RAKYAT CERDAS, PILIH PEMIMPIN
BERKUALITAS
Bosan lihat head news di Tv,
pemberitaannya yang paling HOT pasti tentang korupsi. Itu bukan masalah
mengherankan, namun sangat wajar. Kenapa?jawabnya:Karena sangat banyak kasus
korupsi terjadi di negeri ini. Memberantas korupsi di Indonesia Ibarat menebas
rumput ilalang, tebas hari ini, besok pagi tumbuh lagi tunas – tunas baru nya
yang jauh lebih banyak dan tajam. Namun, kalo mau memberantas: HARUS SAMPAI
AKAR – AKAR NYA SIKAT MAMPUS. Hukuman yang pas sepertinya : Hukuman gantung di
tiang setrum tingkat tinggi, disiksa hingga mati perlahan. Tujuannya
agar yang lain berfikir 1 juta kali kalo mau korupsi. Namun, apa daya.
Realitanya di negara ini. Hukum itu seperti keris, semakin ke ujung semakin
runcing dan tajam, namun semakin ke pangkal semakin tumpul.
Tak perlu bicara masalah moral para
koruptor. Tidak usaha bicara tentang renumerasi dengan gaji yang besar. Tidak
usah bicara tentang reformasi birokrasi. Tidak usah bicara tentang sistem
pengawasan. Tidak usah bicara tentang manajemen yang profesional. Korupsi
merajalela di Indonesia karena 70% rakyat yang datang ke TPS ternyata salah
memilih dan asal pilih.
Tapi itu bisa dipahami mengingat 55% penduduk Indonesia
masih berpendidikan SD. Bukannya mereka bodoh, tetapi pengetahuan mereka
tentang politik belum mendalam. Hanya kulit-kulit arinya saja. Apalagi, mereka
datang ke TPS karena merasa pemilu atau pilkada itu wajib. Padahal, menurut
undang-undang, memilih itu merupakan hak, bukan kewajiban
Kualitas pemimpin memang ditentukan kualitas para
pemilihnya. Kalau para pemilihnya memilih karena faktor uang atau faktor money
politik, maka itu juga bisa menghasilkan koruptor. Money politic tidak hanya diterima rakyat yang hanya berpendidikan
SD, mereka yang bergelar S1, S2 dan S3 suaranya juga bisa dibeli.
Di samping faktor pendidikan rendah, pemahaman politik yang dangkal
dan faktor money politik, dapat dilihat korupsi juga bisa muncul akibat adanya
persepsi yang keliru tentang arti sebuah kesuksesan. Bangsa kita, bangsa
Indonesia banyak yang beranggapan bahwa kesuksesan itu ukurannya uang dan
harta. Itulah sebabnya, banyak orang berburu uang dan harta dengan segala cara,
termasuk korupsi.
Korupsi juga bisa terjadi akibat gaya hidup yang mengarah hedonisme alias hidup dengan penuh
keinginan untuk bersenang-senang dan bermewah-mewah. Sayangnya, untuk
mewujudkan keinginannya, seringkali ditempuh dengan cara korupsi.
Korupsi tidak semata-mata salahnya para koruptor. Tetapi
juga salahnya orang lain. Misalnya dalam kasus pajak, pihak perusahaan yang
seharusnya membayar pajak tinggi, kemudian melakukan persekongkolan dengan
petugas pajak. Negarapun dirugikan. Terciptalah mental-mental korupsi
Terlalu sering kita mendengar kata korupsi. Pagi,
siang,sore,malam dan saat kita tidurpun kata ‘korupsi’ selalu diucapkan orang.
Slalu dibicarakan di televisi tentang pemberantasan korupsi. Tidak pernah atau
jarang bicara tentang bagaimana caranya melakukan pencegahan korupsi. Kalau
negara-negara lain bisa melakukan korupsi, kenapa negara kita tidak bisa?
