Stand by me "Hutan"
Aku tersenyum
kecil melihat semburat surya menerpa dedaunan pohon akasia yang tumbuh berjejer
di sepanjang jalan kota, dahan dahan rapuh mereka meliuk dipermainkan deru
kendaraan yang lalu lalang. Daun daun kering bertebaran dan tak sempat beberapa
jam sudah habis disapu bersih oleh petugas kebersihan berseragam kuning orange,
ibu ibu berkerudung dengan topi daun lebar menutup wajah mereka. Senyum atau
merengutkah mereka saat bekerja tidak terlihat karena terhalang oleh masker
penutup mulut mereka. Di persimpangan play over beberapa polantas sedang
bertugas, berdiri menertibkan lalu lintas meskipun di sana sudah ada lampu
merah, kuning, hijau. Penjual koran, pengemis, penjual pernak pernik maupun
pengamen serta penyebar pamplet sibuk pada aktivitas mereka. Bocah lelaki
berwajah tirus, mata memelas, bibirnya kering bergetar, tangan terangkat
mengulurkan menengadah mendekati para pengendara sepeda motor yang acuh tak
acuh. Lampu kuning menyala, mereka yang sibuk pada mulanya kembali ke tepi
jalan menunggu lampu merah berikutnya bekerja, petugas terlihat memacu sepeda
motor ptrolinya mengejar pengendara yang nakal tanpa menggunakan helm. Kota
yang sangat sibuk, meskipun kota ini bukan kota besar.
Aku merentangkan
kedua tanganku, aku tantang silaunya matahari pagi ini. Pemandangan langit
cerah, matahari menerpa kaca kaca mobil yang lalu lalang menyilaukan mata,
persis tak terlihat beberapa bulan yang lalu tepatnya lebih kurang 3 bulan
matahari tak kuasa menampakan diri. Warga harus menambah aksesoris ketika keluar
rumah, pengendara sepeda motor, mobil maupun pejalan kaki harus mengenakan
aksesoris yang sedang trend, yaitu masker. Lucu sekali ketika melihat
pemandangan ini, seperti berada di konser Bigbang, dimana para personil
boyband asal negeri ginseng itu menyukai masker dengan beragam stiker ataupun
motif, namun kali ini beda kasus dimana bukan mengikut trend Bigbag namun suatu
kebutuhan. Bukan sesuatu yang lucu, tetapi ini adalah suatu cara melindungi
alat pernafasan dari kontak langsung menghirup gas beracun asap. Langit yang
biasanya cerah, terik, kini berwarna
kelam kemerahan, jalanan kota terasa sulit membedakan siang atau malam,
kendaraan tetap menyalakan lampunya. Ironis memang, di sudut jalan tak jarang
terpampang spanduk ukuran cukup besar bertuliska "Melawan Asap"
namun tak punya senjata.
Sangat jelas di
benak ku kala itu, siaran berita di TV lokal maupun nasional tidak jarang lepas
dari sorotan bencana tahunan negeri kami, istilah lelucon Negeri di atas
awan dengan karikatur lucu pesawat dipakaikan masker. Korban korban
penyakit pernafasan telah berjatuhan, sakit ringan, parah hingga meninggal
dunia. Suatu kenyataan yang sungguh bukan isapan jempol belaka, mengapa hal
serupa terjadi setiap tahun?mengapa tamu tak diundang berupa asap ini tak
pernah ada solusi agar tidak berkunjung lagi di tiap tiap tahun?
Sesak dada melihat
rumah sakit, puskemas dipenuhi penderita hispa yang mayoritas adalah anak anak
dan balita. Tak kuasa melihat balita mungil hanya beberapa bulan melihat dunia
harus merasakan sakit ketika bernafas melalui selang menjepit hidung, tatapan
mata mereka yang tak berdosa ingin mengatakan pada orangtua mereka "Ibu,mengapa
dadaku sesak sekali?ibu..apakah oksigen cuma ada di tabung sekecil
ini?ibu..berapa banyak mengeluarkan uang untuk beli satu tabung oksigen
ini?ibu, apakah tidak ke kedai berjualan seperti biasa?ibu...tadi aku lihat di
luar gelap, kenapa aku tak pernah melihat matahari?.
Pembakaran hutan,
ekploitasi besar besaran yang dilakukan pihak tak bertanggung jawab, membabat
habis hutan dengan menyulutkan korek api, menciftakan hantu si jago merah untuk
menyantap habis hutan agar tersedia lahan subur. Menghukum para pelaku pembakar
tidak akan membuat asap tak aka datang lagi, tepatnya hanya menimbulkan sebuah
situasi tunjuk menunjuk pelaku, saling menyalahkan. Suatu pemandangan yang
sangat disayangkan disetiap rapat umum atau apalah namanya tema melawan asap,
debat saling menyalahkan, mencari pelaku dan berkoar koar sana sini yang
membuat pelaku sebenarnya tertawa terbahak bahak menonton acara yang lebih lucu
dari Stand Up Comedy.
Kesadaran pada
setiap diri masyarakat untuk hidup berkelanjutan bersama sama menikmati udara
segar, O2 yang masuk ke paru paru secara gratis tanpa ada ketakutan asap hadir
di setiap tahun. Mengapa kita tak pernah sadar?bahkan jika dikatakan bodoh
tidak juga, semua orang bahkan orang gila pun tahu bahwa menghirup asap itu
tidak enak alias menyakitkan. Tapi, mengapa masih ada saja yang membakar lahan,
hutan untuk kepentingan pribadi?lucu sekali ada sebuah komentar Áku bakar
lahan ku sendiri,tak mengganggu lahan orang,setelah itu api padam. Apa
tidak waraskah itu orang?dia apakah tidak tahu atau pura pura gila?asap sisa
pembakaran itu menyebar diudara, mencemari oksigen yang tak lagi tercifta
karena hutan telah lenyap. Satu orang membakar lahan, satu orang berpikir gila
seperti di atas di sebuah desa, bayangkan jika ada 10 orang gila berpikir
begitu?10 lahan terbakar?itu hanya di sebuah desa, lebih luas lagi kecamatan,
kabupaten dan provinsi. Wah...sungguh kiamat kehabisan oksigen bisa saja
terjadi, ujungnya orang yang tak punya uanglah yang kesusahan karena mahalnya
harga oksigen di rumah sakit.
Stop pembakaran
lahan, hutan. Stop membuka lahan dengan cara membakar. Sisakan hutan untuk anak
cucu kita. Tunjukan pada mereka bahwa alam kita indah dan segar, katakan pada
mereka bencana asap di tahun tahun dulu hanya kenangan hitam yang membuat kita
lebih cerdas dan ramah pada lingkungan. Beri contoh pada mereka bahwa kita tak
bisa hidup tanpa alam yang seimbang, katakan dengan lantang bahwa hutan adalah
paru paru dunia. Ingatlah nenek moyang kita, mereka hidup di alam, berkawan
dengan alam, bukan membuat alam menangis.
Kota yang bising,
meskipun terik dan debu debu jalanan mencemari udara namun ini lebih baik dari
asap beberapa bulan yang lalu. Warga tidak lagi harus repot membeli masker,
mengenakan masker, para pelajar tidak harus lagi bermain dengan mulut
terbungkus masker. Sekolah tidak mesti lagi meliburkan siswa terus menerus dan
menimbulkan kekacauan pada jadwal kalender pendidikan perihal pelaksanaan ujian
di sekolah sekolah. Biarlah kenangan memilukan Kota Kami di serbu asap menjadi
kenganan pilu, yang terpenting bencana ini tak lagi mengganggu dan hutan bisa
hidup tenang dan Tuhan tidak murka.
BY Salasiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar