
mamaku, teman-temanku apalagi sohib ku mia.Sebenarnya aku sudah jadian dengan
Yudi tanpa sepengetahuan orang-orang yang dekat dengan ku. Tetapi
sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pasti terhendus juga. Kejadian ini
bermula dari kecurigaan lukas padaku. Saat itu aku mengangkat telepon darinya
yang missescall puluhan kali.
“Nomor mu sering sibuk, aku sms jarang
dibalas, status hubungan di dunia maya pun kamu hide. Ada apa dengan
mu?” Lukas memberondongku dengan deretan pertanyaan.
“Sorry, jadwal kuliah ku padat,
banyak tugas.” Jawabku seenaknya saja berbohong. Sebenarnya aku tidak tega
membohongi lukas, tetapi sekarang ini kenapa aku jahat dan naif.
“Oh..itu alasannya. Terus saja menyibukan
diri.” Gerutu lukas datar.
“Maafkan aku. Mungkin kita sudah tidak
cocok lagi. Kita udahan aja.” Kata ku akhirnya. Lama sekali tidak ada jawaban
lukas. Mungkin dia mencari kalimat yang pas “Kenapa?apa karena....” Aku langsung
mematikan ponsel ku. Aku hempaskan tubuhku di kasur, kututup wajahku dengan
bantal dan aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak tahu kenapa aku menangis,
apakah karena aku menyesal atau karena aku senang mampu mengakhiri perselingkuhan dengan mulus.
Tetapi perasaan sesak yang mengganjal di hatiku selama ini sudah hilang,
mungkin sesak ini karena dosa-dosaku pada lukas. Ahh...aku juga tak yakin lukas
jujur padaku, mungkin saja dia juga punya pacar di sana. Yaa...yang jelas
pacaran jarak jauh ini tidak cocok buatku, begitu menyiksa, banyak kecurigaan,
aku tak bisa seperti teman ku yang mampu menjalani pacaran jarak jauh hingga
bertahun-tahun. Ahh...sedikitpun aku tidak menyesali keputusanku ini. Aku
bahagia menjalani hari-hari ku dengan Yudi, dia juga menyukaiku pada pandangan
pertama. Berbeda dengan lukas, aku hanya setengah-setengah menyukainya. Itupun
karena dicomlangi salah satu temanku. Yudi..?yaa,...mataku sendiri yang
melihatnya, hatiku memilih dia. Seiring waktu berlalu, Akhirnya mama dan teman-teman ku juga memahami tentang
keputusan yang aku buat. Karena apapun yang kuputuskan maka akulah yang
menjalani dan menanggung resikonya. Aku hanya berusaha dan berharap. Semuanya tergantung kepada
sang pencifta.
By
: Salasiah, Universitas Riau,C.E 2010.
“ Lebih bijak mengakhiri cinta daripada
mencintai karena terpaksa dan penuh pura-pura.
Cinta tak bisa dipaksaka
BalasHapus