HUKUM TATA USAHA NEGARA
A.
Latar Belakang Masalah
Seiring
dengan perkembangan masyarakat Indonesia, hukum pun turut berkembang ke arah
Era Reformasi. Pada Era ini, tatanan kehidupan masyarakat berkembang menjadi
lebih baik, ditandai dengan terus meningkatnya kesejahteraan rakyat Indonesia,
bertambahnya orang-orang yang berpendidikan, dan perkembangan ekonomi yang
semakin membaik.
Kondisi
tersebut memberi pengaruh pada pemegang kekuasaan, dalam hal ini pemerintah
sebagai penyelenggara Negara, khususnya pemerintahan eksekutif. Pengaruh yang
terjadi yaitu berkembangnya suatu hukum yang mengikat kepada pemerintahan
eksekutif.
Semakin
berkembangnya masyarakat, hukum dituntut untuk mengimbangi perkembangan
masyarakat tersebut. Pemerintah sebagai penyelenggara Negara dituntut untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban mereka untuk memaksimalkan fungsi
pemerintahan, yaitu melaksanakan penertiban (law and order),
menyejahterakan rakyat, fungsi pertahanan, dan fungsi keadilan.
Dalam
penyelenggaraan Negara untuk memaksimalkan fungsi pemerintahan seperti tersebut
di atas, diperlukan seperangkat tata aturan yang mencakup tata cara menjalankan
tugas (hak dan kewajiban) dari kekuasaan alat-alat perlengkapan Negara, yang
disebut Hukum Tata Usaha Negara atau juga disebut Hukum Administrasi Negara.
Hukum Tata Usaha Negara ini hanya mengkaji pemerintahan eksekutif saja dan
dalam konteks Negara dalam keadaan bergerak.
1 Pengertian dan istilah
Hukum tata usaha (administrasi)
negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum
yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya . hukum
administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.kesamaanya
terletak dalam hal kebijakan pemerintah ,sedangkan dalam hal perbedaan hukum
tata negara lebih mengacu kepada fungsi konstitusi/hukum dasar yang digunakan
oleh suatu negara dalam hal pengaturan kebijakan pemerintah,untuk hukum
administrasi negara dimana negara dalam "keadaan yang bergerak".
Hukum tata usaha negara juga sering disebut HTN dalam arti sempit
Ada berbagai istilahdi dalam penyebutan Hukum
Administrasi Negara yang merupakan terjemahan dari Administratiefrecht
yang dikenal di Negara Belanda, Verwaltungsrecht di Jerman, Droit
Administratif di Perancis, Administratif Law di negara Inggris dan
Amerika. Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia dahulu merupakan bekas
jajahan Belanda, sehingga Hukum Administrasi Negara Indonesia merupakan
terjemahan dari Administratiefrecht. Untuk menerjemahkan Administratiefrecht
dari Hukum Belanda ini para ahli hukum di Indonesia belum ada kata sepakat.
Baru setelah dikeluarkannya UU No.5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh para ahli. E.Utrecht
dalam bukunya “Pengantar Hukum Administrasi” , mula-mula memakai istilah Hukum
Administrasi Negara Indonesia. WF Prins dalam bukunya “Inleiding in het
administratiefrecht” memakai istilah Hukum Tata Usaha Negara Indonesia.
Wirjono Prodjodikoro memakai istilah Hukum Tata Usaha Pemerintah. Prajudi
Atmasudirdjo memakai istilah Hukum Administrasi Negara. Dalam SK Mendikbud
tanggal 30 Desember 1972 No.0198/U/1972 tentang Kurikulum Minimal menggunakan
istilah Hukum Tata Pemerintahan. Rapat staf dosen Fakultas-fakultas Hukum
Negeri seluruh Indonesia yang diadakan pada bulan Maret 1973 di Cibulan memakai
istilah Hukum Administrasi Negara dengan tidak menutup kemungkinan menggunakan
istilah lain. SK Kurikulum yang terakhir menggunakan istilah Hukum Tata Usaha
Negara. Ada bebrapa ahli yang mencoba membirikan
pengertian tentang Hukum Tata Usaha Negara, diantaranya : E.Utrecht dan Prajudi
Atmasudirdjo.
E.Utrecht mengemukakan
bahwa Hukum Administrasi Negara/Hukum Pemerintahan adalah hukum yang menguji
hubungan hukum istimewa yang bila diadakan akan memungkinkan para pejabat
administrasi negara melakukan tugas mereka yang khusus.
Prajudi
Atmosudirdjo merumuskan HAN sebagai “…… Hukum yang mengenai Pemerintah beserta
aparatnya yang terpenting yakni Administrasi Negara” selanjutnya dikatakan
bahwa “…… hukum administrasi negara mengatur wewenang, tugas, fungsi dan
tingkah laku para pejabat Administrasi Negara……” bertujuan untuk menjamin
adanya Administrasi Negara yang bonafit, artinya yang tertib, sopan, berlaku
adil dan obyektif, jujur, efisien dan fair. Dinyatakan juga bahwa hukum
administrasi negara itu merupakan hukum mengenai Administrasi Negara dan hukum
hasil ciptaan Administrasi Negara, sehingga Hukum Administrasi Negara pada
dasarnya dapat dibedakan dalam dua klasifikasi yakni Hukum Administrasi Negara
heteronom dan Hukum Administrasi negara yang otonom. Hukum Administrasi Negara
heteronom bersumber pada UUD, TAP MPR dan UU, hukum ini mengatur seluk beluk
organisasi dan fungsi Administrasi Negara (alat tata usaha negara) dan tidak
boleh dilawan, dilanggar serta tidak boleh diubah oleh Administrasi Negara. HAN
heteronom ini mencakup aturan tentang :
a. Dasar-dasar dan prinsip umum administrasi negara;
b. Organisasi administrasi negara, termasuk juga pengertian dekonsentrasi
dan desentralisasi;
c. Berbagai aktivitas dari administrasi negara;
d. Seluruh sarana administrasi negara; serta
e. Badan peradilan administrasi
Sehingga dapat
dinyatakan : Hukum Administrasi negara adalah hukum yang
mengatur dan mengikat alat administrasi negara dalam menjalankan wewenang yang
menjadi tugasnya selaku alat administrasi negara dalam melayani warga negara
harus senantiasa memperhatikan kepentingan warga negara. HAN sangat penting dan
dibutuhkan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara oleh administrasi negara.
Keberadaan hukum administrasi negara berperan mengatur wewenang, tugas dan
fungsi administrasi negara, disamping itu juga berperan untuk membatasi
kekuasaan yang diselenggarakan oleh administrasi negara.
2. Definisi Hukum Administrasi Negara
Pada
dasarnya definisi Hukum Administrasi Negara sangat sulit untuk dapat memberikan
suatu definisi yang dapat diterima oleh semua pihak, mengingat Ilmu Hukum
Administrasi Negara sangat luas dan terus berkembang mengikuti arah
pengolahan/penyelenggaraan suatu Negara. Namun sebagai pegangan dapat diberikan
beberapa definisi sebagai berikut :
E. Utrecht mengatakan “Hukum Administarsi Negara
adalah menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan agar memungkinkan para
pejabat pemerintahan Negara melakukan tugas mereka secara khusus. Jadi ada tiga
ciri-ciri Hukum Administarsi Negara yaitu:
1. Menguji hubungan hukum istimewa.
2. Adanya para pejabat pemerintahan.
3. Melaksanakan tugas-tuigas istimewa.
Prajudi Atmosudirdjo mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah hukum mengenai operasi
dan pengendalian dari kekuasaan-kekuasaan administrasi atau pengawasan terhadap
penguasa-penguasa administrasi.
Bachsan Mustofa mengatakan “Hukum Administarsi Negara
adalah sebagai gabungan jabatan-jabatan yang dibentuk dan disusun secara
bertingkat yang diserahi tugas melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintaha
dalam arti luas yang tidak diserahkan pada badan-badan pembuat undang-undang
dan badanbadan kehakiman.
Dari
pengertian-pengertian di atas jelaslah bahwa bidang hukum administrasi Negara
sangatlah luas, banyak segi dan macam ragamnya. Pemerintah adalah pengurus dari
pada Negara, pengurus Negara adalah keseluruhan dari jabatan-jabatan didalam
suatu Negara yang mempunyai tugas dan wewenang politik Negara dan pemerintahan.
Apa yang dijalanakan oleh pemerintah adalah tugas Negara dan merupakan tanggung
jawab dari pada alat-alat pemerintahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Hukum Administarsi Negara adalah Hukum mengenai Pemerintah/Eksekutif didalam
kedudukannya, tugas-tuganya, fungsi dan wewenangnya sebagai Administrator
Negara.
3. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara
Adapun ruang lingkup dari HukumAdministrasi Negara adalah bertalian
erat dengan tugas dan wewenang lembaga negara (administrasi negara) baik di
tingkat pusat maupun daerah, perhubungan kekuasaan antar lenbaga Negara
(administrasi negara), dan antara lembaga negara dengan warga masyarakat (warga
negara) serta memberikan jaminan perlindungan hukum kepada keduanya, yakni
kepada warga masyarakat dan administrasi negara itu sendiri. Dalam perkembangan
sekarang ini dengan kecenderungan negara turut campur tangan dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat, maka peranan HukumAdministrasi Negara (HAN) menjadi
luas dan kompleks.
Kompleksitas ini akan membuat luas dan complicated dalam
menentukan rumusan ruang lingkup HAN. Secara historis pada awalnya tugas negara
masih sangat sederhana, yakni sebagai penjaga malam (natchwachter staad)
yang hanya menjaga ketertiban, keamanan, dan keteraturan serta ketentraman
masyarakat. Oleh karenanya negara hanya sekedar penjaga dan pengatur lalu
lintas kehidupan masyarakat agar tidak terjadi benturan-benturan, baik
menyangkut kepentingan hak dan kewajiban, kebebasan dan kemerdekaan, dan atau
benturan-benturan dalam kehidupan masyarakat lainnya.
Apabila hal itu sudah tercapai, tugas negara telah selesai dan
sempurna. Pada suasana yang demikian itu, HAN tidak berkembang dan bahkan
statis. Keadaan seperti ini tidak akan dijumpai saat ini, baik di Indonesia
maupun di negara-negara belahan dunia lainnya. Dalam batas-batas tertentu
(sekecil, sesederhana dan seotoriter apapun) tidak ada lagi negara yang tidak
turut ambil bagian dalam kehidupan warga negaranya. Untuk menghindarkan
kemungkinan terjadinya hal tersebut, maka perlu dibentuk hukum yang mengatur
pemberian jaminan dan perlindungan bagi warga negara (masyarakat) apabila
sewaktu waktu tindakan administrasi negara menimbulkan keraguan pada warga
masyarakat dan bagi administrasi negara sendiri. Untuk mewujudkan cita-cita itu
tepatlah apa yang dikemukakan oleh Sjachran Basah bahwa fungsi hukum secara
klasik perlu ditambah dengan fungsi-fungsi lainnya untuk menciptakan hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Oleh karena itu hukum harus tidak
dipandang sebagai kaidah semata-mata, akan tetapi juga sebagai sarana
pembangunan, yaitu berfungsi sebagai pengarah dan jalan tempat berpijak kegiatan
pembangunan untuk mencapai tujuan kehidupan bernegara.
Di samping itu, sebagai
sarana pembaharuan masyarakat, hukum harus juga mampu memberi motivasi cara berpikir masyarakat
kearah yang lebih maju, tidak terpaku kepada pemikiran yang konservatif dengan
tetap memperhatikan faktor-faktor sosiologis, antropologis, dan kebudayaan
masyarakat. Namun demikian seperti apa yang dikemukakan oleh Mochtar
Kusumaatmaja hukum tetap harus memperhatikan, memelihara dan mempertahankan
ketertiban sebagai fungsi klasik dari hukum. Mengenai ruang lingkup yang
dipelajari dalam studi Hukum Administrasi Negara, Prajudi Atmosudirdjo
mengemukakan ada enam ruang lingkup yang dipelajari dalam HAN yaitu meliputi :
1) Hukum tentang dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum dari administrasi
negara;
2 2) Hukum tentang organisasi negara;
3 3) Hukum tentang aktivitas-aktivitas dari administrasi negara, terutama
yang bersifat yuridis;
4 4) Hukum tentang sarana-sarana dari administrasi negara terutama mengenai
kepegawaian negara dan keuangan negara;
5) Hukum administrasi pemerintah daerah dan Wilayah, yang dibagi menjadi
:
a.
Hukum Administrasi Kepegawaian;
b. Hukum Administrasi Keuangan;
c.
Hukum Administrasi Materiil;
d. Hukum Administrasi Perusahaan Negara.
e.
Hukum tentang Peradilan Administrasi Negara.
f.
Hukum tentang
Peradilan Administrasi Negara.
4 Kedudukan Hukum Administrasi Negara
Hukum
Administrasi Negara merupakan salah satu cabang/bagian dari ilmu hukum yang
khusus. HAN merupakan ilmu hukum yang tidak statis, akan tetapi berkembang
sesuai dengan perkembangan kebutuhan dalam masyarakat. Di dalam ilmu hukum
publik, mula-mula HAN merupakan bagian dari HTN, kuliah-kuliah HAN ditempelkan
dalam HTN, akan tetapi karena timbulnya Welfare State, negara hukum
modern yang mengutamakan kesejahteraan rakyat pada akhir abad 19 dan permulaan
abad20 (antara tahun (1946-1948) diadakan pemisahan antara HAN dengan HTN.
HAN
berkembang dengan pesat, kemudian HAN diakui merupakan bagian tersendiri dari
hukum publik dan sebagian ada pada hukum privat. Philipus M. Hadjon dkk
mengemukakan bahwa hukum administrasi materiil terletak diantara hukum privat
dan hukum pidana (publik). Hukum pidana berisi norma-norma yang begitu penting
(esensial) bagi kehidupan masyarakat sehingga penegakan norma-norma tersebut
tidak diserahkan pada pihak partikelir tetapi harus dilakukan oleh penguasa.
Hukum privat berisi norma-norma yang penegakannya dapat diserahkan pada pihak
partikelir. Diantara bidang hukum itu terletak hukum administrasi. Oleh
karenanya HAN dapat dikatakan sebagai “hukum antara”.
Hubungan Antara Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata
Negara
Ada dua golongan pendapat mengenai hubungan antara
HAN dengan HTN. Golongan pertama, menyatakan ada perbedaan yuridis prinsipiil
antara HAN dengan HTN. Golongan kedua menyatakan tidak ada perbedaan yuridis
prinsipiil antara HAN dengan HTN. Para ahli yang berpendapat bahwa ada
perbedaan yuridis prinsipiil antara HAN dan HTN adalah Oppenheim, Van Vollenhoven
dan Logeman. Sedangkan pendapat kedua yang menyatakan tidak ada perbedaan
yuridis prinsipiil antara HAN dan HTN diikuti oleh Kranenburg, Prins, dan
Prajudi Atmosudirdjo. Oppenheim, menyatakan bahwa yang dipersoalkan HTN adalah
Negara dalam keadaan berhenti sedangkan HAN adalah peraturan-peraturan hukum
mengenai negara dalam keadaan bergerak. HTN merupakan kumpulan
peraturan-peraturan hukum yang membentuk alat-alat perlengkapan negara dan
memberikan kepadanya wewenang yang membagi-bagikan tugas pekerjaan dari
pemerintah modern antara bebeeapa alat perlengkapan negara di tingkat tinggi
dan tingkat rendah. Sedangkan HAN adalah sekumpulan peraturan-peraturan hukum
yang mengikat alat-alat perlengkapan yang tinggi maupun yang rendah dalam
menggunakan wewenangnya yang telah diberikan/ditetapkan dalam HTN.
Van Vollenhoven menyatakan bahwa yang termasuk di
dalam HAN, adalah semua peraturan hukum nasional sesudah dikurang HTN materiil,
hukum perdata materiil dan hukum pidana materiil. Hubungan antara HTN dengan
HAN, yaitu bahwa badan-badan kenegaraan memperoleh wewenang dari HTN dan
badan-badan kenegaraan itu menggunakan wewenangnya harus berdasarkan atau
sesuai dengan HAN. Logeman mengemukakan bahwa HTN merupakan suatu pelajaran
tentang kompetensi, sedangkan HAN/HTP merupakan suatu pelajaran tentang
perhubungan-perhubungan hukum istimewa. Menurutnya HTN mempelajari :
a. Jabatan-jabatan apa yang ada dalam susunan
suatu negara;
b. Siapa yang mengadakan jabatan tersebut;
c. Dengan cara bagaimana jabatan-jabatan itu
ditempati oleh pejabat;
d. Fungsi/lapangan kerja dari jabatan-jabatan
itu;
e. Kekuasaan hukum dari jabatan-jabatan itu;
f. Hubungan antara masing-masing jabatan;
g. Dalam batas-batas manakah organ-organ
kenegaraan dapat melakukan tugasnya.
Sedangkan yang
dipelajari dalam HAN/HTP yaitu sifat, bentuk dan akibat hukum yang timbul
karena perbuatan hukum istimewa yang dilakukan oleh para pejabat dalam
menjalankan tugasnya. Kranenburg, Prins dan Prajudi Atmosudirdjo menyatakan
bahwa antara HAN dengan HTN tidak ada perbedaan yuridis prinsipiil, perbedaan
yang ada hanya pada titik berat/fokus pembahasan. HTN fokusnya adalah hukum
rangka dasar dari negara sebagai keseluruhan, sedangkan HAN fokusnya merupakan
bagian khusus dari HTN.
Kranenburg
menyatakan bahwa kalau di dalam praktek ada perbedaan, hanya karena untuk
mencapai kemanfaatan dalam penyelidikan. Menurutnya yang digolongkan dalam HTN
adalah peraturan-peraturan yang mengatur struktur umum dari suatu pemerintahan
negara, misalnya UUD dan UU organic (UU yang mengatur daerah-daerah otonom),
HAN berisi UU dan peraturanperaturan khusus misalnya : hukum kepegawaian.
Prins mengemukakan
bahwa HTN mempelajari hal-hal yang fundamental yang merupakan dasar-dasar dari
negara dan langsung menyangkut tiap-tiap warga negara, sedangkan HAN
menitikberatkan pada hal-hal yang teknis saja, yang hanya penting bagi para spesialis.
Disendirikannya HAN
dari HTN tidak karena adanya perbedaan tugas antara HTN dan HAN, akan tetapi
karena sudah sedemikian berkembangnya HAN, sehingga memerlukan perhatian
tersendiri bukan sebagai tambahan/sampiran HTN saja. Prajudi Atmosudirdjo
menyatakan bahwa perbedaan HTN dan HAN hanya terletak pada titik berat dalam
pembahasan. Di dalam mempelajari HTN fokus perhatian ada pada konstitusi negara
sebagai keseluruhan, sedangkan di dalam HAN fokus atau titik berat perhatian
kita secara khas kepada administrasi negara. Hubungan antara HAN dengan HTN
mirip dengan hubungan antara Hukum Dagang dengan Hukum Perdata, di mana Hukum
Dagang merupakan spesialisasi dari Hukum Perikatan di dalam Hukum Perdata. HAN
merupakan spesialisasi belaka pada salah satu bagian dari HTN, sehingga
asas-asas dan kaidah-kaidah dari HTN yang bersangkutan dengan administrasi
negara berlaku pula bagi HAN.
B .
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
1 Pengertian
Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di
bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. TUN sendiri, menurut ketentuan
pasal 1 ayat 7 UU No 51 Tahun 2009, Tata Usaha Negara adalah administrasi
negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik
di pusat maupun di daerah.
Adapun sengketa TUN, menurut
ketentuan pasal 1 ayat 10 UU No 51 Tahun 2009, Sengketa Tata Usaha Negara
adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Objek sengketa dalam TUN yaitu Keputusan TUN atau Beschikking.
Keputusan TUN sendiri, menurut
ketentuan pasal 1 ayat 9 UU No 51 Tahun 2009 yaitu suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Peradilan Tata
Usaha Negara meliputi :
a. Pengadilan Tata Usaha Negara
b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
a. Pengadilan Tata Usaha Negara (biasa disingkat PTUN) merupakan sebuah lembaga peradilan dilingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibukota kabupaten atau kota.Sebagai
pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tata Usaha Negara berfungsi untuk
memeriksa, memutuskan, menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Pengadilan
Tata Usaha Negara dibentuk melalui keputusan presiden dengan wilayah hukum
meliputi kabupaten atau kota. Susunan Pengadilan Tata Usaha Negara meliputi
pimpinan (Ketua PTUN dan Wakil ketua PTUN) Hakim anggota, Panitera dan sekertaris.
b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (biasa disingkat PTTUN) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibukota provinsi. Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara dibentuk melalui Undang-Undang dengan wilayah hukum meliputi
provinsi. Susunan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara meliputi pimpinan (Ketua
PTTUN dan wakil ketua PTTUN) Hakim anggota, Panitera dan sekretaris.
2. Susunan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara
Di dalam pasal 11 undang-undang
PTUN, susunan pengadilan Tata Usaha Negara adalah pimpinan, hakim anggota,
panitera, dan sekretaris. Susunan tersebut sama halnya dengan susunan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Beda dengan susunan Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama, di Pengadilan TUN tidak ada juru sita.
1. Pimpinan
Berdasarkan pasal 11 undang-undang
PTUN Nomor 9 tahun 2004 pimpinan PTUN terdiri dari seorang ketua dan wakil
ketua, pada dasarnya ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk ketua dan wakil
ketua adalah sama dengan Pengadilan-Pengadilan lain terutama Pengadilan Negeri.
Begitu pula dengan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Mengenai pengangkatan dan
pemberhentian jabatan ketua dan wakil ketua, baik pengadilan TUN ataupun
Pengadilan Tinggi TUN berada di tangan Menteri Kehakiman berdasarkan
persetujuan Mahkamah Agung.
2. Hakim
Anggota
Secara umum ketentuan yang berkaitan dengan hakim anggota pada Peradilan
Tata Usaha Negara adalah sama dengan Hakim Pengadilan Negeri. Begitu juga
halnya dengan persyaratan pengangkatan hakim tinggi dalam pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara, pada pokoknya sama dengan persyaratan pengangkatan hakim
tinggi yang ada di dalam lingkungan peradilan umum.
3. Panitera
Pada umumnya susunan kepaniteraan pengadilan TUN adalah sama dengan susunan
kepaniteraan di dalam peradilan umum. Sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara ketentuan umum mengenai panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara tidak jauh berbeda dengan ketentuan umum panitera di pengadilan tinggi dalam lingkungan Peradilan Umum.
4. Sekretaris
Sama halnya dengan lingkungan peradilan lain, sesuai dengan pasal 40 dan 41
undang-undang PTUN, disana ditentukan bahwa jabatan sekretaris Pengadilan Tata
Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dirangkap oleh panitera yang dalam melaksanakan
tugasnya dibantu oleh wakil sekretaris. Mengenai ketentuan umum lainnya tidak
jauh berbeda dengan peradilan umum.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
memiliki wewenang diantaranya :
a.
Bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding;
b. Bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat
pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan TUN di
dalam daerah hukumnya
c.
Betugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha Negara.
3.
Sengketa Tata Usaha Negara
Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam
cara antara lain:
I. Melalui
Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986)
Upaya
administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan
masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hukum perdata
apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam
lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri.
Bentuk upaya
administrasi:
1. Banding Administratif, yaitu
penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau
instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan.
2. Keberatan, yaitu penyelesaian upaya
administrasi yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang mengeluarkan Keputusan itu.
II. Melalui
Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)
Apabila di
dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi,
maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Subjek atau
pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 pihak, yaitu:
- Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat atau di daerah.
- Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.
Hak
Penggugat:
1. Mengajukan gugatan tertulis kepada
PTUN terhadap suatu Keputusan Tata Usahan Negara. (pasal 53).
2. Didampingi oleh seorang atau
beberapa orang kuasa (pasal 57).
3. Mengajukan kepada Ketua Pengadilan
untuk bersengketa cuma-cuma (pasal 60).
4. Mendapat panggilan secara sah (pasal
65).
5. Mengajukan permohonan agar
pelaksanaan keputusan TUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang
berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap
(pasal 67).
6. Mengubah alasan yang mendasari
gugatannya hanya sampai dengan replik asal disertai alasan yang cukup serta
tidak merugikan kepentingan tergugat (pasal 75 ayat 1).
7. Mencabut jawaban sebelum tergugat
memberikan jawaban (pasal 76 ayat 1).
8. Mempelajari berkas perkara dan
surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan
seperlunya (pasal 81).
9. Membuat atau menyuruh membuat
salinan atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri
setelah memperoleh izin Ketua Pengadilan yang bersangkutan (pasal 82).
10. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan
pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1).
11. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan kepada
Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat dalam hal terdapat
kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari
alasan-alasan permohonannya (pasal 98 ayat 1).
12. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan ganti rugi
(pasal 120).
13. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan rehabilitasi
(pasal 121).
14. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara
tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari
setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122).
15. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori
banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan
ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan
kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3).
16. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara
tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131).
17. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali
kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (pasal 132).
Kewajiban
Penggugat:
Membayar
uang muka biaya perkara (pasal 59)
Hak
Tergugat:
1. Didampingi oleh seorang atau
beberapa orang kuasa (pasal 57).
2. Mendapat panggilan secara sah (pasal
65).
3. Mengubah alasan yang mendasari
jawabannya hanya sampai dengan duplik asal disertai alasan yang cukup serta
tidak merugikan kepentingan penggugat (pasal 75 ayat 2).
4. Apabila tergugat sudah memberikan
jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan olen
pengadilan hanya apabila disetujui tergugat (pasal 76 ayat 2).
5. Mempelajari berkas perkara dan
surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan
seperlunya (pasal 81).
6. Mengemukakan pendapat yang terakhir
berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97
ayat 1).
7. Bermusyawarah dalam ruangan tertutup
untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut (pasal 97
ayat 2).
8. Mengajukan permohonan pemeriksaan
banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat
belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal
122).
9. Menyerahkan memori banding dan atau
kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan
TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori
banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan
(pasal 126 ayat 3).
10. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara
tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131).
11. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali
kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (pasal 132).
Kewajiban
Tergugat:
1. Dalam hal gugatan dikabulkan,
badan/pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan TUN wajib (pasal 97 ayat 9):
a. Mencabut Keputusan TUN yang
bersangkutan; atau
b. Mencabut Keputusan TUN yang
bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru;
c. Menerbitkan Keputusan TUN dalam hal
gugatan didasarkan pada pasal 3
2. Apabila
tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan
yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan atau memperoleh kekuatan
hukum tetap, ia wajib memberitahukannya kepada Ketua Pengadilan dan penggugat
(pasal 117 ayat 1).
3. Memberikan ganti rugi dalam hal gugatan
penggugat atas permohonan ganti rugi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 120).
4.
Memberikan rehabilitasi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan
rehabilitasi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 121).
4.
Proses Pemeriksaan Gugatan Di PTUN
Pemanggilan
Pihak-Pihak:
Pada
Pengadilan Tata Usaha Negara, pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa
dilakukan secara administratif yaitu dengan surat tercatat yang dikirim oleh
panitera pengadilan.
Pemanggilan
tersebut mempunyai aturan sebagai berikut:
- Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirim dengan surat tercatat.(pasal 65 UU No 5 tahun 1986).
- Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirim dengan surat tercatat.(pasal 65 UU No 5 tahun 1986).
- Jangka
waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6 hari kecuali
dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara (pasal 64 UU No 5
tahun 1986).
Kewajiban
Hakim:
1. Mengadakan pemeriksaan persiapan
untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas (pasal 63).
2. Menjaga supaya tata tertib dalam
persidangan tetap ditaati setiap orang dan perintahnya dilaksanakan dengan baik
(pasal 68).
3. Mengundurkan diri dari persidangan
apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga,
atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan salah seorang
hakim anggota atau panitera (pasal 78 ayat 1).
4. Mengundurkan diri dari persidangan
apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga,
atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat,
penggugat atau penasehat hukum (pasal 78 ayat 2).
5. Mengundurkan diri apabila ia
berkepentingan langsung atau tidak langsung atas suatu sengketa (pasal 79 ayat
1).
6. Menanyakan identitas saksi-saksi
(pasal 87 ayat 2).
7. Membacakan Putusan Pengadilan dalam
sidang terbuka untuk umum (pasal 108 ayat 1).
Pihak
Ketiga:
1. Selama
pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak
lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan
mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa
Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai: pihak yang membela haknya; atau
peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa (pasal 83).
2. Apabila
pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikut sertakan selama waktu
pemeriksaan sengketa yang bersangkutan, pihak ketiga tersebut berhak mengajukan
gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada
Pengadilan yang mengadili sengketa tersebut pada tingkat pertama (pasal 118
ayat 1).
C.
CONTOH KASUS POSISI PTUN (PERADILAN
TATA USAHA NEGARA)
Analisis Kasus Posisi Merek
Kasus Posisi
Pada tanggal 14 Februari 2005, PT. Petualang telah
mengajukan Permohonan Pendaftaran Merek Dagang ADVENTUROUS TRAVEL dibawah Nomor
Agenda : D00-2005-02840-2853 dengan jenis jasa paket wisata dan agen
perjalanan. Permohonan pendaftaran merek tersebut telah ditolak oleh Direktur
Merek pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan Surat Keputusan
tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 dengan alasan : “Merek
ADVENTUROUS TRAVEL tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek
milik orang lain yang sudah terdaftar lebih dahulu dengan Nomor Daftar : 346210
untuk barang sejenis yang mempunyai merek ADVENTUROUS”. (Pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek).
Lalu,
PT. Petualangmenempuh upaya Banding Administratif kepada Komisi Banding Merek
pada tanggal 4 Desember 2006 sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Bagian
Keenam Bab IV Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Menurut Pasal 31 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2001, Keputusan Komisi Banding Merek diberikan dalam waktu paling
lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal Penerimaan Permohonan Banding, berarti
selambat-lambatnya tanggal 5 Maret 2007. Akan tetapi, sampai dengan tanggal 5
Maret 2007 Komisi Banding Merek ternyata tidak juga memberikan keputusannya,
sehingga menurut Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 telah
terjadi penolakan yang bersifat fiktif.
