Tinjauan
Kasus Pembunuhan 3 TKI Indonesia di Malaysia
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri telah memberikan dampak yang
besar bagi negara Indonesia. Negara telah manerima pemasukan devisa yang
signitifkan sepanjang tahun 2010 dari penghasilan TKI. Berdasarkan data Pusat
Penelitian dan Informasi (Puslitfo) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), pemasukan devisa dari TKI sepanjang tahun
2010 telah mencapai 8,24 milyar dolar AS (Rp. 80,24 triliyun). Jumlah ini
merupakan kenaikan sampai 37,3% (dari Rp. 60 triliyun) dari tahun 2011, dan
bila di bandingkan dengan tahun 2010 terdapat kenaikan 48,26% (dari Rp.. 50,56
triliyun).
Menurut
data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI), untuk tahun 2010 saja terdapat 900,129 Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
yang berhasil ditempatkan di luar negeri secara resmi. Berdasarkan data jumlah
TKI yang berhasil ditempatkan di luar negeri pada tahun 2010 dapat diketahui
bahwa kurang lebih 77% TKI adalah Tenaga Kerja Wanita (TKW). Sebagian besar
dari mereka bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga.
Mereka
terpaksa menjadi TKI karena tidak ada lapangan kerja yang memadai atau mereka
tergiur dengan gaji bekerja di Luar negeri tergolong tinggi. Jangankan untuk
mereka yang hanya lulus sekolah dasar, lulusan sarjanapun menganggur. Angka
pengangguran sarjana bahkan sampai mencapai 1,1 juta orang pertahun.
Seharusnya
negara ini membukakan lebih banyak lagi lapangan pekerjaan, agar tidak ada lagi
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di negeri orang dan tidak ada lagi
kekerasan yang dialami oleh para tenaga kerja. Mereka para pemerintah harus
lebih sering lagi untuk memperhatikan rakyatnya, baik rakyat yang kurang mampu
maupun rakyat yang berkecukupan.
Sistem
ekonomi kapitalis telah melahirkan kemiskinan stuktural. Dengan sistem ini,
sampai kapan saja akan muncul orang-orang atau keluarga miskin, apabila
pemerintah tidak memberantas semua ini.
Sudah
banyak korban yang berjatuhan, masih ada saja warga Indonesia yang menjadi TKI.
Semua itu karena pemerintah sendiri sampai saat ini gagal menciptakan lapangan
pekerjaan di dalam negeri. Kemiskinan di Indonesia sedemikian rupa membuat
siapa saja yang mengalaminya tidak tahan terus-menerus dalam kondisi seperti itu.
Mereka berangkat ke luar negeri karena ada unsur tertentu
yang sangat dominant yaitu soal keuntungan-keuntungan yang dalam penempatan
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) itulah yang membuat banyak pihak mempunyai
kepentingan untuk mendorong atau memobolisasi orang-orang yang ada diberbagai
daerah untuk bekerja ke luar negeri.
Jadi,
itu benar-benar didorong, benar-benar dibujuk, benar-benar diberi impian-impian
yang manis untuk berangkat ke luar negeri. Pemerintah melakukan itu semua
sebagai program nasional. Dalam dokumen Strategi Nasional Penanggulangan
Kemiskinan (SNPK), TKI disebut sebagai salah satu upaya untuk menekan angka
pengangguran.
Kemudian
calon swasta, dalam hal ini Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI).
Mereka berperan besar dalam melakukan operasi senyap dengan datang dari rumah
ke rumah majikan hal-hal yang luar biasa yang akan didapatkan bila mau bekerja
di negara orang. Saya juga melihat ada unsur penipuan di dalamnya. Sehingga ini
membuat orang terpaksa berangkat ke luar negeri.
Banyak
calon TKI yang dibawa ke Jakarta tanpa membawa dokumen apapun. Tetapi identitas
diri, ijazah dan lain sebagainya dibuat di Jakarta. Jadi ada penipuan dokumen.
Di samping itu mereka juga menipu tentang negara tujuan. Dijanjikan akan
ditetempatkan di negara A yang menjanjikan ternyata ke negara B yang sangat
rawan. Misalnya, pada 2003 lalu Sugiarti, TKI asal Indramayu, dijanjikan akan
ditempatkan di Yordania yang lebih aman ternyata ditempatkan di Irak yang
sedang berkecamuk perang. Sekarang keberadaan dan nasibnya juga tidak
diketahui.
Karena
memang sering kali PJTKI hanya mengelabui calon TKI dengan iming-iming gaji
yang besar, tetapi kerentanan TKI terhadap penyiksaan, kekerasan, ini sering
kali tidak dijadikan sebagai informasi yang disampaikan.
Setiap
negara tujuan memiliki persoalan kerentanan yang berbeda. Yang mempunyai
kerentanan relative sama yaitu di Malaysia dan Arab Saudi. Mengapa di kedua
negara tersebut begitu kelihatan ? karena jumlah TKI di sana juga relative
lebih banyak dibanding dengan negara tujuan yang lain.
Di
Arab Saudi, Migrant Care mencatat ada 5.535 Pembantu Rumah Tangga (PRT) kita
yang mengalami penyiksaan bahkan kekerasan seksual, belum lagi di Malaysia dan
negara-negara lain.
Terkait
informasi semacam ini juga kami mengalami kesulitan untuk mendapatkan
validitasnya karena pemerintah sendiri, dalam hal ini KBRI, Defnakertrans,
Deplu juga jarang melakukan pendaptan TKI yang menjadi korban. Mereka jarang
mengeluarkan data resmi yang bisa dipertanggung jawabkan.
Selain
itu juga, ada pula TKI yang sukses pulang kampung bawa uang banyak. Fokus
Migrant Care adalah advokasi bagi hak-hak mereka yang terlanggar. Tetapi saya
kira membandingkan mereka yang sukses dengan mereka yang terlanggar haknya
bukanlah gara yang baik. Karena bagi kita satu saja TKI yang terlanggar haknya
harus dibela sampai haknya terpenuhi.
Fhilipina
juga mengirimkan sektor yang sama, PRT juga. Tetapi PRT asal Fhilipina nasibnya
berbeda. Ada kasus tetapi tidak semasif Indonesia karena pemerintah Fhilipina
mempunyai tingkat kepedulian berbeda dengan pemerintah Indonesia.
Bukankah
pemerintah juga sudah peduli, Presiden SBY dengan gayanya yang khas mengatakan
akan memberikan HP pada buruh migran. Itu menunjukan betapa pemerintah
Indonesia tidak serius dalam menuntaskan permasalahan buruh migran. Dengan
memberikan HP pemerintah tidak perlu berbuat banyak, tidak perlu bernegosiasi
dengan Negara tujuan, tidak perlu repot, namun sangat mudah dan instant.
Pemerintah tinggal mengajukan anggaran ke DPR untuk pengadaan HP. Hal ini juga
semakin membuktikan bahwa kebijakan ini hanyalah politik pencitraan semata.
Tengoklah
TKI di Hongkong, Taiwan, Korea dan Jepang, mereka relative tidak memiliki
persoalan komunikasi karena negara-negara tersebut telah menjamin hak atas
informasi dan komunikasi. Bahkan HP yang dimiliki TKI di sana bagus-bagus.
Akan
tetapi mengapa masalah komunikasi ini muncul di Malaysia, Arab Saudi, sebagian
Singapura dan beberapa Negara di Timur Tengah? Apakah TKI tidak mampu membeli
ponsel ? Bukan! Karena buruh migrant terutama PRT migrant belum mendapat
jaminan atas akses informasi dan komunikasi, karena di Negara-negara itu memang
belum memiliki regulasi yang mengatur tentang PRT migrant.
Maka
menurut saya, anggaran yang digunakan untuk mengadakan HP itu segera dialihkan
untuk membangun sebuah kebijakan bilateral dengan Negara-negara tujuan. Segera
membuat standar pendidikan dan pelatihan yang berkualitas untuk buruh migrant
tidak dengan hanya pengadaan ponsel.
Di
Negara tujuan TKI harus dipastikan mendapatkan haknya untuk berkomunikasi bukan
alat telekomunikasinya. Karena seperti pengakuan banyak TKI, ponsel mereka itu
yang dirampas, bahkan baru beli kartu chipsnya saja sudah di rampas. Ini
artinya apa? Buruh migrant membutuhkan perlindungan hukum, bukan sekedar HP!
Sudah
jelas, sudah bertahun-tahun Indonesia membandingkan dengan Fhilipina. DPR dan
Depnakertrans juga setiap tahun studi banding ke Fhilipina tetapi hanya sebatas
proyek luar negeri, tidak pernah di implementasikan secara baik di Indonesia.
Kita
sudah berkali-kali ke DPR, ke pemerintah memberikan masukan bahkan mendesak
untuk mengubah kebijakan agar lebih melindungi dan menjamin TKI. Tetapi selama
ini saya kira masukan-masukan dari masyarakat, buruh migrant, keluarga buruh
migrant, itukan hanya dianggap sebagai angina lalu saja.
Hak-hak
dasar buruh adalah soal gaji, jam kerja, kebebasan berserikat, kebebasan
bergerak, kebebasan menjalankan agama, kebebasan mengirimkan uang gaji mereka.
Hak-hak dasar buruh itulah yang harus dijamin pemerintah. Bukan sekedar
mengatur pola migrasi TKI dari Indonesia ke Negara lain seperti yang selama ini
dilkukan.
Oleh
karena itu, kita mendesak pemerintah untuk berhenti bergantung kepada negara
lain dalam melindungi warga negaranya. Tetapi pemerintah harus dapat
mengeluarkan TKI dari krisis yang membuat hak-haknya terlanggar di luar negeri.
Kasus
Dugaan Penjualan Organ Tubuh TKI di Malaysia
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan tenaga kerja
adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Pembangunan
ketenagakerjaan bertujuan :
a.
memberdayakan
dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
b.
mewujudkan
pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c.
memberikan
perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
d.
meningkatkan
kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Terkait dengan dugaan praktek
jual beli organ TKI asal Mataram yang didapatkan informasinya setelah
identifikasi ternyata berjumlah 3 orang.
1. Herman
Tempat, tanggal
lahir : Pancor Kopong,
27-08-1978
Alamat
tinggal : Pancor Kopong Desa Pringga Kecamatan Pringgasela
Nomor Pasport : W 953434 (Kanim Mataram)
Pekerjaan : Konstruksi/bangunan di Malaysia
Tempat Kerja : Mega Five Dev SSDN BHD, Nomer 24 jalanTuanku Antan, Seremban, Negeri Sembilan Seremban, Negeri Sembilan
Nomor Pasport : W 953434 (Kanim Mataram)
Pekerjaan : Konstruksi/bangunan di Malaysia
Tempat Kerja : Mega Five Dev SSDN BHD, Nomer 24 jalanTuanku Antan, Seremban, Negeri Sembilan Seremban, Negeri Sembilan
Penyeban
kematian : Guns
hot Wound on the head
2. Abdul Kadir Jaelani
Tempat, tanggal
lahir : Pancor Kopong, 31
Oktober 1987
Alamat tinggal : Pancor Kopong Desa Pringgasela, KecamatanPringgasela
Nomor Pasport : V 043796 (Kanim Mataram)
Pekerjaan : Konstruksi/bangunan di Malaysia
Tempat Kerja : Ashami enterprise, KG Baru BT 3 Mambau
Alamat tinggal : Pancor Kopong Desa Pringgasela, KecamatanPringgasela
Nomor Pasport : V 043796 (Kanim Mataram)
Pekerjaan : Konstruksi/bangunan di Malaysia
Tempat Kerja : Ashami enterprise, KG Baru BT 3 Mambau
lorong Rajawali
Seremban, Negeri Sembilan
Penyebab
kematian : Multiple Gun Shot
Wounds
3. Mad Noon
Tempat, tanggal
lahir : Pengadangan, 19 November 1984
Alamat tinggal : Dusun Gubuk Timur,
Desa Pengadangan, Kec. Pringgasela
Nomor Pasport : AP 876148 (Perwakilan RI Kuala Lumpur)
Nomor Pasport : AP 876148 (Perwakilan RI Kuala Lumpur)
Pekerjaan : Perkebunan Kelapa Sawit
Malaysia
Tempat Kerja : Lot 4302 KG Seremban Negeri
Sembilan
Penyebab kematian : Kesan Tembakan Berganda
Penyebab kematian : Kesan Tembakan Berganda
Adapun kronologi
keberangkatan hingga mencuatnya dugaan penjualan organ TKI adalah sebagai
berikut :
a. Pertengahan tahun 2010
Para
korban berangkat ke Malaysia untuk bekerja. Dua orang atas nama Herman dan
Abdul Kadir Jaelani untuk bekerja di sektor konstruksi, sementara atas nama Mad
Noor berencana bekerja di Perkebunan kelapa Sawit.
b. Hari Jumat, 23 Maret 2012
Sebelum
korban ditemukan meninggal, tepatnya jam 10 malam, salah satu korban atas Nama
Herman menelpon istrinya bahwa saat itu ia bersama dua kawannya sedang pergi
memancing di tempat pemancingan. Diinformasikan juga bahwa dia berniat pulang
ingin lihat anaknya. Karena saat pergi ia meninggalkan istrinya bersama anaknya
yang masih beruisia lima bulan. Dua tiga hari kemudian ia tidak bisa dihubungi
lagi.
c.
Sekitar tanggal 25 atau tanggal 26 Maret 2012
Keluarga
korban sempat membaca sebuah surat kabar lokal berbahasa mandarin yang isinya
ditemukan dua sepeda motor di tempat pemancingan. Berangkat dari informasi ini,
selanjutnya Wildan (keluarga sepupu/misan dari Abdul Kadir) bersama majikan
membuat berita kehilangan di Kantor kepolisian setempat. Pada saat di
kepolisian Wildan disarankan untuk langsung ke rumah sakit.
d.
Hari Jumat, tanggal 30 Maret 2012
Wildan
mengajak Hirman (kakak kandung Abdul Kadir Jaelani) dan majikan berkunjung ke
rumah sakit. Sebelumnya mereka meminta surat kunjungan ke rumah sakit di
kepolisian setempat. Selanjutnya setelah mereka sampat di tempat, ternyata tiga
korban ditemukan sudah dalam keadaan meninggal di Hospital Port Dickson.
Keluarga
korban (Wildan, Hirman) memberikan kesaksian bahwa jenazah ketiga korban
sama-sama telah dijahit pada bagian kedua mata, dada dan perut.
Fakta ini sangat jauh
berbeda dengan informasi dokumen yang diberikan oleh pejabat setempat yang
mengungkapkan bahwa mereka mati tertembak. Seperti Guns hot Wound on the head,
Multiple Gun Shot Wounds dan Kesan Tembakan Berganda.
Pada
saat itu selanjutnya pihak keluarga di Malaysia memberikan kabar pada
masing-masing keluarga ketiga korban. Untuk bisa memulangkan ke kampung
halaman.
Selanjutnya
orang tua Herman di kampung Pancor Kopong Desa Pringgasela selatan mengeluarkan
untuk biaya kepulangan almarhum anaknya. Uang dikirim sebesar 13 juta,
sementara Abdul Kadir Jaelani dan Mad Noor urunan/iuran antara keluarga TKI
dengan teman-teman Korban di Malaysia.
e.
Hari Selasa, 3 April 2012
Pihak
Kedutaan RI memberikan surat keterangan tentang ketiga korban (nomor
0817/SK-JNH/04/2012, nomor 0818/SK-JNH/04/2012, dan nomor 0819/SK-JNH/04/2012
yang ditandatangani Heru Budiarso (sekretaris Kedua Konsuler) menyatakan
:
1.
Para
korban akan dikebumikan oleh keluarganya di Indonesia dan akan diterbangkan
dengan pesawat Garuda Air lines dari KLIA Sepang tujuan Bandara Sukarno Hatta –
Mataram NTB.
2.
Kedutaan
Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur karena kondisi yang tidak memungkinkan
tidak melakukan pengecekan atas sebab-sebab kematian sebagaimana tersebut di
atas. Kedutaan besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur tidak bertanggung jawab
terhadap kondisi jenasah yang dikirim baik menurut sigat maupun keterlian
pembungkusannya.
f. Hari Rabu, 4 April 2012
Para
korban selanjutnya dimandikan dan dikafani. Teman TKI yang ikut memandikan,
mengkafani serta menyolatkan adalah:
1.
Misbah
(TKI asal Lombok)
2.
Wildan
(TKI asal Lombok yang sekaligus misan/sepupu Herman)
3.
Sehabuddin
(TKI asal Lombok), dan
4.
Petugas
rumah sakit
g.
Tanggal 5 April 2012
Tiga
korban selanjutnya dibawa pulang ke kampung/desa masing-masing yaitu Desa
Pringgasela Selatan dan Pengadangan. Sebenarnya secara langsung Hirman, Serun
dan Amaq Ana (ketiganya keluarga korban) yang sedang bekerja sebagai TKI di
luar negeri ingin bersama jenazah mendampingi tiga korban. Tetapi menurut
majikan, mereka tidak bisa pulang bersamaan, karena tiket garuda tidak
cukup/tersedia.
Ketiga
keluarga/pendamping akhirnya pulang duluan dengan menggunakan Pesawat Air Asia
dengan biaya sendiri. Per-masing-masing orang mengeluarkan dana sebesar 540 RM
sampai bandara Bali, selanjutnya dari Bali menuju Bandar International Lombok
mereka beli sediri lagi sebesar 500 ribu (di dalamnya termasuk biaya penginapan
di Bali).
Ketiga
jenazah tiba di bandara Internasional dengan yang masing-masing di jemput
keluarga bersama ambulan dengan biaya sendiri.
h.
Hari Jum’at, 6 April 2012
Korban
dimakamkan. Abdul Kadir Jaelani dan Herman dimakankan berdampingan di kuburan
keluarga Pancor Kopong. Sementara Mad Noor di kebumikan di Pengadangan
Kecamatan Pringgasela kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat. Tiga
Jenazah korban sengaja sama-sama tidak dibuka oleh keluarga, karena korban diinformasikan
sudah dimandikan, dikafani dan dianggapnya sudah cukup lama meninggal.
Pemakaman
tiga korban TKI dilakukan secara khidmat oleh keluarga dan warga kampung. Tidak
tanpa secara khusus perwakilan dari pemerintah, baik dari tingkat kecamatan,
Kabupaten, Propinsi dan pusat.
i. Hari Sabtu, 14
April 2012
Keluarga
meminta bantuan Koslata untuk bisa membantu mencari informasi termasuk juga
melakukan advokasi. Pada hari itu juga Koslata langsung berkoordinasi dengan
instansi terkait. Karena hari libur baru bisa melakukannya via telphon.
Selanjutnya bersepakat bersama-sama menuju lokasi.
Informasi
awal via telphon dengan para pihak di tingkat kabupaten, Propinsi dan BP3TKI
perpanjangan tanganan BNP2TKI pusat – sampai tim berangkat bersama ke lokasi
desa tiga korban,mereka baru mendengar kasus ini. Walaupun faktanya telah ada
surat dari Kedutaan dan sempat diantar secara langsung oleh ambulan BP3TKI
Mataram.
Kasus yang kini
hangat dibicarakan membawa kembali goresan hitam mengenai kontroversi dua
Negara yang telah terkiprah sejak zaman dulu. Segala bentuk kebijakan yang
telah disahkan nampaknya tidak menjadi acuan akan terealisasikannya tujuan
tersebut. Jaminan akan keselamatan para
TKI pun seakan hanya menjadi coretan tinta yang turut menimbun diantara deretan
hukum Negara ini.
Kurangnya bentuk
kepedulian para penguasa terhadap kasus yang menimpa TKI ini terbukti dengan
kurang tegasnya tindakan yang dilakukan oleh kedutaan besar Indonesia di
Malaysia yang tidak melakukan pengecekan atas penyebab kematian sebagaimana
yang didapat dikarenakan alasan kondisi yang tidak memungkinkan. Selain itu,
pada saat pemakaman tak satupun perwakilan dari pemerintah baik tingkat
kecamatan, kabupaten, provinsi maupun pusat yang turut hadir. Dimana letak
kepedulian serta kekentalan budaya yang selama ini telah dikoarkan oleh bangsa
timur sebagai bangsa yang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan.
Meskipun kasus yang menimpa TKI asal
Mataram tersebut belum diketahui kepastiannya, namun PBB tidak hanya tinggal
diam dan siap mengambil bagian dari masalah ini. Terbukti dengan pernyataannya
mengenai jual beli organ yang merupakan kejahatan teroganisir. Inisiatif
tersebut direalisasikan melalui United Nation Global Initiatif to Fight Human
Trafficking (UNGIFT). Adapun yang termasuk kedalam perdagangan organ yang
berimplikasi pada tindakan pidana adalah :
1.
Kasus
dimana pedagang memaksa atau menipu korban agar memberikan organnya.
2.
Kasus
dimana korban secara formal ataupun informal setuju untuk menjual organ dan
ditipu karena mereka tidak dibayar untuk organ yang dijual atau yang dibayar
kurang dari harga yang dijanjikan.
3.
Orang
yang rawan sebagai korban diperlakukan sebagai orang sakit, padahal sejatinya
penyakit itu tidak pernah ada. Setelah itu organ dikeluarkan tanpa
sepengetahuan korban.
Adanya tanggapan positif dari PBB
seharusnya menjadi pemicu pemerintah Negara ini untuk semakin sigap menangani
permasalahan TKI, diantaranya dapat dengan melakukan pencatatan atas setiap
calon tenaga kerja dan tidak hanya sebatas itu, pihak kedutaan juga wajib
melakukan komunikasi dengan para TKI agar selalu terjalin jaringan yang dapat
menghubungkan setiap keadaan para TKI dengan pemerintah Indonesia.
Semoga saja kebijakan yang dibuat oleh
PBB ini mampu menjadi batu pijakan bagi pihak berwenang untuk segera
menuntaskan berbagai perspektif yang muncul dan segera membuktikan kebenaran
dari kasus yang menimpa warga Indonesia tersebut. Sehingga tidak terjadi pengalokasian
tertentu terhadap setiap hak warga Negara.
DAFTAR PUSTAKA