Maju mundurnya sebuah negara, ditentukan oleh kualitas pemimpinnya. Walaupun pemimpinnya berpredikat Profesor Doktor sekalipun, kalau tidak punya inisiatif, sholeh, punya leadership yang kuat, amanah dan mandiri, maka korupsi akan berjalan terus di negeri ini. Seharusnya seorang presiden membentuk Dewan Pakar untuk membuat berbagai macam sistem. Sistem itupun harus diuji coba dalam skala kecil. Kemudian disempurnakan. Sesudah itu diberlakukan secara nasional. Masalahnya adalah, pemimpin dipilih rakyat. Celakanya, 70% rakyat salah memilih dan asal memilih. Bagaimana solusinya menurut Anda?”
Di negara-negara maju, seperti di Australia, ada semacam
kegiatan pendidikan dan pencerahan politik bagi masyarakat. Jadi, mereka
memilih pemimpin adalah berdasarkan pertimbangan kualitas. Bukan pertimbangan
partai politiknya calon pemimpin. Bukan pula berdasarkan pertimbangan agama,
suku, ataupun golongan.
Masalahnya adalah, di Indonesia belum ada kegiatan semacam
itu. Barangkali ada baiknya semua pergurun tinggi di Indonesia yang melakukan
pencerahan itu. Bisa melalui perkuliahan, televisi, radio atau bahkan
mengusulkan kepada pemerintah agar melakukan kegiatan itu. Contoh kecil, dulu
di era Soeharto ada penyuluhan tentang keluarga berencana atau KB. Itu sukses
besar. Nah, kalau pemerintah melakukan kegiatan pendidikan dan pencerahan
politik, niscaya Indonesia akan memiliki pemimpin yang bekualitas.
Selama ini masyarakat kita memilih berdasarkan simpatinya
terhadap parpol. Kalau dia simpatisan parpol A, maka siapapun yang dicalonkan
oleh parpol A, maka akan dipilih, walaupun calon pemimpinnya tidak berkualitas.
Oleh karena itu, rakyat perlu diberitahu tentang bagaimana ciri-ciri pemimpin
yang berkualitas.
Mungkin ada baiknya para pakar psikologi membuat sistem
seleksi calon pemimpin yang berkualitas. Misalnya perlunya tes IQ, EQ,SQ,LQ dan
tes-tes lainnya yang relevan. Jangan seperti sekarang ini, mentang-mentang dia
ketua umum parpol, otomatis dia berhak jadi calon pemimpin. Padahal, dia
samasekali tidak berkualitas. Tentu saja contoh orang – nya berjibun terdapat
di kalangan politikus kita. Istilah kampungnya:
“KALO BISA
, WHY NOT? SIKAT ABIS, BRO!!!. “
Orang Indonesia juga kebanyakan gila jabatan, rakyat pun
ikut gila melihat jabatan. Mentang-mentang lihat si Caleg banyak jabatannya,
riwayat karier alias riwayat hidup nya “WIDIIIH” duit “sawerannya” BUAAANYAK”
langsung deh “FALLING IN LOVE” alias simpati mau milih si Caleg atau pemimpin.
Padahal tidak tahu mutu apa tidak yang akan dipilih. Ending, terpilih lah yang
pandai “MELEBAY” saja.
Kita tidak perlu bicara masalah moral para koruptor. Tidak
usaha bicara tentang renumerasi dengan gaji yang besar. Tidak usah bicara
tentang reformasi birokrasi. Tidak usah bicara tentang sistem pengawasan. Tidak
usah bicara tentang manajemen yang profesional. Korupsi merajalela di Indonesia
karena 70% rakyat yang datang ke TPS ternyata salah memilih dan asal pilih.
Jadi kesimpulan saya,pertama perlu adanya proses seleksi yang benar-benar bisa
menghasilkan calon pemimpin yang berkualitas. Kedua, perlu adanya pendidikan
dan pencerahan politik bagi rakyat. Ketiga, perlu pembentukan sistem hukum yang
jelas dan tegas dan menghukum seberat-beratnya terhadap para koruptor,”
Barangkali ada baiknya para akademisi,baik dosen ataupun
para mahasiswa yang mempelopori pencerahan politik. Tidak cukup berdemo saja.
Apalagi demonya anarkis.
Semoga pemilu 9 April mendatang rakyat tidak salah memilih
dan asal pilih lagi. Akibatnya berat. Bisa menimbulkan bencana. Bencana
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, hukum, HAM, pendidikan,
kesehatan dan bencana di semua sektor. Amiiin.