Dalam
hal demikian, menurut Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan
Pasal 53 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, PT. Petualang mengajukan gugatan
kepada Pengadilan Tata Usaha Negara dengan objek gugatan Surat Keputusan
tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 tentang Penolakan Permohonan
Pendaftaran Merek Adventurous Travel. Gugatan tersebut berdasarkan bahwa
menurut ilmu hukum dan yuriprudensi, dalam menentukan ada tidaknya persamaan
pada pokoknya antara suatu merek dengan merek yang lain, maka merek-merek yang
bersangkutan harus dipandang pada keseluruhannya sebagai satu kesatuan yang
bulat tanpa mengadakan pemecahan atas bagian-bagian dari merek-merek tersebut.
(lihat putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 431 K/Pdt/1993 tanggal
17September 1994 dalam kasus Cola Candy versus Coca Cola, Nomor : 2452
K/Pdt/1989 tanggal 25 September 1991 dalam kasus Sen Thong versus Xiao Shen
Tong, Nomor : 389 K/Pdt/1988 tanggal 3 Juli 1992 dalam kasus Bally dan Tally,
Nomor. 2451 K/Pdt/1989 tanggal 1 April 1991 jo putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Nomor : 565/Pdt.G.D/1988/PN.Jkt.Pst tanggal 16 Maret 1989 dalam
kasus Salute versus Royal Salute)
Analisis Objek Gugatan
Objek
gugatan dalam suatu peradilan tata usaha negara adalah Keputusan Tata Usaha
Negara. Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) menurut
ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua UU No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit,
individual dan final sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.
Dari rumusan pasal tersebut,
persyaratan keputusan TUN yang dapat menjadi obyek di Pengadilan TUN meliputi :
1. Penetapan tertulis;
2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat
TUN;
3. Berisi tindakan hukum TUN;
4. Berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
5. Bersifat konkrit, individual dan
final;
6. Menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.
Keenam
persyaratan tersebut bersifat komulatif, artinya untuk dapat dijadikan obyek sengketa
di Peradilan TUN, keputusan TUN harus memenuhi keenam persyaratan tersebut.
Sekarang mari kita analisis keenam persyaratan tersebut terhadap Keputusan
Presiden Nomor 37 Tahun 2009 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.
1. Penetapan tertulis;
Surat
Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 tentang Penolokan
Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel merupakan suatu keputusan yang
tertulis.
2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat
TUN;
Surat
Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 tentang Penolokan
Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel dikeluarkan oleh Pejabat TUN,
yaitu Direktur Merek pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
3. Berisi tindakan hukum TUN;
Tindakan
hukum TUN yang terdapat dalam Surat Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor :
D00-01-02840 tentang Penolokan Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel
adalah menolak suatu permohonan pendaftaran merek.
4. Berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
PengeluaranSurat
Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 tentang Penolokan
Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel ini berdasarkan peraturan
peundang-undangan yang berlaku, yaitu: Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek.
5. Bersifat konkrit, individual dan
final;
Surat
Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 tentang Penolokan
Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel bersifat konkrit, yaitu menolak
permohonan pendaftaran merek Adventurous Travel.
Surat
Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 tentang Penolokan
Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel juga bersifat indvidual, di
mana ditujukan kepada PT. Petualang.
Surat
Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 tentang Penolokan
Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel bersifat final, di mana sudah
berkekuatan hukum tetap sehingga tidak memerlukan lagi persetujuan lagi.
6. Menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.
Surat
Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor : D00-01-02840 tentang Penolokan
Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel menimbulkan akibat hukum bagi
badan hukum perdata, yaitu PT. Petualang. Akibat hukumnya adalah PT. Petualang
tidak boleh menggunakan merek Adventurous Travel.
Jadi,
bisa disimpulkan bahwa Surat Keputusan tanggal 4 September 2006 Nomor :
D00-01-02840 tentang Penolokan Permohonan Pendaftaran Merek Adventurous Travel
adalah sebuah objek gugatan TUN. Hal ini dikarenakan Keputusan tersebut telah
memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yaitu suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit,
individual dan final sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.
Analisis Para Pihak
Berdasarkan
Pasal 1 poin 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang berbunyi “Sengketa Tata
Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara
orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara,
baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata
usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.” Ini berarti penggugat adalah orang atau badan
hukum perdata. Dalam kasus ini, penggugat adalah badan hukum perdata, yaitu PT.
Petualang.
Berdasarkan
Pasal 1 poin 12 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang berbunyi, “Tergugat
adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang
digugat oleh orang atau badan hukum perdata.” Lalu, menurut Pasal 1 poin 8
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang berbunyi, “Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dalam kasus ini, tergugat adalah
pejabat tata usaha negara, yaitu Direktur Merek pada Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa penggugat adalah badan hukum perdata, yaitu PT.
Petualang, dan tergugat adalah pejabat tata usaha negara, yaitu Direktur Merek
pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar